Download App
100% SASTRA

Chapter 3: 3. Sendiri

Riana membuka pintu kost yang telah dirinya tempati sejak menyandang gelar mahasiswa. Kost yang dia bayar sendiri tanpa sepeserpun uang dari orang tua.

Sepi menyambut kedatangannya, membuat Riana kian merasa sendirian walaupun hiruk pikuk kota terdengar sangat jelas. Namun masih tak bisa mengusir sepi dari hidup Riana, keputusan gadis itu untuk pergi dari rumah beberapa bulan lalu karena perdebatan sengit antara Riana dan kedua orang tuanya kini berimbas pada kehidupannya yang terasa hambar dan senyap, tak ada sosok keluarga maupun kerabat disisinya.

Riana membuka ponselnya, berniat menyalakan musik agar dapat mengusir sunyi. Tetapi sebuah notifikasi pesan dari nomer yang tak dikenal menyita perhatiannya.

From= Unknow +62 8**********

--> Riana? Nak, pulang sayang.

--> Mamah kangen, papa juga nak. Adek kamu mau pindah sekolah ke Bandung, katanya di Jakarta terlalu berisik. Dia butuh ketenangan, dia mau kesana. Kamu tau kan SMA favorite di Bandung?

--> Kamu mau kan tinggal bareng adek? Adek biar numpang di kost kamu sementara.

Riana merebahkan tubuhnya kekasur, tak habis pikir dengan permintaan orang tuanya yang seakan melupakan perdebatan sengit beberapa bulan lalu. Alih-alih menanyakan kabar Riana, mamanya malah meminta Riana untuk mengurus adiknya karena ingin bersekolah di Bandung. Riana menghela nafas lelah, daripada harus berurusan dengan orang tuanya, Riana memilih memblokir nomor ibunya agar tak dapat lagi menghubungi dirinya.

"Udah diblokir juga, masih aja pake nomer lain buat hubungin gue." Ujar Riana kesal.

Riana mampu bertahan sejauh ini tanpa orang tuanya, karena gadis itu memilikki bisnis caffe dan distro yang dia jalankan dengan Dyana dan Raiden.

Ngomong-ngomong soal Raiden, laki-laki itu adalah mahasiswa tingkat akhir yang lebih memilih bergaul dengan angkatan dibawahnya. Raiden menyukai Riana, dan Riana tahu soal itu. Namun, baik Raide ataupun Riana memilih untuk tidak lagi membahas itu dan fokus kepada bisnis yang mereka jalankan.

"Rekening gue berapa ya? Lupa nge cek deh karena kebanyakan tugas."

Riana membuka kembali ponselnya, mengecek jumlah nominal pada rekeningnya.

Mata Riana membulat, gadia itu bangun dari tidurnya dan menatap layar ponselnya dengan tatapan terkejut. Apakah dia bermimpi? Uang dalam rekeningnya bertambah, bahkan melebihi target Riana. Bisnis yang dia jalani memang tidak sia-sia, buktinya dia sudah seperti orang kaya dengan nominal uang yang banyak ini.

"Sumpah! Ini beneran?! Dua ratus juta?! Wow, gila kaya banget gue." Pekik Riana.

Gadis itu terlampau girang, kalau begini dia bisa menunjukan kepada orang tuanya kalau tanpa mereka pun Riana bisa sukses. Kini Riana merasa paling beruntung, jerih payahnya membuahkan hasil yang manis.

Namun senyum bahagia Riana pudar seketika, dirinya merasa bahagia sendirian, tak ada yang bisa dia ajak berbagi kebahagiaan ini. Memang Riana berencana menunjukan kalau dirinya bisa berusaha tanpa orang tuanya, namun disatu sisi Riana juga ingin orang tuanya memeluk erat dirinya seperti ketika sang adik berhasil memenangkan juara olimpiade nasional.

Riana memilih membuka blokir pada nomer mamahnya, mengambil gambar jumlah rekeningnya dan mengirimnya kepada sang mama.

To= Unknow +62 8**********

*Send picture* <--

Saya bisa berhasil tanpa bantuan anda, terima kasih karena sudah mengusir saya dari kehidupan anda <--

Sekarang Riana bisa bernafas lega kan? Dirinya membagi keberhasilannya serta menunjukan kalau dirinya bisa berusaha sendiri kepada kedua orang tuanya.

*******************

Raiden tampak sibuk meracik kopi baru yang akan dia perkenalkan sebagai menu baru dari caffe hasil kerja samanya dengan Riana dan Dyana.

"Bang Rai, gue pesen americano satu." Itu suara Reno, pelanggan setianya di cafe.

Namun ternyata Reno tidak sendiri seperti biasanya, pemuda itu mengajak serta teman-temannya yang salah satu dari mereka adalah sosok yang Raiden tak suka, Markazmi.

"Kalian mau pesen apa? Hari ini kan bang Julian yang traktir." Ujar Reno santai, tak menghiraukan Julian yang mengumpati dirinya.

"Kenapa harus kesini sih Ren? Nggak seru banget." Perkataan Mark membuat Raiden menghentikan kegiatannya, kemudian menatap Mark yang juga balik menatap sinis kearahnya.

"Ta-tapi kan bang, katanya tadi terserah kemana aja." Reno berbicara pelan, tahu bahwa kini suasana menjadi sedikit mencekam.

Entah sejak kapan ketegangan diantara Raiden dan Mark, namun yang pasti sumber dari ketegangan itu adalah sosok Yeriana Khatisya.

Julian dan Reno seketika tak bisa berkutik, baik Raiden ataupun Mark adalah orang yang keras kepala dan menakutkan ketika sedang marah.

"Ba-bang Rai, gue nggak jadi beli kopi deh. Mendadak gue inget besok ada kelas pagi, takutnya nanti ngantuk waktu dikelas." Ucap Reno berusaha menarik Mark untuk pergi dari cafe Raiden.

"Dasar cowok brengsek." Decih Raiden ketika Mark dan teman-temannya telah berbalik badan.

Namun decihan pelan Raiden masih dapat Mark dengar, membuat emosi Mark yang semula reda kini naik seketika. Tanpa aba-aba, Mark memukul Raiden dari balik meja barista, membuat semua orang memekik kaget.

Reno dan Julian menarik Mark agar menjauh dari Raiden, Namun Mark memberontak dan melompat dari balik meja barista agar bisa berhadapan langsung dengan Raiden yang tersungkur akibat pukulan Mark tadi.

"Bilang apa loe hah?! Gue brengsek?!" Tanya Mark berapi-api, seraya mencengkram kuat kerah baju Raiden.

"Iya cowok brengsek, cowok brengsek yang nggak bisa ngehargain cewek yang udah cinta sama loe begitu dalam. Loe pikir gue terima kalau Riana lebih milih loe daripada gue?! Enggak! Riana pantes dapet yang lebih baik." Ujar Raiden yang balik mencengkram bahu Mark dan membalik posisi mereka.

Kini Mark yang berada dibawah cengkraman Raiden, merasa kalau dalam bahaya, Mark menendang paha Raiden dan berdiri seraya merapikan penampilannya.

"Asal loe tau, cewek modelan Riana itu cuma cewek centil yang nggak punya malu udah ngejar-ngejar cowok yang bahkan nggak mau ngelirik kearahnya." Mark mengakhiri ucapannya dengan memukul pelipis Raiden, menyisakan luka didekat alis pria itu.

Mark membalik badannya, bermaksud segera pergi dari cafe Raiden. Namun sayang, Raiden malah menendang punggung Mark hingga membuat tubuh Mark kehilangan keseimbangan dan jatuh kelantai.

"Kak Raiden! Loe apa-apaan sih?!" Suara pekikan meghentikan niat Raiden untuk meninju wajah Mark.

Terlihat Riana yang menutup mulutnya, terkejut dengan kondisi meja barista yang berantakan. Memang tidak terjadi kerusakan parah, namun beberapa gelas dan mesin kasir sudah tidak karuan bentuknya, ditambah toples berisi biji kopi telah pecah dan menghamburkan isinya. Namun yang lebih parah lagi, beberapa luka yang menghiasi wajah tampan Mark membuat Riana merasa ngilu sendiri.

"Mark? Kamu nggak kenapa-napa kan? Aku obatin luka kamu ya." Ujar Riana khawatir.

Reno dan Julian saling berpandangan, bernafas lega karena Riana tak mendengar hinaan yang Mark katakan tentang Riana.

"Kalian berdua tuh, udah tau temen berantem malah ngebiarin. Kasian nih jodoh gue kena tonjok. Dan kak Raiden, loe tuh lebih dewasa daripada Mark, harusnya bisa kontrol tuh emosi." Riana membantu Mark berdiri, namun tangannya buru-buru ditepis oleh pemuda itu.

Mark menatap Riana dengan pandangan tidak suka. Kerena gadis ini, wajahnya kini dipenuhi luka lebam.

"Nggak usah pegang gue, gara-gara loe gue kaya gini." Ucap Mark sinis.

Sepertinya keputasan Riana datang ke caffe bukanlah hal yang tepat. Dirinya hanya ingin mengusir rasa sepi dengan datang ke caffe, namun sesuatu yang tidak dia duga malah terjadi.

Julian dan Reno membopong tubuh Mark yang sempoyongan pergi dari caffe, meninggalkan Riana yang masih khawatir terhadap Mark.

Sepeninggalnya Mark, Riana buru-buru meminta penjelasan kepada Raiden yang masih diam tak bersuara.

"Kenapa sih kak?! Kenapa berantem sama Mark? Kakak tau kan kalo Mark itu orangnya gampang emosian, harusnya kakak bisa jaga emosi." Riana menatap Raiden dengan pandangan tidak suka.

"Kamu masih belain cowok itu? Dia udah nyakitin kamu Ri." Raiden mengguncang bahu Riana, berusaha menyadarkan gadis itu dari cinta seorang Markazmi.

Riana menepis tangan Raiden dari bahunya, kemudian berlalu pergi dari hadapan kakak tingkatnya itu. Riana kecewa dengan Raiden, Riana khawatir pada Mark, perasaan sakit itu ada ketika melihat wajah sang pujaan hati dipenuhi luka lebam.

Riana tahu penyebab perkelahian antara Raiden dan Mark, tentu saja adalah dirinya. Raiden memang selalu begitu, tidak pernah menyukai Mark. Tentu saja karena Raiden merasa tidak adil, bagaimana bisa Rania mencintai Mark yang tidak pernah menyukainya dan mengacuhkan Raiden yang jelas-jelas tulus mencintainya. Kalau begini pasti dia yang disalahkan.

"Ri?! Kamu mau kemana?!" Teriak Raiden ketika melihat Riana berjalan keluar dari caffe.

"Pulang! Nggak usah nganter atau nanya lagi."

Setidaknya untuk saat ini Riana tidak ingin melihat Raiden, dirinya kesal dengan sikap seenaknya laki-laki itu.

Sedangkan ditempat lain, Reno dan Julian mendapat tatapan sinis dari Arin yang sibuk mengobati luka diwajah Mark.

Kini mereka berada di rumah Julian, satu-satunya tempat teraman karena kedua orang tua Julian dan Arin menyediakan rumah pohon untuk tempat nongkrong Julian bersama teman-temannya. Kalau Mark dibawa pulang ke rumahnya, maka dapat dipastikan kalau pemuda itu akan mendapat amukan tambahan dari sang ibu.

"Kok bisa sij Azmi babak belur kaya gini? Kalian ngapain aja emang waktu tadi dia berantem? Ngumpet apa gimana?" Arin terus-terusan mengomeli Reno dan Julian yang memilih diam karena terlampaui takut dengan amukan Arin.

Mark tersenyum manis, mengelus pipi Arin agar sang gadis tidak marah.

"Aku nggak pa-pa kok, cuma luka dikit nggak akan ngaruh Rin." Ujar Mark lembut.

Arin mendengua sebal, kemudian fokus mengobati luka pada pelipis dan ujung bibir Mark. Pergerakan Arin terhenti pada sudut bibir Mark yang terluka, mengelus luka tersebut dengan hati-hati.

"Aduh bibir kesayangan aku luka deh, semoga nanti cepet sembuh ya. Biar ultah aku nanti bisa first kiss sama kamu." Julian menyemburkan air putih yang dia minum, terkejut dengan ucapan sang adik kembar.

Mark tersenyum kikuk, bisa bahaya nanti kalau Julian dan Arin bertengkar.

"Enggak boleh, belum muhrim juga. Mark, loe jangan macem-macem ya sama adek gue. Nggak ada kiss-kiss an ya kalian, udah Rin loe masuk aja." Ucap Julian tegas.

Peringatan dan perintah dari Julian hanya dianggap lalu oleh Arin, pasalnya gadis itu malah memilih fokus kembali mengobati Mark.

Julian sendiri tak habis pikir dengan Mark. Tiga tahun sudah pemuda itu menggantungkan perasaan sang adik, membuat Julian kadang merasa geram dan kesal kepada Mark yang seakan mempermainkan perasaan adiknya. Lalu kini, ditambah dengan kehadiran Riana yang semakin memperumit hubungan Arin dan Mark.

"Mark mau sampe kapan loe ngegantungin adek gue? Gue takut kalo nanti loe malah kalah sama pesona Riana dan nyakitin Arin, gue bakalan kasih perhitungan sama loe kalau loe berani nyakitin Arin." Ucap Julian tegas.

Entah kenapa ancaman Julian membuat Mark merasa bimbang, karena yang Mark tahu, perlahan Riana mulai masuk kedalam hidupnya. Apakah Mark harus mengingkari prinsipnya dengan memacari Arin sebelum dia sukses? Atau memilih membiarkan Riana perlahan masuk dan mengambil tempat dihatinya.


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login