Download App
100% Ter-tolak

Chapter 2: Chapter 2: Nia Part

Rejected

Chapter 2: Nia Part.

Sudah hampir satu tahun berlalu sejak aku meninggalkan halamanku. Aku sudah melupakan teman masa kecilku, karena sejak pindah. Ada seorang wanita yang selalu dekat denganku. Aku bertemu dengannya pertama kali saat aku ikut ekskul musik. Saat itu ia sedang menyanyikan sebuah lagu menggunakan gitar dengan anggun dan dikagumi oleh semua orang yang sedang berada di ruangan ekskul ini. Saat aku baru bergabung, ia selalu membimbingku sebagai seorang senior yang sudah 2 tahun berada di ekskul musik.

Karena itulah kami berdua menjadi sangat dekat. Selain cantik, dan tentunya memiliki suara layaknya malaikat. Sudah tentu ia menjadi idola sekolah dan di puja-puja oleh para laki-laki. Semua orang sangat ingin dekat dengan dirinya, begitu juga denganku.

Satu semester telah berlalu semenjak aku pindah. Ia benar-benar sangat baik dan sering tersenyum. Sekarang, kami tidak hanya bertemu saat ekskul. Saat istirahat kami semua anggota selalu makan di satu tempat dan bercanda-canda. Saat itulah aku merasakan kebahagiaan lain di hidup ini.

Senyumannya, suaranya, sikapnya. Benar-benar membuatku tidak bisa lepas darinya. Semua perasaan ini memuncak saat ekskul kami mewakili sekolah di dalam sebuah kompetisi tingkat kota.

Disana kami bekerja sama dengan saling melengkapi, dan diriku sebagai pemegang Bass. Semua keringat kami terbayarkan dengan sebuah piala yang tertuliskan juara 1. Kami benar-benar sangat bahagia saat itu, dan langsung menciptakan sebuah acara makan-makan menggunakan uang hasil menang tersebut.

Disana, semua orang berbagi rahasia kecil mereka sendiri-sendiri. Tentunya, semua perhatian tertuju pada sang dewi sekolah, Nia. Karena itulah aku bisa mengerti dirinya lebih, dan lebih dalam lagi.

Disaat waktu menjelang sore, dan semua orang hampir pulang. Kami berdua mengobrol di saat-saat terakhir.

"Hey, bagaimana menurutmu penampilanku tadi?" tanya Nia sambil menatap lurus ke meja dan meminum teh miliknya.

"A-ah! Sangat bagus kok, bahkan suaramu lebih indah dari yang biasanya," jawabku panik yang saat itu bingung karena tidak memiliki pengalaman berbicara dengan wanita yang cukup.

"Syukurlah kalau begitu, aku khawatir saat itu penampilanku buruk di matamu," tambahnya yang saat itu masih belum melihat ke arahku.

"Ma-mana mungkin kan!" jawabku yang merasa tersipu dan semakin panik.

"Hey, nanti setelah lulus bulan depan, kau akan melanjutkan ke SMA mana?" tanya Nia yang mulai melirik ke arahku.

Sesaat kemudian, aku langsung menunduk sedih. Aku terdiam.

"Maaf, aku belum memikirkannya."

"Eh? Kok gitu? Bentar lagi kita lulus loh," respon Nia yang saat itu kaget dan menatapku kebingungan.

"Maaf, ini karena keluargaku ...." Tubuhku berbicara sendiri, aku berakhir menceritakan beberapa masalah kecil di dalam keluargaku. Seperti situasi keluargaku yang sedang terlilit hutang karena ayahku yang saat ini menghilang entah kemana.

"Kau ... Cukup kuat ya Ian." Nia menunduk sedih.

"Maaf, aku tidak bisa bereaksi apapun. Selama ini aku selalu hidup di dalam keharmonisan, dan selalu di sanjung. Jadi aku tidak pernah merasakan situasi yang sangat menjijikan seperti itu," tambahnya sambil tersenyum ke arahku.

Saat itu aku tersentak. Aku kebingungan, sebenarnya ia sedang memujiku atau merendahkanku?

"A-ah ...." Saat itu aku kebingungan harus merespon apa.

"Baiklah, mari bergegas pulang, sepertinya ibuku sudah menjemput," tambahnya yang saat itu menatap hpnya dengan agak kesal.

"Te-tentu."

Nia pergi dari restoran tanpa pikir panjang dan melihat kebelakang. Aku pun ikut pergi dan berjalan pulang.

Di dalam perjalanan, aku tersenyum-senyum sendiri dan merasa begitu bahagia. Aku merasa kami berdua telah menjadi semakin dekat dan dekat. Aku semakin yakin untuk menyatakan perasaanku.

***

"Aku pulang," ucapku sambil masuk kedalam rumah dan melepas sepatu.

"Ah, nak. Kau sudah pulang? Maaf, ibu belum masak apapun," balas ibuku sambil dengan cepat keluar dari kamarnya.

Rumah kami hanya memiliki 5 ruangan, 2 kamar, 1 kamar mandi, 1 ruang tamu, dan 2 ruang tengah yang disatukan dengan dapur. Benar-benar rumah yang kecil, namun setidaknya murah.

"Ah, tidak masalah ibu! Karena Ian memenangkan pertandingan hari ini dan mendapatkan uang hadiah bagian Ian. Ian juga membungkuskan makanan untuk ibu kok, nih." Aku memberikan dua bungkus makanan yang terlihat sangat enak.

"Na-nak? Apakah tidak masalah kau membuang-buang uang seperti ini? Ibu saat ini sedang tidak punya uang dan belum gajian."

"Tidak masalah Bu, ini. Uang menang pertandingan untuk ibu saja. Gunakan untuk membeli beras dan makanan."

"Na-nak." Ibuku saat itu perlahan-lahan menangis. Ia benar-benar merasa terharu dengan sikap anaknya yang baik dan agak berbakat.

Ibuku pun memelukku. Aku memeluknya balik dan saat itu benar-benar terasa sangat nyaman.

***

Ke esokan harinya~

Saat ini, aku sudah menetapkan hatiku untuk menembaknya. Aku benar-benar yakin akan diriku. Aku mengirimkan sebuah pesan padanya untuk bertemu di belakang sekolah saat pulang.

Dan benar saja, saat itu ia datang. Namun, entah kenapa banyak sekali murid lainya yang menonton!? Apa yang terjadi? Bukankah seharusnya aku memberitahunya untuk tidak memberitahu siapapun? Atau ini hanya sebuah kebetulan.

Disaat-saat kebingungan itu, ia maju dengan terlihat gugup dan ragu. Sesaat kemudian, ia menunduk dan mengatakan.

"Maaf, berikan aku waktu beberapa hari untuk menjawabnya," jawab Nia yang saat itu sudah membaca pesan milikku. Semua orang langsung bersorak kecewa. Begitu juga denganku.

Namun, entah kenapa aku masih berharap karena masih memiliki kesempatan.

Nia langsung keluar dari tengah kerumunan dan berjalan ke teman-temannya. Dengan kecewa, aku pun pulang.

***

"Hey! Bagaimana kau ini Nia! Kenapa kau tidak langsung menjawabnya!" sorak salah seorang temannya.

"Hahaha, itu benar. Tidak mungkin kan karena anak itu julukanmu sebagai solo angle karena selalu menolak semua laki-laki yang menembakmu berakhir disini?" tambah salah seorang temannya di sisi lainnya.

"Hahaha, ma-mana mungkin lah," jawab Nia dengan nada ragu.

"Yauda, pulang yuk! Abis ini kita langsung main kerumahmu Nia!"

"Ya benar! Kita akan membahas apa yang akan dilakukan pada hari Minggu besok!"

"Ba-baiklah. Aku akan menyiapkan beberapa cemilan."

"Asik!"

***

Di dalam rumah, aku tertidur di atas karpet milikku. Aku menatap Langit-langit dengan perasaan sangat bimbang. Tentunya aku sudah menggunakan semua keberanian ku untuk mengatakannya.

Ke esokan harinya~

Matahari sudah menjulang semakin tinggi, menandakan hari sudah siang. Aku yang saat itu sudah selesai merapikan rumah dan mencuci baju. Beristirahat dan berbaring telentang di lantai.

"Aahhh ...." Aku mendesah kelelahan sambil masih merasa bimbang.

"Kira-kira jawabannya apa ya?" gumamku sambil miring ke kanan.

Sesaat kemudian aku melihat tabung gas yang sudah ada di belakang pintu. Aku ingat kalau gas nya habis dan aku harus membelinya.

Aku pun bangun dan pergi ke kamarku, aku mengambil sejumlah uang milikku dan keluar mebawa gas tersebut. Aku mengambil sepeda lalu mulai jalan mencari toko gas terdekat.

Namun, setelah aku berputar-putar cukup lama. Aku tidak mendapatkan gas juga, sepertinya gas sedang langka. Akhirnya aku ingat, di jalan menuju ke sekolah ada toko yang menjual gas tabung 3kg, dan disana terlihat sedang banyak stocknya. Kupikir jika aku tidak cepat aku pasti kehabisan.

Aku dengan semangat menggoes sepedaku di pinggir jalan. Semuanya berjalan normal, sampai suatu saat ketika aku melihat sosok yang aku kenal. Keluar dari sebuah rumah makan bersama seorang laki-laki.

"...."

Saat itu aku terdiam. Tampaknya Nia saat ini sedang jalan dengan seorang laki-laki? Siapa dia? Dan laki-laki itu terlihat sangat tampan.

"Tunggu, apakah itu benar-benar dia? Atau hanya aku yang salah lihat? Apa yang sebenarnya terjadi!!"

Lagi-lagi, situasi bimbang yang pernah kurasakan ini kembali terjadi. Aku benar-benar tidak bisa berfikir jernih saat itu. Aku kemudian melaju sambil menunduk agar tidak terlalu terlihat.

***

Aku menjatuhkan badanku dengan sangat lemas di rumah. Aku kembali menatap langit-langit.

"Tidak-tidak, tidak mungkin kan seorang siswa SMP berjalan berduaan? Tidak, atau malah itu mungkin? Arghh!!" Aku dengan kesal menggaruk-garuk kepalaku. Ibuku yang biasanya pulang sore atau malam membuat rumah ini terasa sangat sunyi.

Di keheningan itu, angin sepoi-sepoi membelai tubuhku yang sedang dalam keadaan stress. Aku menutup mata untuk menenangkan diri dan tiba-tiba saja tertidur.

***

Ke esokan harinya.

Aku saat itu sedang membawa sebungkus cemilan yang ia sukai dan dengan bersemangat berjalan menuju ke kelasnya. Aku sangat penasaran apa yang terjadi kemarin, dan berniat menanyakannya langsung padanya.

Namun, saat aku berniat melangkah masuk, aku mendengar Nia dan teman-temannya sedang mengobrol. Reflek aku langsung bersembunyi di balik pintu untuk menguping pembicaraan itu.

"Hey? Bagaimana dengan kemarin? Apakah kau menikmatinya Nia?"

"Ya, ya. Aku juga sangat menikmatinya. Mungkin kita bisa mengadakan jalan-jalan lagi dengan temanku dari SMP sebelah, 3 laki-laki dan 3 perempuan. Bukankah cocok?"

"Yah, hahaha. Aku tidak bisa merespon saking senangnya," jawab Nia yang terakhir berbicara.

Saat itu aku entah kenapa sedikit merasa lega. Rupanya mereka hanya mengadakan sebuah jalan-jalan kelompok, tidak pergi berduaan. Aku kembali tersenyum dan merasa memiliki harapan. Namun, saat aku berniat melangkah masuk.

"Hey? Bagaimana dengan laki-laki cupu itu? Apakah kau sudah memutuskan kapan memberinya jawaban?" tanya teman Nia di sebelah kiri, mendengar itu. Aku langsung kembali bersembunyi.

"A-ah, soal itu. Aku belum ...." Perkataan Nia di potong oleh temannya.

"Hey, kenapa kau terlihat bimbang seperti itu? Apakah kau juga menyukainya? Beneran?"

"Hey, jangan bercanda seperti itu. Dia itu hanya laki-laki yang bahkan tidak bisa berolahraga dengan benar, tubuhnya yang agak besar itu tidak berguna, dan benar-benar melambangkan dirinya."

Saat itu Nia tersentak, ia bingung harus merespon apa. Sambil mulai berkeringat dingin, ia memutuskan mengikuti arus pembicaraan.

"Ya-ya, itu benar sekali. Ia bahkan sama sekali tidak masuk kedalam tipeku," jawab Nia dengan tersenyum gugup dan ragu.

Namun, aku yang saat itu mendengarnya. Langsung menggenggam tanganku dengan sangat kesal.

"Nah, itu sudah pasti kan. Hahaha."

"Ya, itu benar. Selama ini yang ia lakukan hanya melarangku ini dan itu, benar-benar menyebalkan. Padahal ia sama sekali bukan orang yang pantas untuk mengatakannya," tambah Nia sambil terlihat mulai mengikuti arus pembicaraan.

"Nah, itu dia. Selalu menarik melihatmu mempermainkan seorang laki-laki, apalagi melihatnya merasa sudah cukup dekat denganmu itu terlihat menggelikan."

Aku semakin kesal dan kesal.

"Sudah pasti kan, bahkan ia hanya seorang laki-laki miskin yang hanya memberikan kado sebuah gelang murahan. Berfikir ia mendapatkan perhatian banyak darimu? Hahahah, benar-benar menggelikan. Aku tertawa setiap kali memikirkannya. Aku bertaruh ibunya hanya seorang kacung dan setiap hari bertugas mencuci baju dan hal lainnya di rumah tuannya."

"He-hey, apakah kalian tidak merasa kalau kalian itu berlebihan. Menghina orang tua itu ...." Perkataan Nia terpotong dengan suara keras.

Brakk!!!

Seseorang meninju pintu kelas milik Nia dengan sangat kuat. Semua orang langsung kaget dan berteriak panik. Anak-anak di kelasnya pan langsung mengecek siapa yang melakukannya, namun mereka tidak menemukan apapun. Hanya ada seplastik cemilan ringan di depan pintu.

**

Aku berlari dengan sangat cepat menuju kelasku sambil menangis. Walau semua orang melihatku dengan tatapan aneh, aku tidak peduli.

"Sakit, sangat sakit. Ini bahkan lebih menyakitka daripada sebelumnya," teriakku di dalam hati sambil menunduk di kursiku dan menangis secara diam-diam.

"Apakah selama ini aku hanya di permainankan? Apakah memang menyenangkan mempermainkan hati seseorang!?"

"Hahahaha!!" tawaku dengan nada sinis, menertawakan seberapa bodohnya diriku.

"Para Lont* sialan itu juga berani menghina ibuku!"

"Betapa tidak bergunanya diriku yang hanya bisa kabur. Harusnya aku membuatnya meminta maaf saat itu juga," tambahku di dalam hati yang menangis semakin deras.

Tanpa sadar, salah seorang teman sekelasku mendekatiku.

"Hey, bro. Lu kenapa?" tanya laki-laki itu dengan ragu.

Aku tertegun, saat itu juga aku langsung mengusap air mataku.

"G-ga ada bro, tenang aja."

Teman-teman sekelasku rupanya sudah menatapku dengan kebingungan.

"Kalau ada masalah cerita aja ya," tambahnya yang saat itu meninggalkanku agar kembali sendirian.

"Pastinya."

***

Kriiing!!!

Bel pulang sudah berbunyi. Tanpa pikir panjang aku langsung mengambil tas milikku dan berjala pulang sambil menunduk dan memasang tatapan dan wajah yang mengerikan.

"Aku pulang," ucapku dengan nada sangat rendah.

Sesaat kemudian, aku mendengar suara seseorang batuk-batuk.

"Ibu!!" teriakku yang langsung berlari ke kamar milik ibuku.

"Uhuk, uhuk. Maaf nak, ibu sedang tidak enak badan jadi ibu tidak kerja hari ini."

"Ibu!! Kenapa ibu bisa sampe sakit!?" tanyaku yang saat itu langsung merasa sangat khawatir dan mulai menangis.

"Maaf nak, ibu memaksakan diri selalu mengerjakan semua pekerjaan rumah setelah pulang kerja," jawab ibuku dengan suara yang serak.

"Ibu! Kenapa ibu tidak menyuruh Ian saja!!"

"Maaf nak, ibu kira belakangan ini kamu sedang dalam keadaan menyukai seseorang. Karena kamu selalu tersenyum-senyum sendiri dan belajar dengan sangat giat. Jadi ibu tidak ingin mengganggu situasi indah itu darimu."

Saat itu juga aku langsung menangi semakin keras dan memegang tangannya.

"Maaf ibu, maaf. Ian Ian berguna," ucapku dengan tangisanku yang semakin keras.

"Ian berjanji, bahwa setelah naik ke SMA, Ian akan membantu dengan sedikit kerja paruh Waku."

Ibuku tersentak kaget.

"Uhuk uhuk ..."

"Jangan nak, jika begitu, maka waktu luangmu tidak ada, bisa-bisa kau tidak memiliki teman dan di kucilkan."

"Tapi Ian tidak peduli Bu, melihat ibu sakit seperti ini membuat Ian lebih sedih daripada tidak memiliki teman."

Ibuku tersenyum dengan sangat senang.

"Baiklah nak," ibuku mengelus-elus kepalaku. Saat itu aku tertidur sambil memegang tangannya.

***

Aku saat itu berangkat sekolah dengan perasaan sangat kesal.

"Ini semua salahnya," tekanku di dalam hati yang sudah sangat yakin untuk menghindari dirinya dalam sebulan terakhir.

***

Seminggu sudah berlalu, aku sama sekali tidak pernah berbicara dengannya, jangankan berbicara. Aku bahkan sama sekali tidak pernah menatapnya. Semua pesan yang ia kirimkan tidak pernah kubaca, aku juga tidak pernah datang sekalipun ke ekskul setelah itu, karena aku sudah mengirimkan surat pengunduran diri.

Saat aku sedang berjalan di lorong, aku berpapasan dengan Nia yang sedang keluar dari perpustakaan sambil membawa sebuah buku.

Ia menatapku dari samping.

"Ah, Ian. Soal jawabannya ...." Perkataannya terhenti karena aku terus berjalan tanpa menggubrisnya. Tanpa sadar aku sudah terlalu jauh darinya.

***

2 Minggu sebelum ujian~

Saat itu aku sadar, bahwa Nia sudah tidak pernah berkumpul lagi dengan dua Lont* itu. Walau begitu, aku sudah tidak peduli.

Saat aku duduk di kursi kelas dan pelajaran sudah di mulai. Seorang laki-laki mendekatiku.

"Hey Ian, Nia tadi istirahat ke sini mencarimu. Aku diberitahu agar kau nanti pulang sekolah pergi ke ruang ekskul sekaligus menemuinya."

"Ah, begitu. Makasih udah mau ngasih tau, nanti aku kesana."

"Tapi bohong!" teriakku di dalam hati.

**

Lonceng pulang sudah berbunyi. Beberapa ekskul memiliki pelajaran tambahan, begitu juga dengan ekskul musik.

Nia menunggu di ruangan ekskul dengan gelisah. Ia benar-benar tidak mengerti kenapa aku menghindarinya. Semua orang mulai berkumpul di ruangan ekskul. Sampai guru pembimbing ekskul datang, Aku juga tidak kunjung datang. Dengan kesal Nia berjalan ke guru pembimbing.

"Pak! Apakah tidak apa-apa Ian tidak pernah datang ke ekskul lagi?" tanya Nia dengan kesal.

"Eh? Kau belum tau Nia? Dia mengundurkan diri dari ekskul musik loh, sayang sekali. Padahal ia memiliki bakat dan cepat belajar," jawab guru itu dengan wajah sedih.

"Apa!?" Nia tersentak kaget.

***

Malam harinya.

Aku berbaring di atas karpet milikku sambil menatap hpku yang terus menerus menerima pesan.

"Hey! Kenapa kau menghindariku!"

"Apa yang terjadi!"

"Apakah aku berbuat sesuatu?"

"Hey! Kenapa hanya kau baca! Jawab!"

"Kau bahkan keluar dari ekskul! Apa yang terjadi padamu!!"

"Jangan cuman di baca!!"

Aku menghela nafas panjang, walau setelah semua kejadian itu. Di dalam hatiku, aku masih memiliki sedikit perasaan padanya. Dengan berat hati. Aku memblock akun sosmed miliknya, lalu menghapus semua pesan selama 1 tahun ini. Aku menutup mataku dengan tanganku, lalu secara perlahan kembali menangis.

Disisi lain~

"Ian!! Apa yang terjadi padamu. Padahal aku sudah yakin untuk menerimamu, karena itu juga hubunganku dengan orang-orang itu memburuk." Nia di dalam kamarnya, berbaring di atas kasur dengan perasaan yang panik.

Sesaat kemudian, akun miliknya di block.

"Aaahhh!!! Apa yang terjadi sebenarnya!!" Nia yang semakin panik langsung menelpon nomor milikku. Namun aku sudah memblock juga nomor miliknya.

"Bagaimana ini ...."

***

Ujain berjalan. Karena aku yang ada di kelas F, dan dia yang berada di kelas A membuat jarak antara kelasku dan kelasnya semakin jauh. Selain itu, kebetulan kelasku berada di paling ujung dan menjadi dekat dengan gerbang sekolah. Itu membuat selama ujian ini, Nia tidak pernah berhasil untuk menemuiku.

Semuanya berlangsung seperti ini, hingga acara kelulusan pun tiba.

***

"Ian ... Apakah ia benar-benar sudah pulang terlebih dahulu," hela Nia dengan nada sedih setelah mencari kesana kemari selama seperempat jam.

Tak lama kemudian, ia tanpa sengaja melihat diriku yang sudah ada di gerbang keluar, dan kemudian berbelok ke kiri.

Tanpa basa-basi Nia saat itu juga langsung lari menembus kerumunan menuju gerbang keluar. Dengan usaha keras, ia melihatku berbelok ke kiri, ke sebuah gang sempit yang hanya bisa dilewati 1 motor dimana jalan pintas berada. Ia langsung berlari mengejarku. Aku yang berjalan dengan santai kaget saat seseorang menarik tanganku.

"Eh?"

"Haah, haaah, haaah, Ian. Kenapa kau menghindariku?" tanya Nia dengan nafas yang terengah-engah.

Saat aku menyadari itu dirinya, aku langsung memasang tatapan kesal lalu dengan paksa melepas pegangan tangannya.

"Hey!! Jangan mengacuhkan. Setidaknya beri aku alasan kenapa kau bersikap seperti ini!!" Nia berteriak dengan sekuat tenaganya.

Aku pun saat itu menghentikan langkah kakiku. Aku melirik kebelakang.

"Kudengar, kau memberitahu temanmu bahwa aku bukanlah tipemu. Jika itu yang sebenarnya, kenapa kau selalu berbicara denganku setiap hari? Kau bahkan berkata kalau semua yang kulakukan hanya mengatur hidupmu, bagaimana kau bisa berbicara seperti itu?" ucapku sambil membelakanginya.

Nia benar-benar tersentak. Ia benar-benar tidak menduga bahwa aku mendengar pembicaraannya itu.

"Aku tidak menolak saat kau bilang aku bukanlah tipemu, aku benar-benar akan belajar dari itu dan mencoba menjadi lebih baik, selain itu kau benar. Aku bahkan tidak bisa membelikan kado yang bagus di hari ulang tahunmu. Aku juga tidak memiliki bakat lain, bahkan aku juga tidak pernah mendapat ranking 10 besar di kelas. Tentu saja aku bukan tipemu, kan?"

"Bu-bukan seperti itu. Sebenarnya yang kukatakan itu kebohongan. Aku benar-benar menyukaimu Ian." Nia menunduk dengan penuh penyesalan.

"Suka? Apakah itu juga bohong?" Aku kembali melirik kebelakang dan menatapnya.

"Itu bukan kebohongan!! Aku benar-benar menyukaimu. Saat berada di sampingmu itu benar-benar terasa sangat nyaman," bantahnya dengan kuat dan secara perlahan menangis.

Aku saat itu berbalik, dan menatapnya dengan tatapan kesal.

"Maaf, maaf. Aku benar-benar melakukan sebuah kesalahan besar. Kumohon maafkan aku," ucapnya dengan menangis, suaranya secara perlahan semakin pecah, dan ia tampak seperti menggigil ketakutan.

Melihat itu, entah kenapa semua keyakinan di dalam diriku, yang sudah kutetapkan dengan yakin secara perlahan-lahan meleleh layaknya plastik yang dibakar. Tanpa disadari, aku juga menangis. Aku langsung menggelengkan kepala untuk menyadarkan diriku sendiri.

"Tapi, itu tidak seperti faktanya, bahwa kau mengatakan hal-hal buruk. Jika kau benar-benar menyukaiku. Bukankah saat kau berbicara dengan mereka adalah sebuah penentuan? Akankah kau berjuang mempertahankan nama baik laki-laki yang kau sukai atau tidak? Nyatanya tidak. Kupikir yang kau rasakan saat ini bukan suka," bantahku saat itu yang dengan yakin kembali menatapnya.

Nia yang menyadari aku menatapnya dengan kesal, menunduk dan merasa tak berdaya.

"Maaf, itu salahku. Itu semua salahku. Aku mengakuinya. Jadi, bisakah kali ini saja kau memaafkanku?" ucapnya sambil menunduk dan menangis semakin deras.

"Baiklah, aku memaafkanmu." Mendengar itu, Nia langsung mengangkat kepalanya dan menatapku dengan senang.

"Namun, itu bukan berarti bahwa kita bisa bersama, aku hanya memaafkanmu soal kesalahan yang sudah kau lakukan."

"Ta-tapi, bisakah kau memberiku sebuah kesempatan terakhir?"

"Tentu, tapi dengan satu syarat."

Dengan wajah penuh semangat, ia menunggu kalimatku berikutnya.

"Masihkah kau ingat sebuah lagu yang kita nyanyikan bersama saat kita berduaan di ruang ekskul?"

"Pastinya!"

Aku saat itu menatapnya, tanpa sadar semua air mataku jatuh saat aku tersenyum ke arahnya.

"Bisakah kau nyanyikan itu untukku? Aku ingin mendengarnya untuk yang terakhir kalinya."

Sontak, Nia langsung panik.

"Te-terakhir kalinya?"

Aku menatapnya dengan tatapan yang sangat lembut.

"Ya, aku memberimu kesempatan, saat kita bertemu kembali. Apakah kau bisa menemukanku atau tidak itu tergantung takdir."

Nia kembali menunduk, ia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil, dan mengelap air matanya.

Tanpa disadari, secara perlahan ia mulai bernyanyi. Suaranya yang sangat merdu kembali menyentuh hatiku, aku berbalik dan mendengar liriknya yang sangat dalam dan menangis lebih deras dari sebelumnya.

"Terima kasih, dan. Selamat tinggal," ucapku.

Nia menggenggam erat dengan menyalahkan diri sendiri, sambil terus bernyanyi. Disaat lagu sudah hampir mencapai akhir, ia dengan ragu-ragu mengangkat kepalanya. Dan melihatku yang sudah tidak ada.

Dia langsung lemas dan terduduk di jalan.

"Huaaaaaa!!"

"Maaf, maaf, maaf!!"

***

Aku berlari dengan menangis ke rumahku. Dengan cepat aku membuka pintu dan langsung memeluk ibuku.

"Huaaaaaa!!" Aku menangis seperti anak kecil.

Ibuku saat itu mengelus pundakku. Secara perlahan ia berkata.

"Ibu tau kau menyukainya nak, tapi itu tidak boleh berlebihan."

"Itu tidak masalah, sekarang yang perlu kau lakukan membuang semua hal yang bisa membangkitkan kenangan itu."

"Ibu tau, perpisahan itu tidaklah mudah. Biarkan wanita itu pergi, semuanya akan baik-baik saja. Pasti."

Ibuku berbisik dengan nada yang sangat lembut sambil mengusap-usap punggungku, tanpa disadari. Aku tertidur.

"Tidak ada obat yang lebih baik dari waktu."

>>Bersambung<<

~Higashi


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login