Download App

Chapter 2: A Nurse from Aven : Yongrae

AAAH! AAK!

Seorang pemuda memukuli pria tua demi mengambil tempat duduknya. Sang kakek tampak tak berkelit menghadapi serangan pemuda itu. Darah keluar dari hidung dan mulut sang kakek. Tidak ada yang tahu berapa tulang yang sudah patah. Kendati demikian, tidak ada seorangpun yang tergerak menghentikan.

Semua hanya menyaksikan dan mengambil gambar. Menjadikannya sebuah 'konten' belaka.

[livestream hari ini; Kakek di MRT Dipukuli Sampai Meregang Nyawa]

1,7 jt likes 1 dislike

[komentar]

nb145 : siapa itu yang dislike? wkwkwk

Re57 : haha sok punya akhlak padahal nonton sampai habis

901uvb : kalau ga suka ya ngapain nonton?

179asj : mungkin mau tekan like ga sengaja ke dislike wkwkwk

Di tengah lingkungan yang tak mengenal moral, mereka yang masih punya hati dianggap sebagai orang gila.

Yongrae menghela nafas lalu memasukkan ponsel ke dalam saku. Bus transkota yang Ia tumpangi sudah sampai pada tujuannya.

[penumpang yang terhormat, bus telah sampai pada Terminal Hyre, Kota Roen. Pastikan tidak ada barang bawaan Anda yang tertinggal]

Seluruh penumpang bus bergegas turun. Tidak ada yang mengantre atau memberi giliran kepada yang lain. Beberapa bahkan jatuh dan terinjak oleh orang-orang dibelakangnya. Pintu keluar bus yang kecil tak mampu menampung seluruh keegoisan para penumpang yang ingin keluar duluan.

Lagi-lagi hanya Yongrae yang masih terdiam di kursinya, menunggu dengan sabar.

"Hei, Mba! Turun! Mau disuruh bayar denda?!" Kondektur meneriakinya dari kejauhan. Yongrae yang terkejut buru-buru berdiri dan menyelempangkan tas hitam.

"Naik bus aja susah, Pak! Masa bayar denda?!"

"Kalau nggak mau, ya turun!"

Sepertinya pak kondektur tidak menyukai Yongrae.

Segerombolan orang yang bergegas keluar bus terdorong secara tiba-tiba. Sebagian dari mereka terjatuh dan sisanya bisa menjaga keseimbangan dengan baik. Perasaan kesal dan waswas terlukis pada setiap wajah yang menyentuh lantai terminal.

"Siapa yang dorong sih? Sudah gila, ya?!"

"Hei, siapa itu barusan?"

"Kan sudah kubilang aku yang keluar duluan! Siapa yang berani dorong?!"

Celoteh dan umpatan terdengar jelas dari arah para penumpang bus. Yongrae menuruni tangga bus yang lapang dengan santai.

Mereka menatapnya seolah 'si pelaku' sudah ditemukan. Beberapa mungkin sudah mengepalkan tangan dan bersiap menonjoknya sampai tak sadarkan diri.

"Maaf, ya...Pak kondektur bilang busnya sudah mau jalan. Jadi, tidak mungkin menunggu semuanya turun. Sekali lagi, saya minta maaf." Yongrae menunduk pada penumpang lainnya.

Kepalan tangan yang sudah siap diayunkan merenggang. Mereka pergi satu per satu dan kembali melanjutkan perjalanannya.

Kalau di negara lain, Yongrae sudah pasti habis digebuk massa. Namun, tidak di Aven, dimana kata 'maaf' merupakan kata yang sangat jarang diucapkan.

Orang yang mengucapkannya dianggap sopan dan mencari orang sopan di Aven itu ibarat mencari kutu di tumpukan beras.

Aven mendapat julukan "The Lawless land" (Negara Tanpa Hukum) oleh negara tetangga. Seluruh kitab undang-undang yang ada dijadikan sebagai 'pajangan' semata.

Tindak kriminal merajalela dan aparat hukum seperti dibungkam olehnya. Tempat dimana keberadaan akhlak dipertanyakan.

Absensi hukum negara mengembalikan warga negaranya pada 'hukum alam'. Benar, tidak ada tempat untuk orang bodoh atau lemah disini.

Hal inilah yang membuat Aven berkembang pesat dan membuat peradabannya sendiri. Aven adalah sarang penyamun beralas karpet merah. Negara maju tanpa hukum.

Kalau lahir disini, maka selamanya di negara terkutuk ini. Tidak ada yang mau datang ke sini selain kriminal. Tidak ada negara yang mau menerima orang yang berhasil keluar. Aven terisolasi dari dunia.

****

Sebuah gedung 16 lantai berdiri tegak. Jendela cermin yang memantulkan langit biru, tangga panjang yang terbuat dari marmer, serta bau pengharum ruangan yang segar.

Perusahaan miliader? Bukan. Ini rumah sakit jiwa.

"Hei, Yongrae. udah shift lu, ya?" Sapa seorang pria dengan baju perawat. "Kenapa? Kakak masih mau kerja?" Canda Yongrae selagi menaruh tas dan mengambil baju putih dari loker.

"Ya nggak lah! Mending tidur, dong!" Seru perawat itu membaringkan diri di kursi loker.

"Tidur aja di rumah sama istrimu!" Ia menendang kursi loker dengan ringan.

"Haduh, Rae! Dia mana tidur kalau sama istrinya!" Perawat lain ikut menimbrung.

Hal yang lumrah bagi para perawat untuk saling bergurau pada pergantian shift.

Yongrae memperlakukan mereka selayaknya teman sebaya. Sekalipun perbedaan umur diantara mereka terhitung jauh. Bisa dibilang, Yongrae lah perawat termuda dalam sejarah RSJ ini.

"Eh mulut dijaga! Si unyil ini masih di bawah umur." Ia bangun dari kursi loker dan menghampirinya.

"Halah! Tanya aja anaknya, pasti juga udah pernah nonton sekali dua kali. Ya nggak?" Ledek temannya.

"Iyain deh biar cepet. Shift pertama...di ruang Profesor Choi." Yongrae sibuk membuka jadwal shift yang tercantum pada sebuah grup chat khusus perawat.

Rasa gelisah dan takut terpancar dari kedua rekan kerjanya. Ia mengantongi ponsel dan menatap mereka serius.

"Ada yang mau diomongin?" Mereka saling menyenggol pundak. Mendebat siapa yang harus bicara.

Ia menghela napas, "Buka mulut! Memangnya aku bisa baca pikiran?" Sindir Yongrae kesal.

"Itu..Profesor Choi...tadi pagi..." Para perawat itu masih saling bersenggolan seolah menyuruh yang lain bicara juga.

"Ya, ada apa?" Yongrae mengusap jarinya pada layar ponsel. "Um...sepertinya seorang pasien.." Ia berusaha bicara namun bibirnya terlihat gemetar.

Yongrae mulai menatapnya tajam dan memusatkan seluruh perhatiannya. Sebenarnya ada apa sih?

"Seorang pasien menodongnya..." Matanya terbelalak. Yongrae tidak bisa menahan rasa kaget.

"Apa?! Kenapa diam saja dari tadi?!" Ia bergegas memakai baju perawat dan mengunci loker.

"Beberapa udah nanya di grup chat. Tapi, dihapus." Jawab perawat itu.

"Ah, lupakan!" Tanpa berpikir panjang, Yongrae menapaki tangga marmer yang menjulang di tengah lobby. Lift masih lebih lama dari kakinya.

Angka tiga yang terpampang di dinding menandakan destinasi telah dicapainya dalam waktu sesingkat mungkin.

"DIAM!! JANGAN MENDEKAT!!"

Lantai 3 yang biasanya dipenuhi suara obrolan pasien dan perawat yang bertugas, kini terdiam oleh perintah seorang pria paruh baya. "Ada apa ini?" Yongrae bertanya pada salah seorang rekan kerja.

"Re, ...pria itu.." Perawat ini menunjuk ke arah ruang kerja urutan keempat dari tangga. Yongrae maju beberapa langkah untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Pintu geser otomatis tidak tertutup seperti diganjal oleh sesuatu. Di samping pintu terdapat plat nama alumunium bertuliskan 'Choi Eun' yang menandakan keberadaan sang psikiater jenius.

Di dalamnya, berdiri seorang pria paruh baya bersama dengan Psikiater Choi yang terduduk di kursi rodanya.

Genggaman longgar pada pistol. Tangan dan bibir yang gemetar. Yongrae merasakan aura kegugupan yang luar biasa.

Pria ini jelas baru pertama kali memegang sebuah senjata.

"Jangan mendekat!! Atau dia akan matiI!" Dia berteriak dan mengancam dengan keras.

Kebanyakan orang akan panik disaat seperti ini. Mereka tidak tahu bahwa kemungkinan menang melawan seorang yang gugup sangat tinggi.

Kegugupan bukan satu-satunya yang ia rasakan. Yongrae juga mendeteksi adanya kesedihan dan kemarahan.

Kenapa dia marah dan sedih bersamaan?

"Siapa kau?! Sudah kubilang tidak ada yang mendekat!"

Bahkan saat Yongrae berlari ke arahnya, pria itu tidak memiliki nyali untuk menembak.

Pistol direbut Yongrae dengan mudah. Tangan yang gemetar jelas tidak akan memegangnya erat. Yongrae menyentuhkan ujung pistol pada dahinya.

"Duduk. Paman."

"...?!"

"kubilang, duduk."

"Hah?! Siapa mba ini?!"

"Duduk! Paman mau mati?!"

"Ha...hahaha...! Memangnya cewek seperti ini bisa menekan pelatuk?" Ejek pria itu sambil mengamati garis muka Yongrae yang halus, kulit yang jernih, dan matanya yang besar.

"Entahlah, bisa nggak ya? Dicoba saja." Jawab Yongrae tersenyum lebar.

Dor!

Yongrae menembakkan pistol ke arah plafon. Semua orang terkejut karena suara tembakan.

Termasuk pria di depannya. Yongrae kembali menodong dahi pria itu, memberi sedikit tekanan. "Duduk!"

Dengan gemetar, pria paruh baya itu meraba-raba sofa konseling di belakangnya. Ia duduk dengan tegang. Keringat mulai bercucuran dari dahinya.

"Kenapa paman ingin profesor mati? Profesor salah apa?" Pistol tersangga pada dagunya sampai-sampai ia mendongak dan bertatapan dengan Yongrae.

"Orang ini pembunuh! Anakku! Anakku bunuh diri karenanya! Aku harus-Aak!" Tangan Yongrae bergerak mencengkram lehernya.

"Siapa yang minta Paman cerita kisah hidup di depan muka saya?"

"Yongrae, hentikan!" teriak Profesor Choi khawatir. "Dia bisa mati."

Yongrae membisikkan satu dua hal pada pria itu. Mendadak ia terkulai lemas, duduk menyeder pada sofa.

Karena situasi sudah mulai terkendali, Yongrae mengangkat pistol dari dagunya dan berjalan menuju pintu yang diganjal.

Saat hendak menutup pintu, Ia merasakan rambutnya terjambak. Jeritan dari lorong terdengar saat kepala Yongrae menengadah ke atas.

"Tuan Hamada! Dia perawat disini."

"Cewek sial ini perawat?"

"Aduh..padahal aku pakai baju perawat loh." Yongrae menekan tangan pria itu hingga tarikan pada rambutnya terlepas.

Pria itu mengurusi tangannya yang terluka saat Yongrae kembali merapikan rambut pirang sebahunya.

"Kancingkan bajumu. Jangan pake dalaman." Tegur Professor Choi lalu menghela nafasnya.

"Iya, iya..." Yongrae mengancingkan jas perawat lalu merapikan turtleneck.

"Nomor 30150001569, Yongrae Elixis. Salam kenal."


Load failed, please RETRY

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login