Download App

Chapter 39: MKC 39 Cerita lama 

MKC 39

Cepat-cepat gue ke kelas mengambil tas, menuju aula tempat latihan badminton hari ini. Selonjoran dipojokan, menarik napas pelan dengan harapan emosi yang berkobar tiba-tiba di dada ikut keluar. 

Jam dinding di tengah aula baru menunjukan pukul setelah dua, masih ada tiga puluh menit sebelum latihan dimulai. Gue keluar menuju samping aula dimana berjejer pohon jambu citra yang sedang berbunga lalu duduk disalah satu bawah pohon paling dekat dengan pintu aula, supaya nanti ada anak lain datang gue bisa tahu.

Langit yang gue lihat begitu cerah tanpa awan sedikit pun, sehingga tidak bisa menahan terik matahari yang sangat menyengat hari ini. Langit dan biru adalah satu kesatuan, begitu juga dengan manusia dan emosi. Kali ini gue baru menyadari ucapan nenek tempo hari bahwa makhluk fana bernama manusia itu sangat labil emosinya terutama saat remaja seperti gue. Nenek juga menambahkan supaya memperbanyak sholat dan dzikir serta sempatkan mengikuti pengajian, seperti nasihat yang sudah-sudah. Dan itu terlihat sulit untuk dilakukan saat rasa dalam dada gue seperti bom yang siap meledak, menunggu pemicu yang tepat.

"Nggi...dicariin pak Pujo gih. Ternyata tidur disini." ujar Amad dari balik pohon.

Gue yang merasa hanya satu detik memejamkan mata, ternyata sudah satu jam tertidur.

Dulu, dulu banget gue pernah suka kepada seseorang. Dia senior, cowok dari kelas sembilan yang sampai sekarang tidak tahu siapa namanya.

Dulu, gue suka pada dia murni sebatas suka layaknya fans yang tidak tahu nama idolanya, seperti bocah tolol. Tapi karena rasa suka itulah gue menjadi bersemangat pergi ke sekolah, tanpa absen seharipun, kecuali tanggal merah dan hari minggu dong.

Gue lihat dia ketika memakai seragam olahraga, keren banget anaknya, apalagi dari bangku gue yang dua meja dari pintu, mencuri pandang kearah lapangan sudah menjadi makanan wajib. Dan gue sama sekali tidak menyesal pernah suka pada itu cowok.

Saat kelas sembilan gue juga pernah suka kepada teman sekelas, namanya Toni. Walaupun namanya seperti tipe cowok badboy dan kelakuannya yang tengil tapi saat pelajaran agama pasti dialah yang disuruh pak guru untuk membaca ayat suci. Suaranya itu...merdu pake banget, 100% yakin. Dan itu yang membuat gue suka pada Toni, pada suara qori-nya.

Sedangkan yang sekarang...

Gue tidak tahu yang sedang gue rasakan ini rasa suka atau benci atau malas ke sekolah level tinggi. Tidak ada clue untuk jawabannya. 

"Anggi...apa bener kalo lo bilang ke Ana kita pacaran?" decit Budi ngos-ngosan berlari kearah gue.

"Kalo yang Ana tangkap maksudnya begitu...apa boleh buat." jawab gue enggan. Pagi hari begini kenapa harus membahas juga soal itu sih? Apa tidak cukup keruwetan di kepala gue saja perihal itu?

"Gila lo Nggi...pasti lo udah miring ya?" pekik Budi seolah kaget. Namun kentara sekali dibuat-buat.

"Serah lo mau mikir apa. Masa bodo." gerutu gue kesal.

"Nggak keren emang sih. Nggi...asal lo tau ya, dari dulu lo itu cuman tembok rata buat gue." jelas Budi yang sebenarnya tidak perlu gue dengar. Gue tahu segila-gilanya itu anak enggak bakalan melirik gue sebagai cewek yang layak.

"Dan lo cuman upil yang nyempil diantara noda diban sepeda gue. Asal lo tau itu." balas gue, tidak terima akan perumpamaan benda mati terhadap fisik gue.

"Yeee...lo itu ya. Sori aja nih ya, kemarin gue keceplosan soal ban sepeda dan mbak Septi. Gue hampir mau dibikin pepes tahu kalo nggak mau cerita yang sebenarnya." tutur Budi yang berhasil menghentikan langkah gue di depan kelas.

"Itu baru namanya kurang ajar lo, Budi. Nggak bisa dipercaya. Amanat gitu aja nggak bisa jaga." geram gue keki. Ini bukan lagi kabar buruk tapi super duper buruk.

Mba Septi itu senior Ana di tim basket dan gue nggak mau terjadi apa-apa karena gue. Bahkan gue juga nggak tahu menahu apa salah gue ke mba Septi. Benang kusut yang sejak kemarin coba gue urai kini semakin jadi kusut. Karena Budi !

"Kan udah bilang sori."

"Lo kata itu cukup?"

"Di cukup-cukupin lah."

"Sini gue jadiin lo perkedel gosong. Pepes tahu masih terlalu enak." teriak gue mengejar Budi yang sudah lari ke dalam kelas.

Budi bersembunyi dibelakang Amad, membuat gue tidak berkutik. Hari ini gue sedang malas berurusan dengan anak Rohis jadi gue balik kanan, duduk di bangku sendiri menahan kesal.

Tidak lama kemudian Ana masuk kelas dengan muka datar, tanda kalau sedang tidak ingin diganggu, lagi pula gue juga malas ngomong. Ini hari pertama gue datang bulan, perus yang mules hebat meminta gue untuk duduk tenang sepanjang hari. Urusan mendesak lain bisa menunggu besok.

Jika sedang datang bulan, biasanya napsu makan gue menguap tapi hari ini gue nyidam soto bening kantin sekolah. Jadilah terpaksa melangkahkan kaki yang terasa berat menuju sumber makanan tersebut.

"Tumben ke kantin sendiri...biasa juga bareng Ana ama tiga bule itu?" cecar Andi duduk menjejeri, tidak lupa semangkuk mie ayam dengan saos super banyak.

"Nggak. Pengin sendiri."

"Gue temenin boleh?"

"Ntar cewek lo marah, gue nggak tanggung."

"Yang itu...udah putus lama." jawab Andi dengan nada sendu.

Hening.

Hanya bunyi sendok garpu beradu mangkok cap jago serta suara berisik satu kantin. Tidak ada bagusnya membahas soal mantan atau semacamnya. Gue juga sedang malas melanjutkan ngobrol dengan Andi yang bisa dibilang tidak terlalu baik hubungannya, dalam kacamata gue sendiri.

Bagaimana menurut buaya darat cap perempatan itu sendiri....tau lah.

Tidak mau berlama-lama, secepat mulut bisa menguyah secepat itu pula isi mangkok perlahan habis. Setelah membayar gue pun bergegas meninggalkan kantin.

Baru tiga langkah beranjak dari kasir, sebuah kaki menghalangi jalan membuat gue jatuh tersandung kedepan. Lutut kiri gue lecet terkena lantai kantin yang kasah.

"Opps, sori deh." decak suara cewek, tersangka utama.

Saat gue mendongak untuk melihat wajahnya, hangat mendekati panas kuah bakso mengguyur punggung yang pasti menimbulkan noda saos di seragam gue. Anehnya, gue tidak merasakan rasa panas dipunggung sedikit pun tetapi digantikan dengan bara api dalam dada berkobar panas.

"Mbak?" suara gue tercekat, wajah itu tidak asing sekaligus sangat asing.

Wajah putih cantik bernama Septi kelas dua belas merangkap senior tim basket Ana berada tepat dihadapan gue.

Tinju gue mengepal tertahan. Menahan sakitnya kram perut akibat diguyur soto bening sekaligus rasa amarah gue yang menggebu. Namun, kesadaran gue menahan untuk berbuat membalas. Jadi, gue menarik napas dalam-dalam sebelum bertanya baik-baik, kalau kalau sosok didepan gue bisa diajak baik-baik. Tatapan matanya jelas membenci.

"Salah gue apa mbak?" masih dalam mode suara normal gue berbicara.

-TBC-

cerita Masa Mudaku Kisah Cintaku versi lengkap hanya ada di Webnovel dengan link berikut ini: https://www.webnovel.com/book/masa-mudaku-kisah-cintaku_19160430606630705

Terima kasih telah membaca. Bagaimana perasaanmu setelah membaca bab ini?

Ada beberapa cara untuk kamu mendukung cerita ini yaitu: Tambahkan cerita ini ke dalam daftar bacaanmu, Untuk semakin meriah kamu bisa menuliskan paragraf komen atau chapter komen sekali pun itu hanya tulisan NEXT, Berikan PS (Power Stone) sebanyak mungkin supaya aku tahu nama kamu telah mendukung cerita ini, Semoga harimu menyenangkan.

Yuk follow akun IG Anggi di @anggisekararum atau di sini https://www.instagram.com/anggisekararum/


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C39
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login