Download App

Chapter 3: Menuju Takdir

Malang, Jawa Timur; awal Mei 2020

"Akhirnyaaaa…." Ivan hanya bisa menggeleng melihat sahabatnya yang langsung loncat ke kasur setelah sesi tanya jawab tegang bersama kakek dan ayah Ivan di ruang tamu. Sebenarnya, hampir semua pertanyaan yang di lontarkan kakek dan ayahnya mengarah padanya. Namun, temannya itu tidak bisa menyembunyikan ketegangannya, fakta bahwa topik pembicaraan mereka hanya membahas tentang siapa Dian, berhasil membuat nyalinya seketika ciut.

Dian sudah menduga kalau akan jadi seperti ini, namun suara kakek Ivan yang kelewat tegas itu sukses membuat tubuhnya panas dingin, bagaimana tidak? Ivan anak seorang bangsawan, tentu saja Dian takut keluarga Ivan akan melarangnya berteman dengan dirinya yang hanya orang biasa.

Namun, ternyata dugaannya salah, setelah melewati sesi tanya jawab yang hampir semuanya di jawab olah Ivan itu berakhir, kakek Ivan yang awalnya berwajah kaku itu tiba tiba melembut, ayah Ivan yang hanya diam menatapnya tiba-tiba tersenyum ke arahnya, mereka malah berterimakasih karena sudah mau berteman dengan Ivan yang nyata-nyatanya memiliki 'kelainan' mata itu

Membuat Dian yang terlambat memperoses keadaan hanya bisa tersenyum kikuk, lalu di akhiri dengan acara minum teh singkat ber empat di ruangan luas itu

"serius deh Ivan, keluargamu kalau lagi seperti tadi itu sangat mengerikan sekali! Kau tau aku hampir mati duduk saat kakekmu bertanya tentang aku tau kelebihanmu apa tidak." Ivan terkekeh, memaklumi sikap yang di keluarkan temannya saat di ruang tamu tadi.

Ivan masih ingat, wajah cerah Dian yang seketika luntur saat seorang pelayan tiba tiba mendatangi mereka, mengatakan bahwa kepala keluarga Robertson sedang menunggu mereka berdua di ruang tengah

"Sudahlah, yang penting sekarang kau sudah lulus test dari keluargaku, sekali kau lulus, kau akan terus di anggap tamu kehormatan di rumah ini" Goda Ivan mencoba membuat sahabatnya itu tergiur.

Dian yang mendengar perkataan temannya sontak terdiam lalu mengerling nakal, memikirkan apa saja yang akan dia minta pada semua pelayan yang ada di mension ini, dia akan di layani seperti raja.

"Ahh.. kawan, kau tau aku bukan orang yang seperti itu kan,"ucap Dian sambil mengibaskan tangannya, sedangkan Ivan hanya bisa memutar matanya jengah

"Hhh…ngomong-ngomong, kau akan menginap berapa hari di sini?"

"Entahlah, tapi aku sudah mendapat restu selama 14 hari penuh dari orang tuaku"Ivan bergerak, melangkah ke arah sofa panjang di dekat jendela sebelah kanan ranjang, meminta pelayan untuk menyediakan dua cangkir teh dan beberapa kudapan di meja.

"Hmm… aku sebenarnya sudah berencana untuk kemah kita. Hanya saja, ayahku mengirimku ke Jember untuk observasi sebuah villa yang di jual oleh teman kakekku, denger-denger sih berhantu, letaknya agak jauh dari kota, lusa kita berangkat, aku akan membawa beberapa-"

"Wow! Tunggu dulu! Kau sadar apa yang barusan kau katakan kan?" Ivan terdiam, mencoba mengulang kalimat yang barusan dia katakan di otaknya.

"Emang kenapa? Ada yang salah?"

"Villa berhantu katamu?!! AKU TIDAK IKUT!!"

"Ayolaahh…kau tau yang hanya bisa melihatnya hanya aku, kenapa malah kau yang takut" Dian mengangkat tangannya sambil menggeleng, bersikeras kalau dia tidak mau ikut ke tempat berhantu itu bersama Ivan.

"Lebih baik aku di sini, mengurung diri di dalam ruangan VR, bermain game seharian"

"Lalu kakek akan datang untuk menendangmu keluar dari mension,"ucap Ivan sukses membuat bibir Dian terkatup rapat. dia lupa, kalau ini bukan rumahnya sendiri.

"Hhhh…kita tidak bisa langsung percaya begitu saja tentang desas-desus seperti itu Dian, bisa saja itu hanya gosip bualan yang di buat warga sekitar yang punya dendam dengan pemilik rumah agar rumah itu tidak ada yang beli. Lagi pula ini Jawa Timur kau tau? Biasa ajalah."Ivan mencari alasan, membuat orang di depannya terdiam dengan wajah keruh, bingung memutuskan akan ikut apa tidak.

"Ayolah Dian, kita akan baik-baik saja! Percayalah padaku!" Dian menatap Ivan frutasi, menghela nafas kasar sambil mengacak-acak poninya yang agak kusut.

"Oke-oke, aku ikut! Tapi kau harus bertanggung jawab penuh bila sesuatu terjadi padaku oke?! Aku tak ingin di teror hantu selama sisa hidupku atau terkena santet dan mati tersedak bji apel hanya karena ikut masuk ke rumah itu denganmu!"ucap Dian horor, sedangkan Ivan hanya terkekeh pelan, sahabatnya ini terlalu sering menonton film horor sepertinya.

"Kalau begitu, kau siapkan segala keperluanmu! Kita akan berangkat esok sore, Jangan banyak-banyak! Atau kau akan ku turunkan di stasiun kereta,"ancam Ivan mengingat kebiasaan aneh sahabatnya itu membawa barang berlebihan selama perjalanan. Dian mengangguk, menirukan pose hormat sambil menegakkan badannya

"oke bos!"

_____

Malang, Jawa Timur; awal Mei

Pagi itu, di belakang mension keluarga sebastian, Ivan dan Dian. Sedang sibuk memprediksi pergerakan tubuh satu sama lain.

"Kau fikir aku akan kalah kali ini?"ucap Ivan dengan nada mengejek, membuat orang di depannya tersenyum miring tanpa mengalihkan fokusnya pada pergerakan kaki Ivan. Ivan melesat, secepat mungkin bergerak ke kanan ketika Dian salah memprediksi gerakannya. Men-dribble bola mendekati ring, lalu dengan satu lompatan tinggi melempar bola ke dalam ring. Sebuah lay-up yang sempurna. Jaring bergetar, 28-25, Ivan memimpin angka.

"Dasar sombong!"teriak Dian. Mereka sedang melakukan one on one.

"Makanya, berhentilah menembak 3 angka, Dian! Keberuntunganmu tak akan datang terus menerus"sahut Ivan tak kalah nyaring. Dian mendengus, berlari merebut bola yang memantul di bawah ring, membawanya menghindari Ivan di sisi lain lapangan, lalu tiba-tiba melompat melempar bola dari luar garis. Three point shot. 28-28.

"Humph! Kau pikir aku tak bisa mengejarmu?!"katanya sambil menyeringai. Ivan hanya bisa tertawa melihat tingkah kekanakan sahabat nya itu.

"Jadi besok sore?" tanya Dian ke arah Ivan yang mendekat ke arahnya, melemparkan sebotol air mineral dingin yang langsung di tangkap oleh Ivan, mereka istirahat sejenak, setelah kehabisan tenaga melempar bola, berselonjor di pinggir lapangan, menikmati angin yang sesekali lewat menerpa wajah mereka.

"Jadi laah…kau fikir kakekku hanya bermain-main saja" jawab Ivan lalu meneguk air di tangannya hingga tersisa setengah.

"Haaa….kenapa beliau harus menyuruhmu sih? Jelas-jelas ada temanmu sedang berkunjung." Ivan menghela nafas, kembali meneguk air di botonya hingga kandas tak bersisa.

"Aku juga tak mengerti, Kakek tidak pernah seperti ini, kalau memang beliau ingin membeli sesuatu, beliau pasti akan langsung membelinya saja, tanpa perlu melakukan observasi atau sebagainya." mereka sama-sama terdiam, menatap langit dengan fikiran masing-masing.

"Lalu? Yang aku tidak mengerti adalah, kenapa beliau menyuruhmu, bukannya ayahmu atau pamanmu" tanya Dian lagi, kali ini Ivan terdiam, berfikir bahwa apa yang di katakan sahabatnya itu ada benarnya juga. Kalau memang observasi di perlukan, kenapa orang yang di kirim adalah dia? Bukan ayah atau pamannya yang jelas jelas lebih mengerti tentang hal semacam itu. dia bahkan hanya menerima alamat serta nomor telfon pemilik villa tanpa sekalipun mengetahui bentuk dari villa yang akan mereka kunjungi.

Ivan berbaring. Menutup matanya dengan lengan kanannya yang bebas, mencoba menghilangkan semua fikiran buruk yang mulai menguasai dirinya.

"Kita akan menginap selama 4 hari di sana, sebenarnya terserah kita sih. Hanya saja, aku tak ingin kita berlama lama di sana. Cukup observasi sebentar, wisata, lalu pulang." Ivan mencoba menenangkan diri, memikirkan beberapa tempat wisata di jember yang belum pernah di kunjunginya, berharap akan menemukan keseruan di sana.

"Hhh… terserah saja, aku tak akan menahan diri dengan meninggalkan kamera ku di sini, karena ini akan menjadi perjalanan panjang!" kata Dian semangat. Ivan tau, sahabatnya itu sangat menyukai fotografi, ia bahkan mengkoleksi beberapa kamera dirumahnya.

"Kau membawa yang mana kali ini?"

"Leicaku yang terbaru, M8. Ayahku membelikannya untukku, aku bahkan sudah memberinya nama" ucap Dian sumringan, terlihat jelas rona kebahagiaan di wajahnya.

"Jangan lupa untuk memotretku juga,"kata Ivan. Mereka lalu tertawa, melupakan waktu yang terus berlalu, membawa mereka pada takdir yang tak mereka sangka-sangka.

TBC.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login