Download App

Chapter 23: 23. Dinner

Eve berdiri di depan cermin. Dia tidak henti-hentinya memperhatikan penampilannya. Setumpuk pakaian baru yang selama ini tersimpan rapi, sudah menumpuk di atas tempat tidur.

Eve, wanita yang selalu memperhatikan dirinya, sekarang merasakan kebingungan. Tentu saja karena dorongan hati. Dia menyukai seseorang.

Ting... Tong...

Eve langsung terserang kepanikan yang tiada duanya. Dia langsung memasukkan pakaian yang sudah berantakan ke dalam lemari pakaiannya yang sudah kosong.

"Hmmm... Aku sudah mandi, keramas, ketiak juga wangi. Bajunya gak norak atau aku harus ganti lagi?" gumam Eve.

Ting... Tong...

"Iya, sebentar!" teriak Eve.

Eve kembali merapikan pakaiannya. Kemeja putih sederhana yang dipadukan dengan rok lebar setinggi lutut berwarna hijau tua. Rok yang berhiaskan pita.

Eve membuka pintu. Menampakkan wajahnya yang merona. Eve mengikat setengah rambutnya, menjepit poni supaya wajahnya yang cantik, terlihat jelas tanpa ada angin yang harus menerpa.

"Ralio!" panggil Eve setelah Ralio tidak merespon apapun.

Ralio terbelalak melihat penampilan Eve malam ini yang sangat cocok dengan wajahnya yang anggun.

Ralio datang menjemput Eve dengan seikat bunga mawar merah segar ditangannya. Dia memberikan bunga itu untuk Eve.

"Terimalah bunga ini. Bunga yang kalah cantik," ucap Ralio tanpa memalingkan pandangan matanya.

"Kalah oleh apa?" tanya Eve.

"Kalah oleh wanita yang menerimanya!"

***

"Guin!" panggil Gavin yang terlihat bosan karena menunggu Ralio yang tidak kunjung datang.

"Iya, Gavin!" jawab Guin.

"Mereka sedang apa, sampai membiarkan kita menunggu di mobil?" tanya Gavin kesal.

"Biarlah. Gavin di sini juga bersamaku," Guin berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Guin, bibir Guin pakai apa? Kenapa seperti..."

"Oh, aku pakai lipstik," jawab Guin segera sebelum pertanyaan itu berderet seperti kereta.

"Kenapa pakai?"

"Hanya ingin," jawab Guin lagi.

"Apa rasanya manis?"

"Ti..."

Belum sempat menjawab. Bibir Guin sudah berada di dalam bibir Gavin. Guin ingin mendorong Gavin, tapi dia juga terbuai oleh sentuhan bibir Gavin.

Gavin yang selalu memperlakukannya dengan lembut, bahkan meski pun ciumannya menggebu-gebu, dia tetap melumatnya sangat pelan. Seperti tidak ingin menyakiti Guin.

"Hmmm... Rasanya lumayan manis," ucap Gavin setelah melepaskan pagutan bibirnya.

"Gavin, ngeselin!" ucap Guin sedikit berteriak karena kesal.

"Maaf!" ucap Gavin sembari menahan tawanya.

"Aku marah!" kata Guin dengan bibir yang condong ke depan.

"Kalau begitu, aku akan mencium Guin lagi biar Guin tidak marah," goda Gavin.

"Hihhhh, Gavin..."

Tok... Tok... Tok...

Ralio sengaja mengetuk kaca mobil sebelum masuk karena tidak ingin Eve melihat kejadian seperti yang mereka lakukan saat siang hari. Masih terbilang beruntung karena Ralio berhasil menutup mata Eve.

"Tuan, ke Resto biasa?" tanya Ralio.

"Apa harus ditanya lagi?"

"Sabar-sabar, Gavin tidak boleh marah-marah," ucap Guin.

"Untung saja ada Guin ."

Ralio dan Gavin sudah seperti kucing yang berebut makanan. Guin jadi berfikir sejenak, sikap mereka berdua tidak hanya seperti atasan dan bawahan tapi terkadang terlihat lebih dari itu.

Tidak terasa, mereka sudah sampai di tempat tujuan. Gedung yang lumayan besar, dengan tatanan suasana romantis. Pengunjung yang datang juga mereka yang sudah memiliki pasangan.

"Wahhhh... Tempatnya terlihat sangat nyaman," puji Guin.

"Guin suka?"

"Asal bersama dengan Gavin, di mana pun itu, aku akan suka."

Kata-kata Guin yang terdengar sangat manis. Melelehkan gunung es yang selama ini membeku.

"Tunggu apa lagi? Ayo kita masuk," ajak Gavin.

"Kita tidak menunggu Ralio dan Eve?"

"Saya sudah di sini, Nyonya."

"Sejak kapan?" tanya Guin.

"Sejak keindahan bulan berpindah ke wajah seseorang," jawab Ralio.

"Hah? Siapa?" tanya Gavin.

"Ada deh!" jawab Ralio sembari melirik Eve.

Eve mencubit pinggang Ralio. Ralio hanya meringis menahan sakitnya. Eve juga melirik dengan pandangan mata sadis.

"Awhhh... Kenapa?" bisik Ralio.

"Apa wajahku bulat seperti bulan? Kenapa kau mengatakan kalau bulan pindah ke wajahku?" bisik Eve.

"Hssstttttt!" Ralio menempelkan jarinya di bibir Eve.

Deg... Deg... Deg...

Hanya satu jari yang menempel di bibir, tapi sudah bisa menaklukan hati. Memporak-porandakan detak jantung yang tadinya berdetak sangat tenang.

"Apa tidak ada pria yang merayu Nona, sampa tidak paham kata rayuan?" ucap Ralio lirih.

"Kau sedang mengejekku?"

"Tidak. Aku malah senang. Biarkan aku menjadi pria pertama dan terakhir yang akan terus merayumu."

"Hei, lapar!" bisik Gavin dengan sengaja.

"Haaaa..." teriak Ralio.

"Pffffttttt..."

Guin dan Eve tertawa melihat Ralio yang terkejut. Ralio sedang fokus merayu Eve, tapi Gavin datang membisikkan sesuatu yang menyadarkan kalau mereka bahkan belum masuk ke dalam resto.

"Ehhhh, bos..."

Dukkk....

Ketika Manager resto menyapa, Ralio langsung menginjak kakinya sehingga kalimat yang terucap terputus.

"Awhhhh... Se--selamat datang, Tuan dan Nona!" ucapnya sembari menahan rasa sakit.

"Kalau sampai ketahuan, saya akan mencolok matamu!" bisik Ralio.

"Ma--maaf!"

Tap... Tap... Tap...

Gavin menggandeng tangan Guin. Mereka berdua berjalan lebih dulu karena Ralio dan Eve sedang asyik bercengkrama.

'Kalau Gavin normal, mungkin aku bisa juga berbicara tanpa memikirkan artinya. Ahhh, tidak-tidak. Apa yang baru saja aku pikirkan?' batin Guin.

Tanpa sadar, ada rasa ingin yang lebih dari sekedar kelembutan. Guin sampai menggenggam erat tangan Gavin, bahkan Guin tidak menyadari telapak tangannya yang sudah berkeringat.

"Guin, silahkan duduk!" ucap Gavin.

"Terimakasih! Ralio dan Eve mana?" tanya Guin.

"Mereka memesan ruangan lain."

"Oh, tapi kenapa?" Guin langsung duduk.

"Tidak tahu! Guin mau aku menanyakannya?"

"Tidak perlu!"

"Kenapa?" tanya Gavin.

"Karena aku juga ingin berdua saja denganmu."

Guin tersadar dengan pikirannya yang akan memberatkan Gavin. Tidak dipungkiri kalau Guin juga ingin memiliki pasangan yang umum seperti orang lain.

Guin juga ingin, bercengkrama, bercanda, dia juga ingin menceritakan segala keluh kesahnya.

Gavin menyadari kesedihan Guin. Gavin berlutut, mengambil sapu tangan yang ada si saku celananya. Gavin mengusap lembut telapak tangan Guin yang berkeringat.

Hati Guin yang sempat goyah, menginginkan lebih dari sekedar sebuah kelembutan akhirnya terbangun. Tersadar dan tertampar oleh kenyataan.

'Ayo, Guin. Pria lembut yang ada dihadapanmu saat ini adalah Suami yang tidak akan kau temukan di mana pun. Dia pria yang tidak ada duanya. Kau hanya perlu mencintainya. Melihat dia seorang, bukan membandingkannya dengan pria lain,' batin Guin, menyadarkan diri sendiri.

"Kenapa Guin menangis?" Gavin mengusap lembut pipi Guin.

Greppp...

Guin langsung memeluk Gavin tanpa menghirauan kebingungan yang Gavin hadapi. Guin memeluknya dengan sangat erat.

Guin menyesali pikirannya sekilas yang hampir saja merubahnya. Andai saja Gavin bisa membaca isi pikiran Guin, mungkin saat ini, Gavin tidak akan sudi lagi menerima pelukan darinya.

"Guin!"

"Diamlah! Biarkan aku memelukmu sebentar saja," ucap Guin.

'Peluk aku sepuasmu. Suatu saat nanti, mungkin kau akan marah, tapi ini adalah caraku menciptakan kehidupan kita yang damai di masadepan,' batin Gavin.

Hiks... Hiks... Hiks...

"I LOVE YOU, GAVIN! I LOVE YOU SO MUCH!"


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C23
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login