Download App

Chapter 2: Rancang Rencana (Bagian 1)

[Setelah membaca ini, diharapkan untuk memberikan Rate-nya ya :3

Apabila terdapat Kritik/Saran, harap tuliskan dalam kolom komentar, agar author dapat mengevaluasi serta meningkatkan writing skill-nya. Terima Kasih!]

2 bulan yang lalu...

      Jam menunjukkan pukul 15.38 pada jam tangan Widya. Ia duduk termenung di bawah pohon mangga dekat gerbang masuk sekolahnya. Sebagian besar murid bergiliran menunggangi ojek online untuk perjalanan pulang mereka. Sebagian juga masih ada yang berkumpul-kumpul untuk sekedar melepas kepenatan mereka. Dari kejauhan, sosok pria sebaya menghampiri Widya.

"Wid, lo lagi sibuk ga?" tanya Kross

"Gue kebetulan lagi free sih, ada apa?" tanya Widya

"Anak-anak pada nyariin lo tuh! Ikut gue aja sini,"

"Memangnya ada apa?"

"Gue butuh saran dari lo tentang sesuatu. Selengkapnya, nanti gue akan jelasin  di dalam kelas,"

"Okay."

     Kross, kerap terkenal dengan si 'lisan pedang baja' diantara kalangan siswa kelas XI. Kemahirannya dalam mematahkan argumen tandingannya tak dapat ditaklukkan, bahkan yang berbeda alam sekalipun. Sanggahannya yang amat kritis, bak gumpalan api yang bersedia membakar habis semua benda yang berada dihadapannya.

    Di salah satu kelas, Kross beserta teman-teman sepergaulannya tengah saling menyalurkan sambatan mereka mengenai sistematika kegiatan belajar-mengajar; yang tak kunjung berubah dari masa ke masa. Berawal dari sekedar ngalor-ngidul saja, hingga berujung kepada perdebatan yang absolut.

     Kross paham betul, bahwa Widya ialah seorang finalis yang tepat dalam bidang ini. Lantaran Widya ialah sosok wanita yang perfeksionis, Kross tak ingin apabila ia terlalu gegabah dalam mengambil keputusan yang dapat mengakibatkan Widya enggan untuk  menjulurkan tangannya. Maka dari itu, Kross telah mempersiapkan aspirasi-aspirasi yang telah dirangkum dengan sangat sistematis nan hati-hati sebelum dilaporkan kepada Widya.

     Sampailah Widya ke lorong lantai 2 sekolahnya dipandu oleh Kross. Gadis itu datang dengan tubuh tegap, berpostur tegap, dan berpenampilan disiplin layaknya seorang pramugari. Sedangkan Kross, ialah pria yang berpostur agak bungkuk, berkacamata bulat, dan bergaya rambut klimis. Tapi kecerdasan keduanya amat dominan, apabila dibandingkan dengan murid sebaya.

     Ketika Widya masuk ke kelas tersebut, kehadirannya seakan menegangkan; sekaligus menggembirakan. Bola mata Widya memandangi seluruh sudut kelas, sembari memancarkan aura kharismatik yang sangat memikat dari tubuhnya. Belasan pasang indra penglihatan tertuju padanya, seolah-olah tertarik oleh aura 'jenius' milik Widya.

"Nih, gue udah bawain kalian si masterpiece," ujar Kross

"Widya! Sumpah, lo harus tau ini!" seru Risha

"Kenapa sih lo, heboh banget?" tegur Widya

"Biar gue aja yang jelasin ya. Wid, silahkan duduk." terang Kross.

     Widya pun tersenyum, kemudian menempati kursi busa guru di kelas tersebut. Tatapannya yang penuh konsentrasi nan tajam bak ujung mata pedang yang telah diasah. Dalam konteks ini, berlaku pernyataan: tatapan yang tajam, mencerminkan otak yang cemerlang.

"Jadi gini, Wid. Tadi, anak-anak udah bener-bener melampiaskan semuanya, dari hal-hal yang receh sampai sebesar perut tikus-tikus kantor DPR,"

"Nah, gue udah mempersiapkan beberapa konsep dasar buat lo omongin ke Kepala Sekolah, Wid,"

     Kross memberikan setumpuk kertas-kertas ke hadapan Widya. Kross mengharapkan dengan ia memanggil Widya untuk turut menyumbangkan otak dan jiwanya dalam perancangan ini, mereka dapat menemukan titik tengah penyelesaian dalam waktu yang sesingkat mungkin.

"Menarik! Keluhan-keluhan kalian cukup membuatku terkesan," respon Widya

"But, gue yakin ada beberapa yang perlu didestruksi dalam plan kita kali ini,"

     Sungguh, penjelmaan Widya sebagai seorang penjahat bergelar doktor; atau bahkan seorang 'mastermind para aktivis'  begitu sempurna. Ia tak ingin banyak bertutur kata. Baginya, berbicara secukupnya ialah salah satu cerminan pribadi yang cerdas.

"Sebelum gue lanjut, gue mau liat dulu visualisasi dari rencana kalian seperti apa," ujar Widya

"Baik, Bu Widya," jawab Kross

"Whatever," jawab Widya ketus

     Kross menggenggam erat beberapa spidol papan tulis yang berbeda warna: hitam, merah, dan hijau pada tangan kirinya. Tangan kanannya sibuk bergilir dari satu warna, ke warna yang lain. Sembari menggambarkan rancangan tersebut, Kross juga menjelaskan beberapa bagian dari rancangan tersebut. Para audiens pun dengan hikmat mengamati prosesi penjabaran rancangan hasil diskusi mereka.

Papan tulis persegi panjang yang memiliki luas 6m itu mulai terpenuhi sedikit demi sedikit dengan berbagai kalimat, dan dihiasi oleh beberapa gambar serta tabel yang umum kita dijumpai di dalam sekolah.

      Kross pun menyuarakan isi benaknya kepada seluruh partisipan sembari menulis, bak seorang pembawa seminar jempolan. Dengan lihai bibir Kross bergerak, diselingi oleh tangan Kross yang tak kunjung rehat. Tak terasa, jam dinding kelas menunjukkan pukul 14.07 WIB. Tuntaslah kewajiban Kross untuk menjabarkan semuanya. Widya mengapresiasi cara Kross menjabarkan rencana mereka. Widya pun mulai memutar otaknya untuk menganalisa hasil paparan sambil menopang dagunya.

"There you have it, Miss,"  ujar Kross

"Bagus," respon Widya singkat.

"Sudah mulai kebayang ya? Sekarang gantian, gue mau tau. Kira-kira, perombakan apa aja yang lo mau buat?" tanya Kross

"Thank you, partner. Jadi, yang menurut gue perlu direvisi yaitu: sistematika pencarian calon kandidat kita. Menurut gue, untuk mencari orang yang tepat; apabila dengan cara memberikan souvenir untuk para calon kandidat; gue rasa, itu kurang efektif. Selain boros, kemungkinan orang itu untuk bergabung dengan kami sangat kecil. Anggap saja, seharga dengan apa yang kita beri," jawab Widya

"Noted. Silahkan lanjut," Kross menyela pembicaraan

Krek...

    Pintu kayu itu terbuka lebar. Sosok guru killer, berada persis dihadapan mereka. Kehadirannya mampu membuat seisi kelas terpaku cemas. Oh Pak Fredrick, mengapa engkau terlalu KEPO dengan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh anak didikmu?  Sebuah teguran dengan lantang keluar dari lisannya, dengan logat Ambon campuran yang cukup menggelitik jiwa.

"HEY!"  tegur Pak Fredrick

     Ruangan yang awalnya terang dan menyejukkan, terselimuti oleh kabut amarah yang terpancar oleh Pak Fredrick. Sebagian menenggelamkan dirinya kebawah meja; sebagian terdiam mematung di atas bangkunya. Ketegangan itu semakin kuat dengan teguran kedua:

"Durhaka! Ngapain kamu masih disini? Pulang!" geram Pak Fredrick

"B-baik, Pak. Kita lagi ada kerja kelompok seben-" jawab Kross

"Pulang! Apa ini? Kalian bikin apa? Jawab!"

"Naskah drama, Pak,"

"Bohong kamu!"

"Beneran, Pak,"

        Pak Fredrick pun berjalan dengan timik-timik mendekati papan tulis. Ia terdiam sambil mengamati seisi papan tulis, dan sesekali melirik Kross dan Widya yang tetap berdiri tegap disampingnya. Sebenarnya, drama ialah sesuatu yang berada di luar kemampuan benaknya. Sebab, ranah pengetahuannya hanya seputar kromosom DNA, bukanlah drama ataupun karya sastra.

"Baiklah," amarah Pak Fredrick meredam

"Tapi kalian harus segera pulang ya! Nanti saya gembok gerbangnya, baru tahu rasa kalian!" lanjutnya

"Baik, Pak. Mohon maaf ya Pak Edi," seru para murid

"Alhamdulillah. Lega juga," sahut Nabhan

     Langkah Pak Fredrick pun terdengar menjauh dari kelas, meninggalkan pintu yang terbuka. Namun tatapannya tetap tajam mengarah ke dalam ruangan melalui kaca persegi yang terselimuti debu tipis. Selang beberapa detik, aura kelas kembali membaik seperti semula berkat pancaran aura milik Widya. Akhirnya, forum diskusi itu berlanjut setelah melewati iklan yang menjengkelkan.

"Sampai mana tadi? Oh, Wid. Apa yang mau lo ubah dari sini?"

"Sebentar. Gue inget-inget dulu. Oke, jadi gini..."

     1020 detik terasa cepat berlalu. Si gadis cantik jenius telah merombak sebagian rencana, dengan memanfaatkan waktu sesingkat mungkin. Dalam perkiraan, sekitar 45% dari rancangan tersebut berubah secara signifikan dan sistematis.

     Tiada seorang pun yang dapat meniru kemahiran Widya dan Kross perihal sebuah rancangan rencana mengenai sebuah pergerakan yang notabenenya: sesuatu yang mungkin masih dianggap tabu bagi banyak orang. Sebagian insan lebih memilih untuk mengikuti arus kehidupan yang telah ditetapkan oleh Tuhannya. Tetapi, tidak bagi seorang Widya. Ia memilih untuk menjadi nakoda, dibandingkan hanya menjadi penumpang yang buta akan ketidakadilan di sekitarnya.

Hari ke-2

     Sebagian besar rencana sudah tersusun sempurna. Apakah sudah saatnya untuk merealisasikannya? Belum; Widya masih memerlukan preparasi, serta beberapa instalasi yang dibutuhkan dalam 'underground work' ciptaannya itu.

     Hari ini bertepatan dengan Hari Guru Nasional. Pastinya, sang Kepala Sekolah sedang sibuk-sibuknya. Entah sibuk mengerjakan tanggung jawabnya atas amanat yang Ia genggam; mengkoordinir jalannya acara secara penuh; ataupun melepaskan rasa penat yang membebani punggungnya dengan turut bergembira di hari yang 'menyenangkan' baginya itu.

Memanglah, takdir Tuhan tak selalu manis.

Hujan deras belum tentu melahirkan pelangi yang indah,

justru menjadi cikal-bakal sebagian insan jatuh sakit.

Matahari tak selalu memperlihatkan senyumannya di pagi hari,

selepas melihat dosa para manusia yang tak lagi peduli akan alamnya.

Paru-paru dunia tak selamanya akan membuahkan oksigen,dan tergantikan oleh ranting-ranting gosong yang melepas racun terbang bebas ke udara.

Begitupun jua kehidupan di sekolah. Suka duka, pasti akan terjadi.Lomba-lombanya pun tak selalu menyenangkan,melainkan hanyalah tradisi lawas yang tetap berjalan tanpa adanya evolusi.

     Anehnya, rangkaian perlombaan ini selalu monoton dari tahun ke tahun. Padahal, sebagian besar murid enggan untuk mengikutinya. Namun tetap saja, mereka dipaksakan untuk menuliskan nama dirinya ke dalam daftar peserta lomba-lomba di hari itu: sparing futsal; tarik tambang; dan pertandingan basket antar kelas.

     Hal ini takkan mempengaruhi Widya untuk tetap menjalankan komitmen tangguhnya. Widya ialah sosok yang tak kenal putus asa. Sebagai gadis yang optimis nan oportunis; kesempatan ini ia manfaatkan untuk menggelar forum diskusi yang lebih intim mengenai rencananya. Disaat yang bersamaan jua, Widya harus memikirkan agar ia tak mengikuti lomba-lomba 'membosankan' itu. Ini merupakan suatu tantangan besar bagi Widya, karena mustahil apabila nama 'Widyadharma' tak dikenal baik oleh para guru di sekolahnya.

"Wid, gimana nih?" ujar Weden

"Keep calm, Den" jawab Widya

"Nggak bisa Wid. Trus ini kita gimana nanti kalo dis-"

"Tenang aja, Den. Gue bisa handle ini kok,"

"Gue bantu bilang ke guru ya, kalo lu nggak bisa ikut lomba,"

"Ide bagus. Tapi bukan itu yang gue mau, Den,"

"Oh! Atau gue bantu dengan cara-"

"Dengan cara lo jangan cerewet, dan beri gue waktu buat berpikir,"

"O-oke. Maaf ya, Wid."

     Weden pun terdiam. Hati kecilnya mengatakan bahwa Widya akan membencinya saat Ia sedang cerewet. Namun tetap, Widya masih menganggapnya sebagai sahabat; walau banyak hal yang sering bertolak belakang diantara keduanya. Ibarat simbol yin-yang, sisi putih Widya takkan dapat bertemu dengan sisi hitam Weden. Namun, masih ada titik hitam diatas putih. Titik itulah yang mempersatukan mereka, yaitu: pola pikir.

     Ya, Widya tak memandang seseorang untuk menjadi temannya dari aspek ekonomi; melainkan berdasarkan pola pikir serta rasa optimisme yang dimiliki oleh insan tersebut. Baginya, buat apa melihat seseorang dari parasnya, gaya berpakaiannya, ataupun kapasitas dompet pribadinya? Karena hasil riset pribadinya di bidang sosial menyatakan bahwa:

Sebagian besar harta benda yang dimiliki remaja dibawah 18 tahun, tidaklah murni hasil kerja kerasnya sendiri; melainkan dari kantong orang tuanya.

     Idealis; rasionalis; nasionalis: ialah sifat yang perlu ditanamkan kepada setiap jiwa yang masih bernafas. Sebab, menjadi seseorang yang diskriminatif akan merugikan pihak-pihak tertentu; serta memusnahkan hakekat serta esensi hidup sebagai manusia yang berakal.

     Jikalau engkau bertanya, secerdas apa teman-teman Widya? Sebenarnya, mereka tidak terlalu cerdas; hanya saja mereka disiplin, loyal, dan bertanggung jawab atas hasil keputusan bersama yang telah mereka capai.

     Seruan seorang perempuan yang dibalik pengeras suara telah terdengar lantang: "Kepada seluruh pelajar SMA Negeri Unggulan 83 Jakarta, diharapkan untuk segera berkumpul dengan tertib di lapangan, dalam rangka memperingati Hari Guru Nasional yang ke-74. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih."

     Dalam hitungan detik, pelajar yang ambisius; maupun pelajar yang pemalas; saling berlomba-lomba untuk segera meninggalkan kelas mereka masing-masing, untuk menuju lapangan warna-warni itu.

     Mereka terburu-buru bukanlah karena rasa semangat yang berasal dari dalam diri mereka, melainkan takut akan hukuman ikonik Ibu Eros; yang selalu menggenggam sebuah tongkat kayu di tangannya. Bila ada murid 'bandel' yang masih menempati kelasnya, maka pukulan tongkat itulah yang menjadi imbasnya.

"Anak-anak, berhubung dengan ketidakhadiran Kepala Sekolah, maka lomba-lomba terkait peringatan Hari Guru Nasional terpaksa ditiadakan, dan digantikan dengan jam kosong tanpa KBM."

"Namun, seluruh peserta upacara diharapkan untuk mengikuti upacara peringatan Hari Guru ini dengan tertib dan kondusif"

"Hore!" sorak para murid

"Yah, Kepala sekolahnya nggak ada nih Wid. Gimana, dong? " tanya Weden

"Bagus," ujar Widya

"Lho, kok bagus Wid?"

"Jadi, kita punya waktu lebih banyak untuk berdiskusi dengan lebih intens,"

     Jawaban ringkas; serta tepat. Mustahil, sebuah hasil akan tereksekusi dengan baik apabila preparasinya saja dibuat dengan terburu-buru; walaupun dilakukan oleh orang paling mahir sekalipun.

     Magis, seluruh siswa berbaris tertib tanpa disuruh seketika. Siapa yang tak senang, jika disambut jam kosong tanpa kegiatan apapun, kecuali: makan & tidur berjamaah.

"Kepada seluruh peserta upacara, siap grak!"

     Seruan pemimpin upacara mengalahkan suara-suara bising lainnya. Upacara yang kesekian kali, hendak terulang lagi.

Intermezzo: Adakah diantara kalian pernah memikirkan: Berapa kali upacara sekolah dilaksanakan dalam 1 semester?

    Eits... Tenang~ Rupanya Widya sudah pernah mengerjakan soal itu disaat waktu luangnya. Mari kita lihat jawabannya:

1 semester sekolah adalah 6 bulan; pada setiap minggunya, hari efektif sekolah ialah 5 hari; dari 16 Juli – 18 Desember; sama dengan 105 hari belajar efektif & ujian; maka dalam 21 pekan akan dilaksanakan 21 kali upacara hari Senin; ditambah dengan 2 kali upacara dalam rangka hari peringatan nasional: Hari Kemerdekaan dan Hari Guru Nasional. Maka, dalam 1 semester, kurang lebih ada 23 kali upacara untuk para siswa. Luar biasa, bukan?

Kring... Bel sekolah berbunyi tanda upacara telah selesai.

"Pembacaan do'a, seluruh peserta upacara diistirahatkan,"

"Seluruhnya! Istirahat di tempat, grak!"

     Seketika, semua murid langsung sigap menyambut bagian terakhir dari upacara tersebut. Pak Jumadi, sang pengajar keagamaan Islam itu melangkahkan kakinya ke atas podium; kemudian membacakan kalimat-kalimat religi seraya memanjatkan do'a kepada Tuhan sejagat raya. Sungguh, sesi pembacaan do'a merupakan sesi yang paling digemari oleh para murid dalam rundown upacara. Karena kegiatan upacara telah mencapai sesi terakhirnya, semangat para murid timbul kembali. Dengan khidmat, mereka mengikuti bagian terakhir tersebut sembari memperhatikan ketertiban masing-masing dalam berbaris.

     Beberapa menit kemudian, guru tersebut telah selesai memimpin doa upacara, serta para murid sudah tak sabar untuk segera menuju kelas mereka masing-masing. Tak pandang usia, tak pandang tingkatan kelas pula; bahwa menikmati nidera pada jam kosong bersama teman ialah momen yang paling berkesan di sekolah. Upacara pun dibubarkan. Setiap anak menjalankan kepentingannya masing-masing. Ada yang dengan lincah berlari ke kantin; ada yang berjalan menuju kelasnya; dan ada juga yang masih bergerombol kalang-kabut di pinggir lapangan.

"Wid, nanti masih ada yang lu mau bahas ya?" tanya Kross

"Ya, hanya sekedar meninjau ulang rencana kita saja," jawab Widya

"Oh. Kalau hanya meninjau ulang, sama gue aja dulu, Wid,"

"Baiklah. Elu, gue, dan Weden,"

     Tiba-tiba, jiwa Weden seakan-akan terpanggil. Weden pun berlari menuju perkumpulan Widya dan Kross. Dengan nafas yang terengah-engah; raut wajah cemas; serta langkah kaki yang lincah; Weden langsung menyapa mereka.

"Hah-huh, kemana saja kalian? haah," ucap Weden terengah-engah

"Memangnya ada apa, Den?"

"Tadi gue kan lagi jajan di kantin. Terus gue denger  Bu Wati, Bu Nur, sama Pak Hasan sedang membicarakan tentang rencana rahasia kita. Berarti, rencana kita mulai terekspos ke telinga para guru. Apalagi, Kepala Sekolah pasti akan segera mengetahui tentang ini, Wid, Kross,"

"Hah! Kok bisa?!"

- BERSAMBUNG -


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login