Download App

Chapter 37: KALEELA

Rafael menekan luka sayat pada lengan bagian atasnya. Dengan mengendap-endap Rafael kembali masuk ke dalam gerbong kereta. Ia menyahut tas dari tempatnya duduk. Beberapa orang penumpang keheranan melihat kondisi Rafael yang mengenaskan. Basah dan bersimba darah. Wajah Rafael sulit dikenali karena masker yang ia pakai.

Belum sempat orang yang duduk di sampingnya itu berucap Rafael sudah berpaling, pergi dengan menyandang ranselnya. Ia kembali membuka pintu keluar darurat. Kembali berdiri pada beranda besi.

Rafael merasakan air hujan menerpa wajahnya, dingin. Kesiur angin mulai terdengar bersamaan dengan laju kecepatan kereta api yang mulai melambat. Tiga puluh menit lagi mereka akan sampai pada stasiun tujuan.

Napas Rafael memburu, bukan karena rasa dingin, tapi karena rasa takut. Sudah lama sekali semenjak Rafael bertugas di garis depan. Sudah lama sekali ia tak melatih fisiknya begitu keras. Tapi kini ia tak punya pilihan, kalau tak meloncat, sudah pasti pihak berwajib akan menangkapnya atas tindakan kasus pembunuhan saat tiba di stasiun.

Rafael mulai melangkahi tralis pembatas, tubuhnya berdiri di ambang tepian gerbong kereta. Ia melihat deretan pepohonan rimbun yang gelap. ia melihat juga rumah-rumah kecil penduduk.

Baiklah, pada hitungan ke tiga, satu, dua, tiga!!

Rafael meloncat sejauh mungkin. Tubuhnya terbentur permukaan tanah basah dengan keras, lalu menggelinding beberapa kali. Rafael merasakan rasa sakit seakan tulang-tulangnya remuk. Tubuhnya semakin berat karena lumpur pekat.

"Akkh!!" pekik Rafael kesakitan.

"Shit!!!" Umpatnya, Rafael menengadah ke langita malam. Hujan membasuh lumpur dari wajah tampannya.

Kereta api semakin menjauh, suaranya semakin terdengar sayup-sayup di telinga Rafael. Sepertinya ia masih harus menunda kepulangan, harus menunda keinginannya untuk memeluk sang istri.

ooooOoooo

"Apa kau sudah gila?!! Melompat dari gerbong? Bagaimana kalau kau meninggal?" Regina langsung mengomel saat menjahit luka-luka di tubuh Rafael.

Rafael datang tengah malam, lengkap dengan tubuh babak belur dan lengan yang terus mengucurkan darah. Regina membelalak, setengah tak percaya. Rafael adalah anggota Tim Omega yang tak pernah terluka parah saat bertarung —dia penembak jitu, biasa bertarung jarak jauh.

"Dulu tidak semenyakitkan ini." Keluh Rafael.

"Kita sudah bukan tentara terlatih seperti dulu lagi, El. Kita bahkan tak pernah lagi bangun subuh." Regina mengoleskan obat merah sebelum menutup jahitannya dengan perban.

"Kau benar!! Sialan, kenapa orang-orang itu terus mengejarku?! Sebenarnya siapa pimpinan mereka?" desis Rafael, hatinya merasa geram.

Rafael bangkit, ia memakai kembali pakaian kering pemberian Regina. Pakaian seragam praktik milik anak-anak magang, lebih nyaman dari pada harus memakai pakaian basah —seluruh isi ransel Rafael basah kuyup.

"Jangan pedulikan itu saat ini. Minum obatmu dan beristirahatlah. Jangan sampai lukanya infeksi." Regina menaruh sebotol air dan antibiotik.

"Thanks," ucap Rafael. Regina mengangguk dan bergegas kembali naik ke atas kamarnya. Berkelung dengan selimut, melanjutkan mimpi indahnya.

Rafael duduk di dekat ranjang kakaknya Light. Ia menatap wajah pucatnya yang tirus sampai terlihat seperti mayat hidup. Rafael dan Regina telah berhasil menjaganya tetap hidup hampir 10 tahun. Bayangkan betapa tersiksanya jiwa Light.

"Kak Eric, kapan kau akan bangun?" lirih Rafael, ia menggenggam tangan sang kakak, air mata mulai menetes dari sudut mata Rafael.

"Apa rasanya sangat menyakitkan, Kak? Sampai kau tak mau menatap indahnya dunia dan kebersamaan kita lagi?" Rafael meletakkan tangan Light kembali masuk ke dalam selimut.

Rafael terdiam, menatap lamat pada wajah kakaknya, tubuhnya terlihat kurus, tak lagi berisi otot-otot keras hasil latihan beratnya selama menjadi tentara. Light berbeda dengan Shadow, Light periang dan Shadow pendiam. Light lebih mudah bergaul sedangkan Shadow tertutup. Tapi Light menyayangi Shadow, dan Shadow menyayangi Light. Tapi Light tau cara mengungkapkan cinta, Sedangkan Shadow tidak.

"Sebenarnya apa itu cinta, Kak? Apa kau pernah mencintai seseorang? Apa kau bisa memberitahuku bagaimana rasanya mencintai seseorang?" Rafael tertidur, merebahkan kepalanya di tepian ranjang Light.

Tangan Light bergerak perlahan, jemarinya berkedut pelan.

ooooOoooo

Apa kau pernah mencintai seseorang dengan begitu dalam?

Dan

Apa kau berani menentang dunia hanya demi orang yang kau cintai itu?

Membuang dunia tempatmu hidup, membuang dunia tempatmu bernapas,

Membuang dunia tempatmu berpijak,

Hanya demi orang itu. Pernahkah?

"Kaleela, maaf aku terlambat. Aku menunggu semuanya tidur." Eric —Nama asli Light— berlari keluar mengendap-endap dari camp milik PBB, markas sementara mereka saat ini.

Eric berjanji akan menemui Kaleela di parkiran tank dan mobil baja. Kaleela bisa masuk melalui celah di bawah pagar berduri karena tubuhnya yang mungil. Hanya Eric dan Kaleela yang tahu, karena celah itu juga hasil perbuatan Eric.

"Aku juga belum lama kok." Kaleela tersenyum. Hawa dingin gurun pasir dan anginnya yang kencang menerbangkan tudung rambut Kaleela.

"Ah ...!" pekiknya, beruntung Eric dengan sigap bisa menangkap pasmina itu.

"Ini." Eric mengerudungkan kembali ke atas kepala Kaleela, menyampirkan ujung pasmina pada leher gadis bermata biru itu.

"Terima kasih." Wajah Keleela menghangat, tersipu dengan perlakuan manis Eric.

Beberapa hari saling mengenal cukup membuat keduanya dekat. Kaleela sering mengajak rombongan Tim Omega mengenal jalur-jalur pemungkiman warga. Juga beberapa jalan alternatif menuju ke wilayah musuh. Kaleela menerjemahkan tiap penyelidikan yang dilakukan King, Eric selalu ada saat itu. Jujur saja, Eric tak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok Kaleela, sepertinya pria itu telah masuk ke dalam sihir kecantikan wanita berdarah timur tengah ini.

"Kau melamun apa?" tanya Kaleela, mereka berdua kini duduk di atas mobil militer semacam baracuda. Eric membantu Kaleela naik, mereka berdua duduk di atas cap mobil raksasa itu.

"Aku tidak melamun, hanya teringat dengan kejadian hari ini. Saat kita ke pasar tadi. Kau memberi buah pada seorang gadis kecil." Eric merebahkan diri di atas kap mobil, Kaleela menyusulnya.

"Aku punya adik seusianya."

"Oh ya? Aku kira kau hidup sendiri." Eric tampak antusias, ingin tahu seputar kehidupan Kaleela.

"Kakekku orang Prancis, ia jatuh cinta pada Nenek yang orang Timur Tengah saat perang dunia berakhir. Kakek adalah relawan medis. Mereka punya dua orang anak, Ayahku dan Bibi. Ayahku merantau sebagai seorang reporter dan sampai ke Indonesia. Ia menikahi ibuku, dan lahirlah aku." Kaleela tersenyum kecut saat menceritakan kisah hidupnya.

"Lalu? Apa yang salah? Kenapa kau tiba-tiba bersedih?" Eric mengerutkan alisnya tak mengerti.

"Ayah dan Ibu beda agama, jadi mereka tak punya surat nikah. Ayah dideportasi, dan aku harus ikut dengan beliau karena ibu tak akan bisa membiayai hidupku. Hidupku jauh lebih baik bila mengikuti Ayah." Kaleela menatap jauh pada bintang gemitang yang membentang luas di langit malam. Sayang sekali, takdir manusia berubah-ubah, negara yang ia diami saat ini kembali rancu karena isu politik dan perang saudara.

"Kau berdarah Indo?? Serius?!" Eric hampir saja mati kegirangan, tak pernah menyangka bahwa gadis yang ia sukai berasal dari satu rumpun yang sama.

"Iya, itulah kenapa aku bisa tiga bahasa. Indo salah satunya. Dan kini aku menjadi penerjemah kalian." Senyum Kaleela.

"Lalu apa kabar Ibumu? Apa kalian masih berhubungan?" tanya Eric.

"Masih, Ibu menikah lagi dengan pria yang baik. Ia punya dua orang anak perempuan. Kami jadi jarang bertukar kabar semenjak Ibu menikah." Senyum Kaleela, sorot matanya terlihat menahan rindu.

"Kau merindukannya?" Eric mengelus wajah Kaleela, tiba-tiba saja air mata jatuh dari matanya yang sejernih mata air.

"Bohong kalau aku tidak merindukannya Eric." Bohong kalau aku tidak ingin bertemu dengannya kembali, aku merindukannya setiap hari." Kaleela mulai terisak, Erik memeluknya.

"Maaf, maaf, harusnya aku tak bertanya. Jadi kau tak perlu bersedih." Eric menepuk pelan punggung Kaleela, mencoba menenangkan gadis manis itu dari deraian air mata.

"Yang penting dia sekarang bahagia, Eric. Yang penting mereka baik-baik saja." Kaleela menyeka air mata dan tersenyum. Eric menyukai senyuman manis itu.

"Setelah misiku di tempat ini berakhir. Aku berjanji akan membawamu kembali ke Indonesia, Ella. Aku berjanji." Eric mengecup punggung tangan Kaleela, gadis itu tak menolak, ia menyukai cara Eric menenangkan hatinya saat ini.

"Terima kasih, Eric."

"Aku suka sekali dengan senyumanmu, Ella. Teruslah tersenyum, jangan lagi menangis." Eric mengelus wajah cantik Kaleela, ia mendekatkan wajanya, perlahan-lahan bibir Eric mendarat mulus di atas bibir Kaleela.

Kaleela memejamkan matanya, menikmati alunan gerakan bibir Eric yang melumat bibirnya dengan mesra. Eric meraupnya penuh, memberikan kecapan rasa manis di dalam rongga mulut Kaleela. Memberikan getaran rasa yang tak pernah mereka berdua rasakan sebelumnya.

"Aku mencintaimu, Ella."

"Aku juga mencintaimu, Eric."

Pip ... pip ... pip ...!!!

Alat pendeteksi kehidupan Eric mendadak berbunyi nyaring. Rafael berjengit, langsung terbangun dari tidurnya.

Alaram menyala, Regina meloncat turun dari kamarnya. Berlari cepat menuju ke hybrid room tempat tubuh Eric tergeletak. Tubuh itu kejang-kejang di atas ranjang. Rafael terlihat panik, ia terperangah dengan pemandangan menakutkan itu.

Regina membasuh tangan dengan alkohol, menyahut senter dan stetoskop. Ia juga mengambil beberpa botol obat dan jarum suntik.

Bunyi mesin pendeteksi kehidupan semakin riuh, Eric hampir mengalami gagal jantung.

Tuutt .....!

Kejang Eric menghilang dibarengi juga dengan denyutan jantungnya yang melemah.

"Tidak!! Kumohon jangan, Kak!! Jangan tinggalkan aku!!" Rafael menitikkan air mata. Melihat Eric meregang nyawa tepat di depan matanya.

"Jangan menangis S!! Cepat bantu aku, lakukan CPR!!!" teriak V. Eric mengalami gagal jantung.

Rafael menyeka air mata, ia naik ke atas tubuh ringkih Eric dan menekan-nekan dadanya. Regina menuipkan udara ke dalam mulut Eric dengan alat bantu.

"Memeriksa!!" Regina menghentikan CPR, memeriksa denyut nadi.

"Belum!! S, lakukan lagi!!" Regina berusaha mengembalikan denyut jantung Eric.

"Ayolah Kak Eric!! Ayolah!! Berusahalah, sama seperti 10 tahun ini!!" Rafael menekan dengan irama dada Eric.

"Memeriksa!!" Regina menghitung denyut nadi Eric.

"Kembali!" Wajah Regina terlihat lega. Tanda vital kembali menyala, berkedip dan berirama stabil. Diagram mirip rumput mulai terlihat, saturasi oksigen kembali naik, Eric mulai kembali bernapas. Regina menyuntikkan obat anti kejang kembali, juga beberapa obat penguat jantung masuk ke dalam selang infus.

"Syukurlah!" Tangan Regina bergetar hebat, begitu pula Rafael, pria itu terjatuh di sudut ruangan. Meringkuk sambil menangis, ia terus mencengkram rambutnya sendiri.

"Kak Eric, jangan tinggalkan aku," lirih Rafael.

ooooOoooo

Ya ampun El, menangis aku tuh

😭😭😭😭

Vote ya gaes, jangan lupa di comment.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C37
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login