Download App

Chapter 3: Gadis Misterius

Sekali lagi aku melihat layar ponsel yang berwallpaper-kan foto Erina. Melihat angka yang tertera di sana. Sudah 15 menit aku menunggu. Masih ada waktu sebenarnya, tapi bagiku ini sungguh terasa begitu lama.

Bayangan-bayangan kejadian bagai sinetron bermunculan dalam kepalaku. Aku menunggu calon istriku, tapi calon istriku kabur dan meninggalkanku tanpa kabar.

Arrghh, memikirkan hal itu membuatku sakit kepala. Tanpa sadar aku meremas rambut kepalaku. Sehingga membuat rambutku berantakan.

Dari kejauhan, bisa kulihat mama mencemaskanku sambil tetap meladeni obrolan teman sosialitanya. Ya, kuharap mama menghampiriku saat ini dan menenangkanku. Tapi aku rasa mama takkan ke mari walaupun aku tau mama sebenarnya ingin menghampiriku. Entah apa, teman sosialitanya itu begitu menjaga dan menahan mama bergeming di tempat.

BRAKK

Pandanganku seketika tertoleh pada suara yang terjatuh. Dan itu membuatku cukup teralihkan dari rasa cemasku. Aku berlari membantu seorang gadis yang sedang mengangkat motor matic-nya yang terjatuh. Entah apa yang terjadi, yang jelas motornya terparkir di halaman rumahku - di tempat para tamu memarkirkan kendaraannya.

"Makasih Mas," ucapnya saat motornya sudah aku tarik dan dibenahi.

Aku mengangguk sebagai jawabanku. Tak tertarik pada gadis itu. Aku bersikap dingin dan cuek selain pada orang-orang yang aku sayangi dan aku kenal. Apalagi fokusku saat ini hanya Erina. Mengapa dia masih belum tiba?

Sambil berlalu dan mengabaikan gadis itu, aku melihat ponselku. Entah berapa banyak pesan yang aku kirimkan, dan semuanya masih belum bertanda biru. Kuputuskan untuk meneleponnya lagi. Tapi, Erina tak menjawabnya.

Oh, pliss, Hon. Jangan bikin aku khawatir...

Lagi, virus sinetron yang mama sering tonton itu menghampiri otakku. Benarkah? Apakah aku akan mengalaminya? Ditinggalkan kekasih tepat di hari spesialnya? Aku benar-benar frustasi!

Tanpa aku sadari, aku meremas rambutku lagi. Bahkan hampir saja aku membanting ponsel pintarku jika sentuhan dingin itu tak menahan tanganku.

"Mas, mau ngapain? Sayang banget lho hp-nya kalo dilempar. Kalo Mas-nya udah gak mau, mending buat aku aja."

Aku menoleh pada siapa pemilik tangan yang berani-beraninya menyentuh anggota tubuhku. Aku kesal, karena pemilik tubuh ini adalah Erina. Dan, apa ini? Dengan berani ia berbicara santai padaku?

Belum aku bicara, tindakan gadis itu membuat aku tak bisa berkutik. Gadis mungil itu berjinjit, entah mengapa aku refleks menundukkan tubuhku sehingga ia bebas dengan tidak sopan menyentuh rambutku menggunakan jemari tangannya. Seperti dielus, aku malah terbuai. Aku memandang wajah gadis itu, namun ia membelakangi cahaya lampu yang sepertinya enggan menyoroti wajahnya, hingga hanya siluet hitam yang aku tangkap ketika malah cahaya lampu taman itu terasa silau karena menyoroti wajahku.

"Nah, udah rapi. Rambut Mas gak acak-acakan lagi. Sebaiknya sholat isya dulu. Ntar disisir lagi biar ganteng." Masih terasa silau, tapi aku rasa gadis itu tersenyum padaku. Suaranya begitu lembut. "Makasih ya, Mas. Udah bantuin aku tadi."

Tepat saat itu adzan isya berkumandang. Aku merasa malu. Entah mengapa...

Aku hendak menghardik gadis itu karena dengan tidak canggungnya ia berlaku kurang ajar padaku - menurutku. Walaupun sebenarnya niatnya baik. Tapi gadis itu segera berjalan menjauh dariku. Seolah baginya tidak terjadi apa-apa pada kami barusan. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh dan masuk ke dalam rumah. Entah siapa dia? Yang jelas dia sepertinya bukan bagian dari tamu undangan. Terlihat dari cara berpakaiannya. Ia memakai jaket hoodie kebesaran dengan celana jeans juga sepatu sneakers bladusnya. Dia juga memakai topi dan mengingkat rambutnya. Topi itulah yang semakin membuat aku tak jelas melihat wajahnya.

Kembali ke awal. Memikirkan gadis itu terasa pusing. Aku memfokuskan kembali pada ponselku dan menghubungi Erina. Tepat di dering pertama, aku melihat sosok perempuan sedang berjalan anggun menghampiriku. Betapa cantiknya ia. Erinaku...

"Oh, Honey ke mana saja kau?" Aku berhambur memeluk Erina. Perasaan lega akan pikiran terkutuk virus sinetron yang ditinggal calon istri di hari pernikahan, hilanglah sudah.

"Kamu ngapain sama cewek tadi?" Deg, Erina melihat kejadian itu?

"Hon, i-itu tadi, ga-gadis itu..."

"Gadis?" Erina menarik sudut bibirnya lalu berjalan meninggalkanku. Erina kesal. Demi apa! Mulut sialan ini malah tergeragap. Seakan aku kekasih yang kepergok lagi selingkuh.

"Hon, jangan kayak gitu donk...Sumpah!" aku mengangkat tanganku membentuk huruf V. "Beneran aku gak ngapa-ngapain sama gadis, maksudku cewek tadi!" Memasang puppy eye.

"Ya udah." Erina luluh. "Tapi aku gak peduli," lirihnya kemudian namun masih terdengar jelas.

"Kamu bilang apa, Hon? Beneran kamu gak peduli? Kamu gak jealous liat aku sama cewek lain?" dadaku bergemuruh. Beneran, ini kali pertama sikap Erina acuh padaku. "Kamu udah gak cinta lagi sama aku ya, Hon?" Kayak anak kecil, aku merengek.

Erina bergeming. Kami masih berada di luar. Padahal tamu undangan sepertinya sudah semuanya datang dan berkumpul menantikan pemeran utamanya yang adalah Aku dan Erina.

"Jangan kayak anak kecil deh, Lam." Erina menghardik. Ia kesal.

"Lam?" Tak biasanya ia memanggil namaku.

"Udah ah, tuh diliatin banyak orang, malu." Seketika aku melihat tampilanku sendiri. Erina malu? Apa gara-gara tampilanku saat ini? Omegot, aku baru ngeuh soal rambut yang aku remas tadi.

"Hon, Hon, maaf." Aku menarik tangan Erina yang terus berjalan masuk. "Kamu malu yah dandanan aku berantakan? Kamu ikut aku trus bantu aku merapikan tampilanku, oke?" Erina mengangguk.

Aku malu karena menjadi pusat perhatian - Erina.

Aku menggenggam tangan Erina. Telapak tangannya berkeringat dan terasa dingin. Aku menggenggam tangannya dengan erat, seakan takut terlepas dan dia menghilang. Aku membawa Erina ke kamarku yang berada di lantai dua lewat pintu belakang.

Setelah berada di dalam kamar, aku segera memangku Erina dan memutarnya. Erina berontak minta diturunkan.

"Kamu ngapain, sih?" Erina melirik ke arah pintu tertutup rapat yang tidak aku kunci. Aku mengerti, tapi aku yakin saat ini tidak akan ada orang lain yang akan masuk ke dalam kamar pribadiku. Tapi untuk antisipasi kemungkinan buruk terjadi, aku segera mengunci pintu kamar rapat-rapat. Setelah mengunci pintu, aku segera memeluk Erina lagi lalu membenamkan bibirku pada bibirnya yang terpoles lipstik merah. Aku mel*matnya dengan rakus. Entah mengapa berdekatan dengan Erina selalu membuatku seperti menagih sesuatu yang harus aku tuntaskan di dalam hasratku.

"L-Lam!" Erina menjauhkan tubuhku. Aku sungguh tak tahan lagi. Kabut gairah di mataku sepertinya tak bisa mendengar Erina dengan baik. Aku terus mencumbu Erina, bahkan tangan sialan ini dengan lihai mer*ba apa yang ada di balik balutan dress yang Erina kenakan. Aku mengangkat roknya, lalu dengan kurang ajar menurunkan kain yang menutupi area pribadinya. Setelah itu tanganku bergerak membuka gesper dan pengait celana formalku. Sungguh, aku sudah tak tahan lagi untuk segera menyatukan tubuh kami. Aku menurunkan celanaku dan menyisakan celana dalamku yang hendak aku turunkan karena isinya sudah memberontak ingin segera bebas.

"Lam!" Kali ini teriakan Erina menyadarkanku.

Shit! Aku mengumpat, hampir saja aku benar-benar akan berada di surga. Bersama Erinaku, kekasihku, calon istriku. Dan kali ini aku benar- benar sengaja tidak menggunakan pengaman apapun karena kupikir sebentar lagi Erina akan sah menjadi istriku. Dan aku ingin segera memberikan cucu - tentu saja untuk mamaku.

"Bentaran, Hon." Nafasku terengah. "Plis, bentar lagi."

"Kamu gila!" Erina mendorong tubuhku. "Hari ini pesta ulang tahunmu. Di bawah sana orang-orang lagi nungguin kamu. Dan kamu masih mau melakukan itu?" Erina merasa jengah. Ia menarik kembali cel*ana dalam yang aku turunkan tadi. Lalu merapikan gaunnya.

"Hon, tapi kan hari ini..."

"Cepat pakai celanamu lagi. Lalu rapikan penampilanmu. Aku bantu kamu untuk bersiap-siap," pungkas Erina sebelum aku melanjutkan omonganku.

Dengan enggan aku meraih celana yang tadi aku lepaskan. "Trus, ini gimana dong, Hon?" Aku merajuk karena si junior belum mau turun. Ya, aku harus menahannya sekarang. Aku harus bersabar. Sebentar lagi Erina akan sah menjadi istriku. Dan tak perlu berlama-lama setelah kata sah terucap, aku akan segera membawa Erina kabur dan mengunci diri di dalam kamar, berdua, tanpa ada gangguan.

***

Aku dan Erina bergegas turun ketika mama mengetuk pintu kamarku karena acara akan segera di mulai. Mengingat waktu sudah menunjukkan hampir pukul delapan malam. Ketika menunggu Erina tadi, sepertinya waktu begitu lama. Tapi ternyata masih terlalu siang sebelum pesta puncak dimulai.

Aku dan Erina berjalan menuruni anak tangga. Seketika semua pandangan tertuju pada kami. Malam ini, Aku dan Erina raja dan ratunya. Dan aku bangga!

Erina sungguh sangat cantik. Aku benar-benar sangat beruntung memilikinya.

Ketika kami tiba di bawah, Mama dan Papa menyambut kami. Sang MC acara pun mengomando kegiatan kami.

Acara dimulai dengan menyanyikan lagu selamat ulang tahun, meniup lilin lalu memotong kue. Tentu saja potongan pertama untuk kekasih hatiku, Erina.

Bila dipikir, aku anak yang tak tau diri, melewati orang tuaku yang sudah sangat berjasa selama ini. Aku melihat mama yang tersenyum dengan wajah kecewanya.

Maafin aku ya, Ma. Aku lebih mementingkan Erina daripada Mama.

Suara tepuk tangan serta hiruk pikuk pesta semakin ramai. Suara musik dan juga penyanyi yang notabene adalah teman-teman semasa SMA-ku mengisi acara ulang tahun yang di gelar setiap tahunnya.

Erina terlihat gelisah dimulai saat ia datang. Bahkan ketika ia membantuku merapikan penampilanku tadi, ia terlihat tidak fokus. Aku pikir ia terlalu gugup. Aku tersenyum bahagia. Gugupnya Erina mungkin mewakili perasaanku yang sama gugupnya.

Aku hendak menghampiri sang MC acara untuk memberitahukan puncak acara dari pesta malam ini saatku lihat bapak penghulu yang akan menikahkan kami telah tiba. Erina menahanku untuk tidak beranjak menjauhinya.

"Kenapa?" Tanyaku.

"Mau ke mana?" Erina balik bertanya. Namun tatapannya tertuju pada seorang pria paruh baya yang datang menghampiri kami. "Siapa dia, Lam?"

Lam? Lagi, ini untuk ke sekian kalinya Erina memanggil namaku.

"Dia Pak Penghulu yang akan menikahkan kita," jawabku. Erina langsung melepas pegangan tangannya pada tanganku. Erina shock?

***

EPILOG

Aku segera berlari setelah tangan sialan ini merapikan rambutnya. Ah, malu sekali! Berharap aku tidak bertemu pria itu lagi.🙈

Aku berlari ke area dapur yang ternyata penuh dengan orang catering yang sibuk hilir mudik menyiapkan menu hidangan untuk pesta yang sedang berlangsung. Aku meminta izin ke toilet. Seorang ART menyuruhku untuk menggunakan toilet di lantai atas karena toliet di bawah sedang digunakan.

Dan, di sinilah aku sekarang. Terjebak dalam situasi yang tidak memungkinkan diriku untuk segera keluar. Aku melihat pria di depan tadi sedang mencumbu seorang wanita!

Akhmp! Aku menutup mulutku dan seketika berbalik. Bersembunyi di balik tembok pembatas kamar mandi dan ruang kamarnya. Ya Tuhan, sumpah demi apapun! Aku tidak sengaja melihat adegan yang selama ini ingin kulihat. Ups! 🤭

Setelah beberapa saat, mereka pergi. Bersyukur, sampai akhir mereka tidak mendengar suara nafasku yang sudah naik turun tak karuan. Yang terpenting, tak ada dari mereka yang berhasrat ingin ke toilet.

Alhamdulillah...aku bersyukur di balik ingatan vulgar itu. 🙊🙉🙈

TBC


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login