"Yudha, bangunlah."
Yudha mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia mencoba membuka matanya selebar yang ia bisa. Tapi cahaya yang menyilaukan itu, membuat matanya kembali tertutup rapat.
"Yudha, cepat bagun!" kali ini mama Yudha menyentak dengan begitu kerasnya.
"Ma, ada apa?" pekik Yudha setelah terbangun dengan jantung berdetak sangat kencang saking kagetnya.
"Ini."
Mama Yudha menyodorkan ponsel ke arah anaknya itu.
"Halo?"
"Yudha, bisa kau ke rumah sakit sekarang?"
Rumah sakit?
Yudha langsung membuka lebar matanya, dan melihat ke layar ponselnya.
Ia mengernyit bingung, saat melihat nama Maya yang tertera di layar.
"Dokter Heru?" tebak Yudha.
Jika bersangkutan dengan Maya, hanya ada dua kemungkinan. Ken, atau Dokter Heru.
"Kemarilah. Ucapkan selamat tinggal pada sahabatmu!"
Ucapkan selamat tinggal pada sahabatmu?
Yudha menggeleng lemah, ia benar-benar tidak mengerti, dan menolak untuk tahu jika itu adalah kabar yang buruk.
"Dokter? Omong kosong apa ini?!" sentak Yudha kesal.
"Maya pergi. Ucapkan selamat tinggal padanya!" llirih Dokter Kim.
Suaranya terdengar sangat lemah dan serak. Tentu itu bukanlah sebuah lelucon atau keisengan belaka.
Tidak.
Yudha menggeleng cepat.
'Ini pasti hanya mimpi. Yang kubutuhkan hanyalah tidur lagi dan bangun dari mimpi buruk ini. Saat aku membuka mata, semua akan kembali seperti semula. Semua akan baik-baik saja. Maya masih di sana dan tersenyum dengan buah-buahan yang memenuhi mulutnya.'
Yudha kembali merebahkan tubuhnya, dan mencoba memejamkan matanya.
Tapi ...
Mimpi macam apa ini? Kenapa dadanya sesak sekali? Rasanya begitu menyakitkan.
Maya, sahabatnya, saudara perempuannya, seseorang yang ingin ia jaga di sepanjang hidupnya.
'Oh Tuhan, apa yang Kau lakukan? Mengapa Kau memanggil gadis itu terlalu cepat?'
***
Joe memukul kepala Puspita pelan, menggunakan buku di tangannya.
"Bodoh! Sudah kubilang, 'kan? Baca dengan baik! Kau sengaja mau merusak tugasku atau apa?!" dengkus Joe kesal.
Puspita hanya menunduk dan tidak berani menatap mata Joe. Belakangan ini, dirinya memang susah sekali untuk fokus pada tugas dan pekerjaan lainnya. Ia seperti linglung tanpa alasan.
"Ulang semuanya! Dari awal! Untung aku mengeceknya dulu!" geram Joe.
Puspita hanya mengangguk lemah dan mendongak perlahan menatap Joe ragu.
Tiba-tiba, ponsel Puspita berbunyi, tapi dia tetap diam dan hanya menatap Joe bingung.
"Angkat saja, kenapa melihatku seperti itu?" ketus Joe.
Dengan gerakan pelan, gadis itu menarik ponsel dari sakunya, dan mengangkat telepon dari kontak Maya.
"Hai, cantik?" sapa Puspita dengan senyum mengembang.
Joe yang melihat tingkah Puspita yang mendadak ceria saat melihat siapa yang menelepon di layar ponselnya.
Namun, tiba-tiba saja, Puspita terdiam dengan raut wajah sendu. Dan dengan air mata yang mengalir di pipinya, Pus berlari keluar dari kamar Joe.
Reflek, Joe mengikutinya.
Gadis itu berlari menuruni tangga,
tapi, ia tersandung dan jatuh dari tangga.
Joe langsung berlari secepat yang ia bisa untuk menghampiri Puspita.
Gadis itu tergeletak di bawah tangga dengan sudut keningnya yang terluka dan mengeluarkan darah karena terbentur lantai di tangga.
Joe langsung membantu Puspita, pria itu membantu Pus untuk menegakkan badannya, dan duduk bersandar pada dinding.
Puspita masih sadar, namun ia terus menangis. Ia terisak cukup keras sambil menunduk.
"Hei, ada apa? Kenapa?" tanya Joe panik. Ini pertama kalinya ia melihat Puspita menangis tersedu-sedu seperti itu.
Pus masih terisak dan meremas ujung bajunya seperti menahan rasa sakit.
"Maya ..." lirihnya sambil terus terisak.
Maya? Joe mengernyit bingung. Joe mengingat gadis itu. Maya, sahabat Puspita yang sangat manis.
"Maya ..." lirih Puspita lagi di sela-sela tangisannya itu.
Puspita mencoba untuk berdiri, namun ia terjatuh lagi, ia memegangi kakinya. Sepertinya kakinya terkilir.
Pupita beralih menatap Joe yang masih berjongkok di sampingnya, dengan mata yang penuh dengan air mata. Puspita memohon pada Joe untuk mengantarkannya ke rumah sakit sekarang juga.
Meskipun Joe tidak tahu apa yang terjadi, ia pun mengangkat tubuh Puspita, dan membawanya ke mobilnya.
"Cepat, Joe." lirih Puspita dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir dari mata indahnya.
***
"Rei, keluar dari sini!" sentak Rani kesal.
Rei mempoutkan bibirnya dan berkacak pinggang menatap Rani tajam.
"Aku kan ingin membantu!" sahutnya tak kalah kesal.
"Kau mencincang wortel! Itu buruk! Kau harusnya memotongnya! Bukan mencincangnya!" seru Rani setengah frustrasi.
Serius, siapa yang akan mencincang wortel untuk sup? Siapa? Hanya Rei!
"Wortel itu akan dimasak nantinya, jadi, bukankah sama saja? Kau itu rewel sekali!" seloroh Rei sambil mengacak-acak sayuran dan melemparkannya pada Rani.
Oh, astaga!
Rani langsung mendorong tubuh Rei untuk keluar dari dapur dan menutup pintu dapur rapat-rapat.
Ia pun kembali ke kulkas dan mengeluarkan wortel yang baru.
Tak lama, pintu di dapur di ketuk dengan begitu kerasnya. Rani hanya menoleh malas melihat Rei yang tengah menggedor pintu.
"Jangan harap aku akan membukanya!" seru Rani tanpa menoleh ke arah pintu.
Brak!
Pisau di tangan Rani, nyaris saja terlempar saat pintu terbuka dengan paksa karena Rei menendangnya.
"Rei! Apa kau gila?!" sentak Rani saking kagetnya.
Entah apa yang terjadi, Rei langsung menarik Rani ke dalam pelukannya.
"Ada apa?" tanya Rani bingung.
"Menangislah! Tidak apa." kata Rei pelan.
"Kenapa aku harus menangis?"
"Ran, Maya ..."
Deg!
Ada apa dengan Maya?
Rani langsung mendorong tubuh Rei menjauh, dan menatap tajam pria itu.
"Kau itu bicara apa sih?!" sentak Rani kesal.
Tapi, sekali lagi, Rei hanya menarik tubuh Rani ke pelukannya tanpa mengatakan apa pun.
"Rei, apa yang terjadi? Kenapa sikapmu aneh begini? Dan, ada apa dengan Maya?" Rani menggerutu kesal. Kenapa Rei bersikap seperti itu?
"Maya meninggal." lirih Rei.
Meninggal?
"Maya meninggal? Apa yang kau bicarakan?"
"Menangislah!"
Rani terdiam, tubuhnya terasa lemas seketika.
'No! Tuhan, untuk seseorang yang sangat memujaMu seperti Maya, apa yang Kau lakukan padanya sangatlah kejam!' lirih Rani dalam hati.
Rani menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Rei untuk menyembunyikan air matanya yang mulai mengalir deras membasahi wajahnya.
Rei mempererat pelukannya dan mengusap pelan punggung Rani.
"Menangislah, tidak apa," bisik Rei dengan sangat lembut.
Rani mencengkram erat kedua sisi jaket yang Rei kenakan. Ia semakin tenggelam dalam dukanya.
Maya baru saja bertemu dengan kembarannya, ia juga belum lama ini bersama pria yang ia cinta.
Mengapa kebahagiaan gadis itu tidak berlangsung sedikit lebih lama? Kenapa secepat ini ia pergi?
"Mungkin, ini lebih baik bagi Maya. Dia tidak perlu lagi merasakan sakit yang begitu menyiksanya!" Rei berujar pelan.
Ya, Rani sependapat dengan pria itu. Maya terlihat begitu kesakitan, ia pasti merasa lelah karena terus menahan rasa sakit yang sangat menyiksanya itu.
Mungkin memang ada baiknya gadis itu pergi. Tidak akan ada lagi yang bisa melukainya di surga sana.