Download App

Chapter 2: Insomnia Tengah Malam

Orang-orang biasanya beristirahat pada tengah malam. Beberapa mungkin masih bekerja, tapi manusia bukanlah makhluk Nokturnal yang aktif lewat pukul sepuluh malam. Sayangnya, aku justru termasuk dalam kalangan yang masih terjaga ketika orang-orang lain tertidur lelap. Hal ini muncul sejak tahun pertama SMA, dan terus berlanjut hingga sekarang, ketika aku menginjak umur 19 tahun.

Mau aku memejamkan mata, berganti posisi, atau mengganti bantal, tidak ada yang berubah dari fakta bahwa 'aku tidak bisa tidur sekarang'. Biasanya kalau sudah begitu aku akan bangun, meminum beberapa teguk air, kemudian kembali ke kasur hanya untuk mengulang hal sama lagi.

Hari ini pun begitu, walau jam dinding sudah menunjukan pukul dua belas lewat tiga puluh lima, tidak sedikitpun perasaan ngantuk terlintas di benakku. Padahal akan ada kelas kuliah pada jam 9 pagi besok. Aku harus berangkat seenggaknya pukul 8 biar bisa hadir tepat waktu.

Ketika aku masih memejamkan mata, mencoba untuk terlelap, tiba-tiba aku merasakan beban berat di perutku.

"Hah, lagi-lagi dia nih." Pikirku. Ketika aku membuka mata, aku melihat sesosok perempuan dengan rambut hitam terurai menutupi wajahnya. Ia mengenakan baju serba merah yang masih terlihat jelas walau lampu kamar sudah padam.

Ya, itu dia si Mbak Merah.

"Mbak, jangan duduk-duduk di perutku! Berat!" Tukasku sambil berusaha untuk berguling mengusir makhluk halus yang ada di badanku. Tapi badanku tiba-tiba terasa kaku. Fenomena yang disebut 'Ketindihan' ini kerap kali disangkut-pautkan dengan keberadaan makhluk halus, dalam kasus ini, si Mbak Merah sendiri.

Aku mengumpulkan seluruh kekuatanku dan berusaha berguling ke samping. Mbak Merah yang dari tadi menduduki perutku menghilang, dan akhirnya aku bisa bergerak bebas lagi.

Walau kami sudah berteman, bukan berarti Mbak Merah berhenti mengusiliku. Hal-hal seperti menindih atau mengagetkanku cukup sering dilakukannya, sampai-sampai aku jadi terbiasa.

"Mau apa sih mbak? Aku pengen tidur nih!" gertakku. Mbak Merah tidak menjawab apa-apa (dia memang jarang banget bicara.) Alih-alih, Mbak Merah menunjuk ke jendela kamar.

Kamarku ada di lantai dua dengan tembok rumah setinggi 4 meter, namun ketika aku membuka gorden yang tertutup, sudah ada sosok lain yang menungguku di depan jendela. Sosok itu mengenakan baju putih, dengan rambut panjang bermodel mirip seperti Mbak Merah. Dari balik rambut panjang tersebut aku bisa mendengar suara tawa pelan.

"Hi... Hi... Hi..."

"Eh buset! Mbak Kunti dari pohon mangga depan rumah!"

Jujur saja aku kaget, tapi karena aku sudah lama kenal sama Mbak Kunti satu ini, kagetnya lebih seperti 'kaget karena ketemu wajah kenalan' daripada takut.

"Hi... Hi... Dek Bayu... Mbak mau masuk dong... Mau pinjem laptopnya bentar aja..." Suara Mbak Kunti lirih dan pelan. Beda dengan suara makhluk hidup, hantu-hantu berbicara langsung ke pikiranku.

"Dih! Ogah! Mau dipake buat nonton drakor lagi kan? Besok aku ada kelas!" Balasku agak marah.

"Ih... Pelit... Sebentar aja gapapa kan... Kan kamu bisa tinggal tidur..."

"Mbak Kunti lupa apa minggu lalu nontonnya gimana!? Sambil ketawa sama nangis-nangis ga jelas! Masih untung kalau bisa tutup telinga, Mbaknya ketawa langsung ke otakku tau nggak!"

"Mau gimana lagi... Sedih banget ceritanya minggu lalu...." Mbak Kunti mulai ngeles.

"Nggak pokoknya nggak!" Aku menutup gorden, membiarkan dedemit itu merasakan dinginnya malam hari. Satu hal yang aku pelajari dari para makhluk halus, adalah makhluk dari luar nggak akan masuk ke rumah kalau tidak diizinkan penghuni. Oleh karena itu, jangan lupa untuk mengunci pintu pada malam hari.

Aku kembali merebahkan diri ke kasur, dan menyelimuti badan dengan selimut. Akan tetapi, lagi-lagi ada 'gangguan' berasal dari jendela. Mbak Kunti, mengetuk-ngetuk jendela dengan telapak tangannya, ia juga mengeluarkan suara-suara yang bisa bikin bulu kuduk merinding. Aku mencoba untuk mengacuhkan hal tersebut, namun ketukan tersebut mulai jadi gebrakan, dan kemudian berganti dengan garukan kuku di jendela.

Karena nggak mau gangguan Mbak Kunti bakal kedengaran sama orangtuaku, maka aku menyerah. Ketika gordennya kubuka, wajah Mbak Kunti nyengir, sambil menunjukan gigi-giginya yang kotor. Aku membuka jendela dan menyuruhnya masuk.

"Tapi nggak lama-lama ya! Satu episode saja!" Teriakku.

"Hi... Hi... Iya, tenang aja... Satu episode aja kok...."

Aku yakin sih, dia bakal bohong.

Maka aku nyalakan laptopku untuknya. Walau hantu, Mbak Kunti ternyata mampu menggunakan laptop dan perangkat elektronik modern. Tebakanku sih, dia bukanlah arwah yang meninggal lebih dari belasan tahun lalu.

Malam itu berlalu dengan suara rintihan Mbak Kunti dan Mbak Merah yang asyik menonton drama Korea favorit mereka. Aku sendiri baru bisa terlelap setelah jam menunjukan pukul tiga pagi.

***

Dengan lingkaran mata, serta rasa ngantuk, beberapa kali aku hampir kelewat tidur pada kelas pertama. Untungnya, aku berhasil tahan hingga sesi berakhir. Aku pun menyempatkan diri untuk memejamkan mata di ruangan kelas pada jam istirahat.

"Bay, makan lah ayok!" Belum bisa aku melanjutkan istirahat, sebuah topi menghantam kepalaku yang sedang telungkup. Itu adalah salam khas dari Arif, salah satu temanku sejak SMA. Perangai kami hampir mirip, dengan tinggi badan, dan proporsi badan yang sama. Yah, aku masih sedikit lebih tinggi sih.

"Kenapa lu? Begadang lagi kemarin?" tanyanya. Sepertinya dia sadar kalau mataku sekarang sudah mirip seperti panda.

"Insom lagi Rif, kemarin baru sempet tidur jam tiga pagi." Jawabku.

"Wah, mesti ngopi dulu tuh, udah deh, ikut aja sama gua di kantin, ntar tidur di sana aja."

Alhasil, lagi-lagi aku ditarik sama berandalan satu ini ke kantin kampus. Aku tidak suka tempat ramai, apalagi kalau sudah ngantuk begini. Kami duduk berhadapan di meja panjang. Arif dengan semangkuk mi bakso, dan aku dengan segelas kopi instant. Aku nggak butuh perintah buat segera ngambil posisi telungkup dan memejamkan mata.

Ketika aku sudah bangun, Arif nampaknya sedang asyik berbincang-bincang dengan seorang perempuan. Aku yang masih ngumpulin nyawa Cuma bisa menyeruput kopi sambil menguap.

"Nah, bangun juga si tukang tidur," Tukas Arif. "Bay, denger deh, Ini Intan, senior satu tahun di atas kita. Dia tahu banyak lho soal cerita-cerita serem di kampus ini." Lanjutnya.

Aku yang masih setengah sadar butuh jeda untuk merespon perkataan Arif tersebut. Begitu aku tahu kalau perempuan di hadapan kami adalah seorang kakak kelas aku langsung mengulurkan tanganku untuk berkenalan.

"Salam kenal kak, Saya Bayu, anak tahun pertama, sama kayak si Arif ini." Kataku.

"Salam kenal Bayu, aku Intan." Jawabnya. Intan adalah perempuan dengan kacamata bulat dan rambut hitam panjang. Untuk seorang senior kampus, dia jauh lebih pendek dari Arif dan aku. Mungkin dia bisa disangka sebagai anak SMA.

"Jadi Bay... Dengar-dengar kamu suka sama cerita horor ya? Mau dengar cerita-cerita seram di kampus ini nggak?" Tanya kak Intan.

Aku memberi pandangan bertanya ke Arif, dan dia membalas seakan berkata 'udah, denger aja'.

Oh iya, aku tidak pernah ngomong ke siapapun tentang bakat yang kumiliki.

"Eh? Emang ada cerita apa di Kampus kita kak?" Tanyaku, pura-pura penasaran.

"Jadi, cerita ini dimulai dua angkatan sebelum kita..." Kak Intan mulai masuk ke 'mode bercerita'

"Ada seorang mahasiswi jurusan Komunikasi yang ada di tahun terakhir masa kuliah. Dia lagi ngerjain skripsi yang nggak kunjung di terima sama dosennya. Tiap kali bimbingan si dosen Cuma nyuruh revisi, revisi dan revisi lagi. Teman-teman si cewek ini sudah lulus, dan karena ditekan sama keluarganya juga, dia menjadi stress. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan lompat dari lantai lima kampus."

Aku mendengar cerita kak Intan dengan seksama. Kisah tentang murid-murid yang tertekan seperti ini, seringkali terdengar, entah di kampus manapun.

"Tapi! Ceritanya nggak cuma sampai situ. Beberapa hari setelah kejadian yang menggemparkan seisi kampus tersebut, si dosen ditemukan pingsan di kamar mandi pria kampus. Selain itu, teman-teman dan keluarga si mahasiswi juga mengaku kalau mereka seringkali mendengar suara tangis, dan menemui cewek tersebut dalam mimpi mereka!" ujar kak Intan, dan kemudian ia menutup ceritanya.

"Ada yang bilang, kalau hal-hal tersebut terjadi karena kutukan arwah si mahasiswi. Si dosen, kemudian langsung mengumumkan pensiun, dan kampus sembunyi-sembunyi memberikan ijazah serta keterangan lulus buat keluarga mahasiswi tersebut. Tapi sampai saat ini, setiap malam, orang-orang masih bisa mendengar suara menangis ketika mereka melewati ruangan prodi Komunikasi."

"Jir, serem banget!" Celetuk si Arif. Aku nggak yakin kalau dia serius sih. "Itu ceritanya beneran kak?"

"Hahaha, sebenarnya aku nggak yakin juga sih, tapi tahun lalu itu pernah ramai banget di grup angkatan." Jawab kak Intan.

"Masih ada lagi cerita-cerita seram kayak gitu kak? Kayaknya bisa nih buat jadi materi ceritanya Bayu."

"Hah? Cerita apa?"

"Lah bukannya lu sering nulis cerita-cerita horor gitu Bay? Coba deh dengerin ceritanya kak Intan, bisa jadi inspirasi lu tuh!" Arif ngomong sambil mengedipkan sebelah matanya. Ya ampun, ternyata aku lagi-lagi dipakai buat bahan pedekatenya cecunguk satu ini.

"Oh! Bayu suka nulis cerita horor ya? Tukeran ID Messenger aja yuk!" Jawab kak Intan ceria.

Aku yang dari tadi diam cuma bisa tersenyum dan mengiyakan. Setelahnya, kami bertiga saling tukar ID, dan berpisah dari kak Intan yang harus mengikuti kelas.

Setelah kak Intan pergi, aku melihat tajam ke Arif. Dia cuma cengengesan, dan berterima kasih karena aku mau ngebantu sesi 'pedekatenya' dia.

***

Cerita-cerita 'urban legend' seperti yang kak Intan cerita tadi siang sebenarnya tidak terlalu berpengaruh untukku. Aku kan bisa langsung berbicara sama arwah? Tapi entah kenapa, kisah mahasiswi tersebut terasa sangat familier. Beberapa jam kemudian setelah kelas terakhir, aku menyempatkan diri untuk ke perpustakaan. Di sana, terdapat buku tahunan berisi foto-foto alumni tiap tahunnya.

Seperti cerita yang kak Intan sampaikan, dua angkatan diatasku, berarti angkatan 2015. Aku mengambil buku tahunan tersebut dan membolak-balik halamannya. Mataku tiba-tiba tertarik pada salah satu foto, seorang mahasiswi dari prodi Ilmu Komunikasi. Berbeda dengan foto-foto alumni lain yang bergaya dan tersenyum, foto alumni ini seakan merupakan foto resmi yang pertama kali diambil untuk pembuatan kartu mahasiswa. Dia juga merupakan satu-satunya alumni yang tidak menuliskan pesan-pesan perpisahan.

Wajah mahasiswi tersebut serupa, bila tidak mirip dengan Mbak Kunti yang kemarin membuatku tidak bisa tidur semalaman.

Aku memutuskan untuk bertanya langsung tentang hal ini.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login