Download App

Chapter 2: CHAPTER 2

"Cepat, nak! Kau akan terlambat!"

Selagi Mary mengemas bekal makan siang di dapur, John yang telah mengambil kunci mobill memanggil anak satu-satu mereka.

"Sebentar!" Jack menyahut dari lantai dua, diiringi oleh derap langkah terburu-buru.

Tidak sampai setengah menit, pemuda berambut pendek itu terlihat berlari menuruni tangga. Pakaian akademiknya kurang lengkap. Dia hanya baru mengenakan toga hitam, sementara topi sarjana dan kap biru, warna identitas fakultas yang Jack tempuh, masih dia genggam.

"Ya ampun, kau masih belum selesai juga!" Mary berkomentar tepat setelah dia selesai bersiap-siap dan keluar dari dapur.

"Aku gugup semalaman sampai susah tidur!" Jawab Jack sembari berusaha memakai kap wisudanya.

"Kau bisa lanjutkan di mobil," John memberinya saran. "Ayo, kita berangkat."

John masuk ke dalam mobil terlebih dahulu, mengeluarkannya dari garasi. Setelah Mary yang membawa tas bekal keluar dan rumah, anak laki-laki mereka menyusul sambil membenarkan kap pada toganya.

Keluarga Davidson pun berangkat, meninggalkan kediaman mereka yang sederhana di Armour Hills, Missouri.

---

Stadion Memorial David Booth Kansas benar-benar ramai kala pagi itu.

Lapangan sepak bola Amerika nan luas telah berisi deretan kursi yang ditempati oleh ratusan wisudawan dan wisudawati Universitas Kansas, mengenakan pakaian akademik dengan kap berbeda-beda warna sesuai fakultas masing-masing.

Di hadapan mereka adalah panggung di mana mahasiswa yang telah lulus akan dipanggil satu per satu untuk diberi penghargaan. Beberapa kamera video terpasang pada tepi panggung, yang terkoneksi langsung ke layar LED stadion yang besar.

Sementara hampir semua tempat duduk yang mengitari lapangan ditempati oleh para hadirin yang bukan bagian dari universitas berada, baik keluarga, kerabat hingga teman-teman dari semua mahasiswa yang lulus. Mereka tidak sabar akan dimulainya acara, untuk melihat anak, saudara atau teman mereka dinobatkan sebagai sarjana secara resmi.

Masih ada orang-orang yang baru memasuki stadion dan mencari kursi yang masih tersedia, termasuk Jack beserta ayah dan ibunya. Kedua orang tua Jack terpukau menyaksikan pemandangan acara itu.

"Meriah sekali…" Mary tercengang, ditambah pula ini adalah pertama kalinya dia berada di Stadion David Booth.

"Untunglah masih belum dimulai." Setelah melihat-lihat di sekitar mereka, John memberitahu Mary. "Masih cukup banyak kursi untuk kita. Ayo."

"Heeey! Jaaack!"

Jack mendengar dirinya dipanggil dari kejauhan. Walaupun di sekelilingnya ramai, dia tahu suara tersebut berasal dari sekumpulan mahasiswa dan mahasiswi berpakaian akademik di lapangan.

Dia melihat dua orang temannya, laki-laki Afro-Amerika berkacamata dan perempuan berambut panjang hitam, melambaikan tangan kepadanya. Terdapat satu kursi yang masih kosong di sebelah kiri teman perempuan. Mereka menyisakannya untuk Jack.

Jack balas melambai ke arah mereka dengan gembira.

"Nah, kami akan mencari tempat duduk," ucap John sambil meletakkan tangan ke pundak putranya, membuatnya menoleh. "Bergabunglah bersama teman-temanmu."

"O--oh, iya…" Jawab Jack dengan sedikit gagap.

"Sudahlah, berhenti gugup. Ini adalah hari besarmu." Mary memasang senyuman hangat demi menenangkannya.

"Aku tidak gugup!" Jack berusaha untuk terlihat percaya diri, meski tidak meyakinkan di mata kedua orang tuanya, "Ti--tidak lagi, setidaknya…"

"Nak, kau sudah berjuang hingga sejauh ini. Maka dari itu, tidak ada yang perlu kau takuti." John ikut memberi nasihat. "Dokter juga pahlawan. Pahlawan harus percaya pada dirinya sendiri. Sama halnya dengan menjadi dokter yang baik, di mana kau harus percaya dengan diagnosamu, serta berani untuk bertanggung jawab."

Saat menatap sang ayah, Jack mendengarkan perkataannya dengan saksama. Ekspresinya memancarkan aura yang sangat inspiratif untuk Jack. Dia tidak merasakan keraguan sedikitpun di senyuman itu, sama seperti ibunya.

"Jangan hiraukan mereka yang meragukanmu, selama kau yakin bahwa semua yang kau perjuangkan adalah hal yang benar. Pada akhirnya kau akan menjadi inspirasi bagi dunia," lanjut ayahnya. "Yang hanya perlu kau lakukan adalah tetap maju."

Setelah itu, John melepas tangannya dari pundak Jack. Dia melihat putranya sedikit lebih tenang dibandingkan sebelumnya.

"Baiklah. Terima kasih." Jack pun tersenyum pada kedua orang tuanya.

"Cepat, jangan membuat Lois menunggu. Dia sudah menjaga tempat untukmu." Mary menggodanya, mengacu pada gadis teman sekelas Jack yang barusan memanggil.

"I--Ibu! Ada-ada saja!" Jack menjawab dengan kesal. Wajahnya memerah.

Mary tertawa geli melihatnya salah tingkah, sebelum pergi bersama John mencari tempat duduk.

Sambil memendam rasa malu, Jack berjalan ke lapangan untuk bergabung dengan wisudawan dan wisudawati lainnya.

Jack menghela napas. Dia bersyukur bahwa teman-temannya tidak bersama dirinya saat tadi berbincang dengan ibu, terutama Lois. Bukan berarti mereka tidak tahu sejak lama mengenai perasaannya dan Lois terhadap satu sama lain.

Sesampainya di deretan tempat duduk teman-teman satu fakultas, dia menghampiri kedua teman sekelas yang memanggilnya tadi.

"Hai," sapanya sembari duduk di kursi sebelah Lois.

"Ada apa, bro? Kau tampak kacau!" Devon berkomentar.

"Aku kesiangan, hehe…" Jack mengusap-usap bagian belakang kepala.

"Ya ampun, kau saja belum mengenakan kap dengan benar." Secara spontan, Lois membenarkan kap wisuda Jack. Dia menggeleng keheranan, "kau seperti orang yang tidak bisa menjaga diri."

"Aku gugup semalaman! Mau bagaimana lagi? Setidaknya masih tepat waktu." Dengan cemberut, Jack membela diri.

"Mau sampai kapan menjadi orang pemalu? Kau ingin ditertawakan pasienmu?"

"Siapa yang pemalu? Jangan sembarangan!"

Devon menonton tingkah mereka berdua. Dia selalu menikmati suasana ini, tersenyum seperti ibu Jack sebelumnya.

"Maaf memotong perdebatan kalian," kata Devon, membuat mereka berhenti dan menoleh padanya. "Aku hanya ingin mengingatkan kalian untuk mengundangku ke pernikahan kalian nanti."

Wajah Jack dan Lois sontak menjadi merah seperti tomat.

"Jangan berpikir yang tidak-tidak!" Keduanya menjawab serentak, yang mana hanya dibalas dengan tawa Devon.

Tidak lama kemudian, pembawa acara di atas panggung naik ke podium dan mulai memberi pengumuman melalui mikrofon. 

"Kepada seluruh hadirin dan mahasiswa dimohon untuk tetap kondusif. Wisuda Universitas Kansas 19 Mei 2013 akan segera dimulai."

"Wah, sudah dimulai!" Devon langsung duduk menghadap lurus ke depan, ke arah panggung. Jack, Lois dan semua wisudawan dan wisudawati melakukan hal yang sama.

Sesi pembukaan telah berjalan. Mulai dari penyambutan rektor dan guru-guru besar, menyanyikan lagu kebangsaan, sampai beberapa pengumuman yang disampaikan oleh rector terkait dengan masa depan kampus dan semua lulusan berbagai fakultas.

Acara berlangsung hingga matahari hampir mencapai puncak langit. Tibalah sesi penobatan para wisudawan dan wisudawati KU, sekaligus penyerahan ijazah sarjana.

Jack menunduk. Kakinya gemetaran kecil selama duduk di antara ratusan wisudawan dan wisudawati lainnya. Kedua tangannya berada di atas paha, jari-jarinya terjalin dan bergerak ke atas dan ke bawah berulang kali. Dia merasa panas dingin di badan, walau tidak sedang sakit.

Orang pemalu mana yang bisa tetap tenang setelah memikirkan momen ketika namanya dipanggil, naik ke atas panggung untuk menghadap sejumlah profesor dan para cendekiawan perguruan tinggi, serta sang rektor yang akan memberi sambutan hangat?

Terlebih lagi disaksikan oleh tidak hanya kumpulan sesama mahasiswa dan mahasiswi, tetapi juga seluruh hadirin dari luar Universitas Kansas. Mereka dapat menyaksikan setiap mahasiswa yang dipanggil untuk naik ke panggung melalui layar LED stadion yang sangat besar.

Tangan Jack digenggam dengan lembut dari sebelah. Jack berpaling pada Lois, yang menyambutnya dengan senyuman.

Senyuman penuh dengan kenyamanan dan menentramkan hati.

Jack membalasnya dengan tersenyum, mengangguk berterima kasih.

"Jack Thomas Davidson"

Akhirnya, rektor Universitas Kansas memanggil nama Jack dengan mikrofon di atas podium. Jack bangun dari tempat duduknya sesaat setelah mendengar itu.

"Selamat, kawan!" Devon menepuk bahunya.

"Tunggu kami juga ya!" sambung Lois.

"Terima kasih, Devon, Lois." Jack mengangguk.

Dia melakukan tos adu kepalan tangan dengan Devon sebelum pergi.

Sembari berjalan ke panggung, Jack mengingat nasihat orang tuanya, serta semua teman yang telah mendukungnya selama ini. Ayahnya benar. Untuk seseorang yang menghargai kehidupan manusia, dia harus menghargai diri sendiri terlebih dahulu.

Jack sampai di atas panggung, di mana lima guru besar Fakultas Kedokteran berdiri menantinya. Masing-masing dari mereka membawa atribut penghargaan untuk wisudawan dan wisudawati.

Jack menghadap ke guru besar pertama. Dia dipakaikan medali olehnya, kemudian berjabat tangan dengan tersenyum satu sama lain. Lalu dia beralih ke guru besar lainnya untuk melakukan hal yang sama. Satu per satu, Jack memberi hormat kepada empat guru besar lainnya, dan mereka memberinya penghargaan. 

Jack akhirnya menghadap kepada Rektor Universitas Kansas. Inilah bagian yang paling membuatnya gugup. Selama berkuliah, dia hanya pernah bertemu secara langsung dengan pemimpin tertinggi universitas itu sebanyak sekali atau dua kali. Dia pernah diberitahu bahwa rektor telah banyak mendengar mengenai prestasinya dan sangat ingin bertemu dengan dirinya, namun keduanya terlalu sibuk.

"Selamat, Jack Davidson." Sang rektor memberinya plakat patung emas disertai ijazah. "Kau adalah salah satu kebanggan Universitas Kansas. Buatlah masa depan yang sangat cerah untuk dirimu dan semua orang."

"Terima kasih banyak, pak," jawab Jack. Dia memberi hormat dan menerima kedua penghargaan darinya.

Seluruh wisudawan dan wisudawati Universitas Kansas bertepuk tangan, begitu pula para hadirin. Lois dan Devon salah satunya. Mereka senang akan pencapaian Jack.

Jack juga dapat melihat kedua orang tuanya di antara ratusan hadirin paa deretan kursi penonton. Mereka bertepuk tangan untuknya dengan penuh gembira, bahkan Mary sampai menitikkan air mata haru.

Ini adalah salah satu momen yang paling membahagiakan dalam hidup Jack.

Setidaknya itu yang sempat dia pikirkan.

Tiba-tiba, ledakan yang sangat besar terjadi beberapa kilometer di luar stadion dan membuat tanah berguncang.

Kemeriahan di stadion pecah seketika. Orang-orang kaget dan menjerit ketakutan.

"Apa yang terjadi?!"

Suasana stadion menjadi penuh dengan kepanikan. Semua pengunjung cepat-cepat turun dari tempat duduk mereka. Para mahasiswa dan mahasiswi juga beranjak dari kursi di lapangan, sementara Jack beserta rektor dan beberapa guru besar masih berada di atas panggung dengan ekspresi terkejut.

Mereka semua melihat ke arah gumpalan asap besar yang mengepul ke langit. Asap yang sangat besar sehingga dapat dilihat dari lapangan stadion. Bahkan terlihat dari hampir sepenjuru kota Lawrence.

Dari dalam asap yang pekat, sebuah siluet figur raksasa mulai tampak.

Sosok tersebut berjalan ke luar asap, menampakkan perawakannya secara jelas. Ukurannya sangat besar, dengan tinggi kurang lebih 50 meter.

Sekujur tubuh makhluk raksasa itu hijau. Dia memiliki dada bongsor, serta kaki dan tangan yang kekar. Terdapat sepasang tanduk di kepalanya. Beberapa bagian tubuhnya memiliki deretan organ-organ runcng seperti duri.

Mulutnya berbentuk seperti robekan pada kain, dan sepasang matanya merah menyala.

"Aku adalah Monster Vaksin!"

Sang monster berbicara. Suaranya menggelegar, dengan nada yang dalam, penuh kebencian.

"Kalian, umat manusia, adalah virus yang merusak ekosistem bumi! Membasmi virus adalah kewajibanku. Demi membersihkan planet ini, aku akan memusnahkan kalian semua tanpa sisa!"

"Monsteeer!!!" Seluruh warga kota Lawrence lari terbirit-birit menjauhi monster raksasa yang menamai dirinya Monster Vaksin itu.

Kemunculan Monster Vaksin membuat kota diselimuti terror. Orang-orang yang berada di dalam bangunan berlari keluar mencari tempat aman. Lalu lintas kacau balau. Banyak kendaraan bertabrakan, bahkan tidak sedikit pengemudi yang meninggalkan mobil mereka hanya demi menyelamatkan diri.

Para penduduk di jalanan saling dorong satu sama lain, dan tetap berlari tanpa menolong yang terjatuh. Saat insting bertahan hidup manusia menyala, mereka tidak peduli lagi akan sesama.

Monster Vaksin mengangkat tangan kanannya. Tercipta lima bola energi bercahaya hijau besar yang mengambang di atas telapak tangannya.

Dia melempar mereka ke arah beberapa gedung di depannya. Kelima bola energi itu mengenai target. Gedung-gedung pun meledak dan terbakar, lalu roboh ke jalan raya. Banyak warga yang tidak beruntung terkena jatuhnya puing-puing bangunan.

Akibat bencana besar yang tengah melanda, acara wisuda berhenti. Seluruh pengunjung stadion berlari pontang-panting meninggalkan tempat duduk mereka. Kebanyakan dari mereka berbondong-bondong menuju jalan keluar stadion.

Sementara sebagian turun ke lapangan untuk menemui mahasiswa-mahasiswi yang mana adalah keluarga mereka. John dan Mary salah satunya, berlari ke lapangan mencari Jack.

"John! Kita harus cepat menemukannya!" Kekhawatiran Mary terhadap putra mereka semakin menjadi-jadi.

"Pegang tanganku agar kita tidak terpisah!" John mengulurkan tangan, yang mana diraih oleh istrinya. Bersama-sama, mereka berdua lari menerobos orang-orang yang berlarian berlawanan arah.

Jack, di sisi lain, telah turun dari panggung dan berlari di antara wisudawan dan wisudawati lainnya. Namun Jack berlari di arah yang berbeda sehingga kerap kali bertabrakan dengan mahasiswa-mahasiswi yang menuju ke jalan keluar dengan panik.

"Devooon!! Loiiis!!"

Jack meneriakkan nama teman-temannya. Dia khawatir akan keadaan mereka di dalam kekacauan ini. Bagaimana bila mereka jatuh dan terluka, atau lebih buruk lagi, entah karena kerumunan yang panik atau objek-objek stadion yang berjatuhan akibat getaran yang disebabkan oleh ledakan-ledakan di luar sana?

"Jaaack!!"

Tidak lama, telinga Jack samar-samar menangkap teriakan kedua teman dekatnya. Segera saja dia bergerak mengikuti asal suara.

Sampai akhirnya dia melihat mereka berdua di tengah gerombolan mahasiswa dan mahasiswi yang berlari ketakutan. Mereka berdua sedang menoleh ke sekeliling, kebingungan mencari dirinya.

"Devon!! Lois!!" Jack berlari menghampiri mereka, sehingga pandangan mereka beralih padanya.

"Jack!" Lois dan Devon lega. Mereka bertiga akhirnya berkumpul kembali.

"Syukurlah kalian baik-baik saja!" kata Jack.

"Sial! Haruskah ada monster di saat seperti ini?!" Devon mengujarkan kekesalannya.

Jack dalam hati setuju. Kenapa dia dan teman-temannya harus harus dihadapkan oleh malapetaka tepat ketika mereka sedang bergembira. Tapi sekali lagi, beginilah dunia bekerja sekarang, semenjak peristiwa di akhir tahun yang lalu.

"Orang tua kita pasti sedang mencari kita!" Lois kembali melihat ke sekelilingnya, berharap menemukan keluarganya, atau mungkin keluarga Devon atau orang tua Jack.

"Tapi, susah sekali di keramaian dan kepanikan begini…" Jack juga melakukan hal yang sama. Dia berharap ayah dan ibunya juga baik-baik saja.

Dia lebih berharap mereka telah mengungsi dan menunggunya di luar stadion.

Sayangnya, keadaan kota Lawrence sudah terlalu parah. Jalanan dilanda oleh api. Bangunan hancur lebur di mana-mana. Banyak nyawa telah melayang.

Amukan Monster Vaksin terus berlangsung. Tiada hentinya makhluk itu melempar bola-bola energi kepada apa pun yang ada di depannya. Terkadang dia juga melibas gedung-gedung dengan kedua tangan dan kakinya yang berkuku panjang nan lancip.

Di setiap jalan raya, sejumlah tank Garda Nasional Angkatan Darat Kansas telah berposisi. Mereka mengepung sang monster raksasa, menembakkan meriam berkali-kali padanya.

Monster Vaksin terkena tembakan proyektil bertubi-tubi dari segala arah. Dia terdengar mengerang. Tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan untuk berdiri. Kelihatannya serangan-serangan tersebut berefek.

Tetapi itu masih jauh dari cukup. Malah, segala usaha mereka membuat makhluk itu semakin marah.

"Kalian virus sialan! Musnahlah!" Dia menciptakan lebih banyak bola energi di atas kedua telapak tangan, yang kemudian dilempar ke semua tank.

Semua kendaraan tempur Angkatan Darat Kansas terkena serangan balasan dari Monster Vaksin. Tiada yang dapat mendengar jeritan para prajurit malang yang tidak sempat keluar saat tank mereka meledak berkeping-keping, bersama dengan diri mereka.

Tiga helikopter tempur terbang mengitari Monster Vaksin dalam jarak yang mereka pikir aman. Masing-masing menembakkan senapan mesin di bagian bawah tanpa diam di satu posisi agar dapat menghindari bola energi raksasa hijau itu.

Mereka tidak tahu sebagaimana gesitnya dia. Karenanya, Monster Vaksin yang sangat kesal berhasil menabok salah satu helikopter tempur hingga terpental…

…ke arah Stadion Memorial David Booth.

Helikopter tempur jatuh dengan kecepatan tinggi, menabrak layar LED hingga lepas dan melesat ke lapangan.

Layar stadion jatuh ke arah di mana Jack, Lois dan Devon berada, serta beberapa mahasiswa dan mahasiswi lain. Mereka menyadari kedatangan layar dari atas dan berteriak penuh ketakutan, tidak sedikit yang sampai menangis pasrah.

Insting Jack menyala. Menggunakan kedua tangannya, Jack mendorong punggung Lois dan Devon sekeras mungkin.

"Whoaa!!" Kedua teman Jack terkejut saat tubuh mereka dilempar jauh ke depan, kemudian jatuh berguling.

Jack terbelalak sejenak sesaat setelah melakukannya. Dia tak pernah menyangka dirinya memiliki tenaga sekuat itu.

Pikirannya terpotong ketika benda yang besar dan berat jatuh dari atas dirinya, menimbulkan dentuman dan banyak gumpalan asap yang menyebar ke seluruh lapangan.

Lois dan Devon membangkitkan badan mereka sambil menahan rasa sakit akibat terjatuh tadi. Saat melihat apa yang terjadi, mata mereka melebar.

Layar stadion menimpa Jack, juga beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang sebelumnya berlari di belakang. Walau hanya tertindih setengah badan, Jack tersungkur tak sadarkan diri.

"Jaaack!!" Penuh dengan kekhawatiran, Lois dan Devon bertatih-tatih menuju dirinya.

Mereka sampai di dekat Jack, lalu menggenggam bagian pinggir layar LED besar yang menimpanya dari kaki hingga punggung. Lois dan Devon mulai mengerahkan seluruh tenaga mereka untuk mengangkat layar stadion.

Tidak hanya mereka. Ada pula mahasiswa-mahasiswi lain dan para pengunjung stadion yang juga berusaha membebaskan teman-teman dan keluarga mereka yang tertindih oleh layar stadion, walau sebagian besar sudah kabur menyelamatkan diri. 

Tentu saja upaya mereka tidak berhasil. Layar LED itu terlalu berat untuk diangkat dengan tangan kosong. Orang-orang yang masih di stadion kekuarangan jumlah dan tenaga.

Meski begitu, mereka tetap tidak berhenti untuk terus mencoba. Terutama Lois dan Devon.

"Kumohon, bertahanlah!" Air mata Lois berlinang selagi dia dan Devon berusaha mengangkat layar stadion. Dia tidak ingin kehilangan orang yang dicintainya.

Dalam hati, mereka berdua marah kepada Jack atas sikapnya yang tidak mementingkan diri sendiri. Kenapa dia sampai begitunya mengutamakan diri mereka? Kenapa harus orang sebaik dia yang terkena musibah?

Mereka juga marah kepada diri mereka sendiri, berpikir bahwa tidak dapat berbuat apa-apa untuknya setelah kebaikannya kepada mereka selama ini.

Mereka merasa sangat marah dan bersalah.

Pada akhirnya, mereka tetap tidak bisa menggerakkan layar stadion sedikit pun. Mereka berdua duduk berlutut, bernapas tersengal-sengal. Mereka berniat mengumpulkan tenaga untuk mencobanya lagi.

Tiba-tiba, Devon dan Lois mendengar suara rintihan di sebelah mereka.

Mereka menoleh ke Jack, dan terkejut melihat badannya mulai bergerak.

Jack masih bernapas. Kesadarannya telah Kembali.

"Jack!" Lois dan Devon memegang bahunya. Mereka merasa sangat lega.

Perlahan, Jack mendongakkan kepalanya, melihat kedua temannya yang terisak.

"Lois… Devon…" Jack bicara dengan nada yang lemah.

"Kau sialan!" Devon menahan tangis. "Aku tidak akan pernah memaafkanmu kalau kau meninggalkan kami!"

"Aku… Tidak bisa bangun," ujarnya sembari berusaha menggerakkan kedua kakinya. Dia tersadar akan situasinya setelah melihat ke belakang.

"Jangan khawatir. Kami sedang berusaha mengeluarkanmu!" kata Lois, mencoba menenangkannya.

Mereka bertiga mendengar suara ledakan beruntun dari luar stadion. Melalui dinding stadion yang hancur, apa yang mereka lihat di arah kekacauan itu membuat rasa takut mereka semakin meninggi.

Sang monster raksasa hijau, yang masih diserang oleh Angkatan Darat Kansas, dengan mudah menghancurkan puluhan tank dengan bola-bola energinya. Jarak makhluk itu juga lebih dekat dengan stadion daripada sebelumnya.

"Jangan membuang tenaga kalian untukku," Jack menghimbau Devon dan Lois. "Di sini berbahaya. Cepat pergi!"

"Jack, diam! Biarkan kami membantu!" Devon mulai jengkel dengan kepedulian Jack terhadap dirinya dan Lois. Dia terharu, namun merasa sifat baik Jack terlalu berlebihan. "Lagi pula, UNMC pasti akan datang!"

"Jaaack…!"

Seseorang memanggil Jack dari kejauhan. Suara tersebut familiar.

Jack terbelalak. Dugaannya terbukti benar setelah melihat ke depan.

"Ibu? Ayah?" 

Dia tidak habis pikir. Kedua orang tuanya masih berada di stadion, mencari dirinya.

John dan Mary kini berada di tepi lapangan. Mereka pun melihat Jack yang sedang tertimpa layar LED besar.

Mereka sangat terkejut akan kondisinya.

"Ya Tuhan, Jack!" ucap Mary, menutup mulut dengan kedua tangannya.

Segera saja John dan Mary bergerak menuju Jack. Tiada yang mereka berdua pikirkan saat ini, selain menyelamatkan putra mereka.

"Bertahanlah, nak!" Teriak John selagi berlari bersama Mary.

"Jangan kemari! Ayah! Ibu!" Teriak Jack, panik melihat kenekatan kedua orang tuanya.

Di sisi lain, Monster Vaksin terkena rudal yang ditembakkan oleh dua helikopter tempur di belakangnya. Dia mengerang kesakitan dan hampir jatuh, sebelum Kembali menyeimbangkan tubuhnya.

"Enyahlah, hama!" Monster Vaksin membuat beberapa bola energi dari telapak tangan kanan.

Dia berbalik sekaligus melesatkan bola-bola energi kepada dua helikopter yang menembaknya barusan.

Tidak dapat menghindar tepat waktu, ekor masing-masing helikopter tempur terkena dan meledak, membuat mereka jatuh berputar-putar.

Satu bola energi yang tidak mengenai helikopter terus melaju dengan kecepatan tinggi di udara, menuju ke stadion.

Serangan itu melesat ke sisi lapangan tepat di mana John dan Mary berada.

Bola energi jatuh di dekat mereka berdua dan meledak dengan dahsyat, bagai bom yang dijatuhkan dari langit.

Jack tidak percaya akan apa yang baru saja dia saksikan. Dia menolak untuk percaya.

Dia berdoa kepada Tuhan agar dibangunkan dari mimpi buruk ini. Tetapi, realita berkata lain.

Reaksi Lois dan Devon tidak berbeda. Devon mengatupkan gigi rapat-rapat, menundukkan kepala dengan mata tertutup, tidak sanggup menerima apa yang baru saja dilihatnya. Dan Lois, saking terkejutnya, menangis sembari menutup mulut dengan kedua tangannya. 

Jack mengepalkan kedua tangan. Hatinya hancur berkeping-keping. Air mata mulai mengalir deras membasahi pipinya. 

"TIDAAAAK…!!!"

---

"Davidson!"

Mata Jack langsung terbuka tepat setelah mendengar bentakan dari Kapten Kirkman.

Dia telah memanggilnya kembali ke dunia nyata.

Interior belakang pesawat angkut militer dipenuhi oleh para tentara berseragam tempur berwarna campuran hijau daun dan kuning pasir. Mereka duduk di deretan kursi merah dengan sandaran yang terbuat dari tali, memeluk senjata api masing-masing.

Jack adalah salah satu dari mereka.

Kapten Kirkman berdiri tepat di hadapannya, menatap tajam Jack yang linglung setelah dibangunkan secara mendadak.

"Mau sampai kapan kau tidur, prajurit?! Kita punya monster bangsat yang harus dibasmi!" tegur sang kapten.

"Ma--Maaf, pak!" jawab Jack, berusaha untuk tetap teguh.

Keseharian sebagai anggota Angkatan Bersenjata Amerika Serikat memang melelahkan, namun Jack selalu berusaha untuk tidak tidur. Bukan karena dia takut dimarahi. Dia hanya tidak ingin terbawa ke mimpi itu lagi.

Lebih tepatnya, dia tidak mau lagi teringat memori kelam itu. Tragedi yang telah mengubah jalan hidupnya hingga sekarang. Sudah berkali-kali pengelihatan masa lalu tersebut diputar dalam tidurnya.

"Kita sampai di Chicago," pilot pesawat memberitahu semua tentara dari kokpit. "Estimasi waktu kedatangan, 3 menit ke medan pertempuran!"

"Kalian dengar itu, anak-anak?! Bersiap!" Kapten Kirkman memerintahkan timnya.

Para prajurit memakai ransel parasut masing-masing, kemudian mengenakan helm tempur yang telah dilengkapi dengan headset komunikasi. Selain itu, mereka juga memeriksa ketersediaan amunisi dan peralatan tempur lainnya.

Setelah selesai mempersiapkan diri, Jack dan tentara lainnya beranjak dari tempat duduk. Mereka berbaris menghadap ke pintu kargo belakang.

"Dengar baik-baik!" Kapten Kirkman, yang juga sudah bersiap, memberi arahan. "Menurut laporan kepolisian setempat, monster ini terbuat dari batu. Mereka sudah mencoba menggunakan granat, dan tentunya tidak mempan."

Bukanlah hal mengejutkan untuk Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, begitu pula bagi segala macam angkata militer di seluruh dunia, bahwa tidak ada senjata kecil yang ampuh untuk melakukan perlawanan terhadap monster. Makhluk-makhluk yang selama ini mereka semua hadapi, jarang sekali ada yang dapat ditangani oleh kepolisian semata.

"Untuk itu, kita perlu artileri berat untuk menjatuhkannya," lanjut sang kapten. "Tugas kita adalah menahannya sampai truk pengangkut howitzer tiba di posisi dan bersedia, agar mereka dapat melancarkan serangan dengan akurat. Karena monster ini dilaporkan dapat bergerak cukup gesit meski mempunyai bobot belasan gajah. Mengerti?!"

"Siap, pak!" jawab para prajurit dengan serentak.

"Estimasi waktu kedatangan, 50 detik!" Pilot memberitahu mereka sekali lagi. "Lokasi sudah dekat. Target terlihat!"

Pintu kargo belakang terbuka ke bawah. Jack merasakan angin dari langit masuk ke dalam pesawat.

Daratan dapat terlihat yang jauh di bawah sana. Tampak sebuah pemandangan puluhan bangunan yang porak poranda. Ditambah dengan sesosok makhluk berperawakan besar yang tengah merobohkan bangunan utuh demgan kedua tangannya.

Jack merenung sejenak. Terlintas segala perjuangan yang telah dia tempuh selama ini.

Dia sempat berpikir, bagaimana seorang anak periang yang tidak menyukai kekerasan dan bercita-cita menjadi dokter, berakhir menjadi prajurit yang siap mati kapan pun dibutuhkan.

Tapi dia tidak bisa kembali. Dia tidak mau.

Tidak setelah apa yang dunia renggut darinya.

Dia sudah memilih jalan ini dengan tekad bulat. Jika itu demi menyelamatkan nyawa-nyawa yang tidak bersalah, maka dia rela berkorban.

"Baiklah, tim!" Kapten Kirkman pun memberi komando. "Saatnya menyelamatkan hari!"

Dia melompat dari pesawat, terjun menuju medan perang. Jack dan semua tentara menyusulnya.

***


CREATORS' THOUGHTS
SAGA_UNIVERSE SAGA_UNIVERSE

===========

GLOSARIUM

===========

KU – Kansas University (University of Kansas) / Universitas Kansas

LED – Light-Emitting Diode / Dioda pemancar cahaya

Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login