Download App

Chapter 69: MCMM 68

"Please mas. Ini permintaan terakhirku sebelum aku pergi dari hidupmu. Berbaikanlah dengan masa lalumu seperti kamu berbaikan dengan Senja. Maafkan om Pram dan temui dia. Om Pram sangat merindukanmu."

⭐⭐⭐⭐

Happy Reading Guys ❤

Dan kini Banyu sudah berdiri di depan rumah yang telah ditinggalkannya 9 tahun yang lalu. Masih terbayang oleh Banyu masa-masa bahagia di dalam rumah ini, sebelum akhirnya kebahagiaan itu dirusak oleh sang ayah. Banyu masih ingat bagaimana di tengah hujan deras mereka harus meninggalkan rumah itu karena Aminah memaksa pergi dari rumah tersebut.

"Mas, ayo masuk." Dengan hati-hati Gladys menyentuh lengan Banyu. "Om Pram ada di kamarnya."

"Aku belum siap bertemu dengannya. Aku tak bisa memaafkan dia yang telah menelantarkan kami." Banyu tak beranjak dari tempat berdirinya.

"Mas, tadi kamu memintaku untuk berhenti mengejar dan mengharapkanmu. Aku akan memenuhi permintaanmu. Sebagai gantinya aku hanya ingin kamu bertemu dengan om Pram dan bersikap baik padanya."

"Kenapa aku harus bersikap baik pada dia yang selama ini sudah membuang kami?"

"Mas, om Pram sudah mendapatkan balasan dari perbuatannya. Bukan hanya ibu yang meninggalkan dia, bahkan wanita itu pun meninggalkannya saat om Pram dalam keadaan sakit berat."

"Darimana kamu tahu itu semua?"

"Ibu yang cerita kepadaku. Semenjak om Pram sakit, ibu sering bertemu dengannya. Bukan karena masih mencintainya, tapi karena ibu memiliki hati yang mulia. Ibu tahu bahwa wanita itu meninggalkan om Pram dan juga anaknya sendiri. Makanya ibu menemui om Pram untuk mensupport dia. Kata ibu, jangan membalas perbuatan yang menyakitkan dengan hal yang juga menyakitkan. Tapi balaslah dengan kebaikan."

"Lalu apa pengaruhnya aku datang atau tidak? Toh selama ini dia juga tak pernah mencari kami."

"Mas aku tak memintamu untuk memaafkan dia saat ini juga. Tapi aku hanya ingin kamu menemuinya. Om Pram sangat ingin bertemu denganmu. Kita nggak pernah tahu berapa lama om Pram bisa bertahan dengan penyakitnya itu."

Banyu menghela nafas kasar. Ia benar-benar tak ingin bertemu ayahnya. Lelaki yang telah menyakiti ibunya. Itulah alasannya kenapa ia ingin melindungi Senja yang memiliki nasib hampir sama dengan ibunya. Banyu tak rela wanita yang dicintainya mendapat perlakuan seperti itu.

"Mas, anggaplah ini permintaan terakhirku. Kalau setelah ini kamu memintaku untuk benar-benar menghilang dari hidupmu, aku akan turuti itu. Buatku yang penting om Pram bisa bertemu denganmu. Dan aku lebih bersyukur bila mas Banyu bisa memaafkan om Pram dan memperbaiki hubungan kalian." Banyu terdiam mendengar ucapan Gladys. Ia memang meminta Gladys untuk tak lagi mengharapkan dirinya, namun ia pun tak ingin Gladys pergi begitu saja dari hidupnya. Sebutlah ia manusia paling egois. Ia tak ingin Gladys menghilang dari kehidupannya. Entahlah, walau untuk saat ini ia tak bisa mencintai Gladys tapi ia kerap merindukan kehadiran Gladys.

"Dys, aku tak pernah memintamu pergi dari hidupku. Aku hanya memintamu tak berharap apapun. Aku ingin menjadi temanmu."

"Mas, aku nggak akan langsung pergi begitu saja. Aku akan pergi setelah mas Banyu memperbaiki hubungan dengan om Pramudya. Setelah itu aku tak kan mengganggu hidupmu lagi. Aku tak bisa menjadi temanmu. Perasaan ini terlalu dalam dan sulit untuk kuhapus begitu saja."

"Kamu pernah bilang, mencintai itu secukupnya saja."

"Tadinya kupikir aku bisa mencintaimu secukupnya. Kupikir aku akan mudah melupakan perasaan ini bila ternyata hubungan kita kandas. Tapi aku salah. Aku tak bisa." Gladys tersenyum lemah. "Aku hanya gadis biasa, yang bisa patah hati dan akan menangis meratapi nasibku."

Banyu menarik Gladys ke dalam pelukannya. Dipeluknya erat tubuh Gladys. Ia sadar mungkin ini pelukan terakhir yang dapat ia berikan untuk Gladys. Entah mengapa ia merasa gadis ini akan benar-benar pergi dari hidupnya. Ada rasa tak rela harus kehilangan Gladys. Namun ia pun tak bisa memungkiri perasaan cintanya untuk Senja.

Dipeluk erat seperti itu, akhirnya pertahanan Gladys jebol. Segala rasa yang ia tahan sejak tadi kini tak terbendung lagi. Mungkin ia masih bisa bertahan bila saja tak dipeluk oleh Banyu. Akhirnya ia menangis dalam pelukan Banyu yang semakin erat memeluknya.

"Maafkan aku Princess," bisik Banyu. Hatinya ikut sakit saat Gladys menangis seperti saat ini dalam pelukannya. Tampak matanya berkaca-kaca. "Aku nggak mau kehilangan kamu tapi saar ini aku juga nggak bisa memberikan hatiku untukmu. Kamu berhak memdapatkan pria yang jauh lebih baik dariku, yang mencintaimu dengan tulus."

Gladys hanya terus terisak dalam pelukan Banyu. Ya Allah kenapa berat rasanya untuk melepaskan dia. Aku belum siap untuk kehilangan dia. Aku nggak sanggup tapi aku pun tak bisa memaksa dia untuk mencintaiku.

"Princess, berjanjilah untuk selalu bahagia." Banyu menangkup wajah Gladys. Pipinya basah dengan air mata yang masih terus menetes dari matanya. Dengan lembut Banyu menghapus air mata Gladys dan mencium kening Gladys. Lama. Seolah ia enggan mengakhirinya.

"Entahlah apakah aku akan bisa bahagia hidup bersama pria yang tak kucintai," bisik Gladys. "Tapi kamu nggak usah mengkhawatirkan diriku, mas. Aku akan mencoba bahagia bila memang orang-orang di sekitarku bahagia. Dan kebahagiaanku yang pertama adalah melihatmu berbaikan dengan om Pram."

Rahang Banyu mengeras. Tampaknya ia berusaha menahan emosinya.

"Mas, kamu ingin melihat aku bahagia kan? Please, lakukan ini untukku."

Kini Banyu sudah berada di depan kamar Pramudya. Ditatapnya sang ayah yang terbaring lemah di tempat tidur. Banyu kaget melihat kondisi Pramudya yang jauh berbeda dengan yang ada dalam ingatannya. Begitu banyak perubahan pada ayahnya. Pramudya tak lagi segagah saat ia melihatnya 9 tahun yang lalu. Sejak perpisahan kedua orang tuanya Banyu benar-benar tak mau bertemu dengan Pramudya. Bahkan ia pun enggan melihat berita-berita tentang sang ayah.

"Ai.. dan?" Pramudya terbangun dan dilihatnya Aidan duduk di samping ranjangnya.

"Iya, ini Aidan yah."

"Mana Na..bi..la?"

" Dek Bila sedang bermain dengan dek Daffa. Hari ini dek Daffa kan ulang tahun, yah. Tadi Aidan, dek Bila dan kak Gladys membelikan hadiah untuk dek Daffa."

"Terima kasih kalian mau menerima Daffa sebagai adik kalian," ucap Pramudya sambil tersenyum. "Ayah bahagia melihat kehadiran kalian dalam hidup ayah. Apabila saat ini tuhan mengambil nyawa ayah... ayah ikhlas. Sayang kakak kalian belum mau menemui ayah."

"Hai om Pram. Om harus semangat. Kesedihan hanya menambah beban pikiran dan mengganggu proses kesembuhan kita." Gladys mencium punggung tangan Pramudya.

"Nak Adis... kamu semakin cantik. Seandainya saja Banyu ada disini, om akan meminta dia untuk menikahimu."

"Wah, Adis mah terlalu cantik untuk anak om yang buruk rupa itu." Gladys mencoba mengajak bercanda. Usahanya berhasil membuat Pramudya tertawa lepas.

"Bisa aja kamu Dis. Anak om yang pertama ganteng banget lho. Om aja kalah ganteng. Mau ya om jodohin sama Banyu?"

"Percuma atuh ganteng kalau nggak suka sama Adis, om. Adis nunggu Aidan lulus kuliah saja deh. Aidan ini ganteng, baik dan setia lho om."

"Idiih kak Gladys sukanya daun muda ya?" sahut Aidan sambil tertawa mendengar candaan Gladys.

"Daun muda tuh enak Dan, buat dijadiin lalapan." sahut Gladys.

"Emangnya Aidan sayuran. Ogah ah, dapat tante-tante." balas Aidan sambil terkekeh. Gladys pura-pura ngambek. Pramudya ikut tergelak melihat akting Gladys.

Sementara itu Banyu hanya memperhatikan interaksi antara Gladys dengan ayah dan adiknya. Bagaimana mungkin seorang Gladys yang belum lama mengenal Pramudya, bisa seakrab itu.

"Om janji akan membuat Banyu naksir kamu, Dis."

"Makanya om harus tetap semangat menjalani pengobatan. Biar om bisa melihat Adis menikah dengan anak kebanggaan om Pram yang katanya ganteng banget itu."

"Om mau melanjutkan pengobatan kalau nak Adis dan Banyu yang menemani. Bagaimana?" Pramudya mencoba bernegosiasi dengan Gladys.

"Hmm.. Adis akan pertimbangkan permintaan om Pram. Maklum om, Adis kan orang sibuk. Jadi harus lihat agenda dulu."

"Huu... kak Gladys sok sibuk nih. Mana ada orang sibuk yang menyempatkan ajak Aidan dan dek Bila jalan-jalan di mall. Kak Gladys mah gabut."

"Hehehe.... bisa aja kamu Dan." Ketiganya tertawa lepas. Banyu diam-diam ikut tersenyum melihat keakraban itu.

"Lho Banyu? Kok nggak masuk ke kamar?" tegur Agus yang hendak masuk ke kamar Pramudya.

"Ba-nyu.... " Pramudya tak sanggup menahan tangisnya saat mengetahui ada Banyu. Aidan menepuk-nepuk tangan sang ayah.

Gladys menghampiri Banyu dan menariknya mendekati ranjang Pramudya. Banyu tak berkata apapun saat sudah berada di dekat Pramudya. Ia sama sekali tak bereaksi. Ia hanya memandang sekilas Pramudya.

"Mas.." Gladys menyentuh lengan Banyu.

"Om, ini anak om yang katanya ganteng itu?" Gladys berusaha memecahkan situasi canggung itu. Lalu Gladys pura-pura memperhatikan Banyu dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Lumayan lah om. Tapi masih gantengan om Pram deh. Iya kan, Dan?"

Mau tak mau Banyu tertawa dalam hati melihat gaya Gladys yang menggemaskan. Mirip Nabila, batinnya.

"Iya nak Adis. Dia itu yang namanya Banyu. Anak om yang paling ganteng."

"Jadi Aidan nggak ganteng nih?" Aidan pura-pura ngambek.

"Maaf om ralat. Ini Banyu anak om yang paling ganteng nomor satu. Kalau Aidan paling ganteng nomor dua."

"Wah, pasrah deh. Kalau gitu caranya sampai kapanpun Aidan nggak akan bisa mengalahkan yang ganteng nomor satu."

"Nyu... apa kabarmu, nak?" tanya Pramudya ragu-ragu.

Banyu tak menjawab. Gladys mencubit pelan lengan Banyu, yang langsung melotot. Gladys membalas melototi Banyu. Ya Allah, kenapa aku baru menyadari ia memiliki mata seindah itu, puji Banyu dalam hati.

"Kalau ditanya orang tua tuh dijawab," tegur Gladys. Banyu sudah hampir menjawab saat dilihatnya Gladys kembali memelototinya.

"Baik."

"Ayah dengar kamu sudah lulus kuliah. Selamat ya, nak."

"Hmm... terima kasih." balas Banyu.

"Ayah senang kamu mau datang kesini. Ayah kangen sama kamu. Ayah mau minta maaf." Banyu tak bereaksi. "Tolong maafkan ayah, nak. Ayah tahu ayah tak pantas untuk dimaafkan. Kini ayah bisa pergi dengan tenang setelah melihatmu dan meminta maaf kepadamu."

"Hmm..." Tak ada seorangpun yang bersuara, hingga ponsel Banyu berbunyi. Tanpa bicara Banyu keluar kamar.

"Maafin ayah, Nyu." bisik Pramudya lemah. Air mata menetes di pipinya. Aidan memeluk ayahnya dan membiarkan sang ayah melepaskan kesedihannya.

"Mas Banyu pasti akan memaafkan ayah. Mas Banyu hanya canggung karena sudah lama tak bertemu dengan ayah." Aidan berusaha menenangkan Pramudya. Gladys terenyuh melihatnya.

⭐⭐⭐⭐

"Sayang, nanti malam diner yuk. Mama papa mau ketemu sama kamu." Lukas mengajak Gladys melalui ponsel.

"Maaf mas, aku nggak bisa."

"Kenapa?" Terdengar nada tak suka pada suara Lukas.

"Aku sudah janji mau nonton sama sahabat-sahabatku. Mumpung para bumil belum melahirkan." Gladys menolak ajakan Lukas. Sebenarnya ia malas bertemu dengan Meisya.

"Siapa saja?"

"Kenapa ingin tau?"

"Kenapa? Wajar kan kalau aku ingin tahu kekasihku pergi dengan siapa. Aku nggak akan mengijinkan kamu pergi kalau ada pria yang ikut selain suami atau kekasih mereka." Gladys mengerutkan kening mendengar ucapan Lukas.

"Mas, nanti itu yang pergi cuma cewek-cewek aja. Paling-paling hanya mas Jihad yang ikut nonton. Karena dia nggak akan mengijinkan istrinya pergi keluar rumah sendiri. Apalagi kalau hanya untuk bersenang-senang."

"Pulangnya aku jemput."

"NGGAK USAH!"

"Kenapa?" tanya Lukas curiga. "Kamu beneran mau pergi dengan sahabat-sahabatmu atau dengan pria lain?"

"Pria lain yang mana?" Gladys balik bertanya. "Sudah ah, aku mau menyelesaikan pekerjaanku."

"Sayang...." Belum sempat Lukas bicara, Gladys sudah menutup telponnya. Hal ini menimbulkan tanda tanya di hati Lukas.

"Ndah, nanti kalau mas Lukas telpon bilang aja aku lagi meeting. Nggak bisa diganggu." perintah Gladys pada Endah.

"Baik kak. Oh iya, tadi nyonya mami kirim makan siang buat kak Gladys."

"Siapin aja. Selesai yang satu ini aku akan makan siang."

Setengah jam kemudian...

"Kak, kapan makannya?" tanya Endah takut-takut. Walaupun ia kini bekerja di butik, namun ia tetap menjalankan kebiasaannya menyiapkan kebutuhan Gladys.

"Cerewet banget sih. Kan aku bilang kalau sudah selesai aku akan makan. Kamu bisa lihat kan, pekerjaanku belum beres." Balas Gladys ketus tanpa melepaskan pandangannya dari monitor komputer.

"Tapi nanti kalau nyonya mami nanya gimana?"

"Ya bilang saja sama mami kalau aku sudah selesai makan."

"Tapi nyonya mami minta bukti video. Kata nyonya mami, biar kak Gladys nggak bisa bohong."

"Aduuuh mami ada-ada saja deh. Kapan lagi aku bohong soal makan?"

"Sering." jawab Endah jujur. "Kakak sering bilang sudah makan padahal belum. Makanya nyonya mami minta dikirimin video kak Gladys sedang makan."

Akhirnya dengan terpaksa Gladys menyantap makanan yang dikirim oleh Cecile. Padahal sebenarnya ia tak terlalu lapar. Selama makan Endah merekam Gladys.

"Kak, boleh Endah tanya sesuatu."

"Apa Ndah?"

"Kak Gladys sudah mantap dengan dokter Lukas?"

"Aku sedang mencoba memantapkan hati, Ndah."

"Kakak masih cinta sama mas Banyu?" Gladys terdiam. Hatinya tak bisa menipu. Ia masih mencintai Banyu, tapi ia sedang berusaha mencoba melupakan perasaannya.

"Aku sedang berusaha melupakan perasaanku padanya, walau aku tahu itu pasti nggak mudah."

⭐⭐⭐⭐


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C69
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login