Download App
71.42% The Noir.

Chapter 5: The Tidings

"Kerusuhan terjadi di berbagai daerah, aparat kepolisian telah dikerahkan di lokasi kejadian. Baku tembak antara aparat keamanan dengan pelaku tak terhindarkan. Penyebab kerusuhan belum diketahui, namun beberapa saksi mata mengatakan ada segerombolan manusia yang tidak normal dan bertingkah laku layaknya binatang buas..."

Suara seorang wanita terdengar melalui benda pipih segiempat layarnya nyala-redup menampilkan seorang reporter wanita yang tengah menyiarkan berita.

Tak jauh dari benda segiempat itu, seorang gadis remaja tertidur dengan sebelah pipinya yang menempel di kaca jendela, rambut hitamnya yang kusut masai tergerai berantakan menutupi wajahnya, mulutnya terbuka lebar. Uap hangat yang ditinggalkan napasnya berkilau terkena cahaya jingga dari lampu jalan di luar.

Luna sudah duduk di kursi dekat jendela kamarnya selama hampir lima jam, menyaksikan siaran gosip favoritnya dan berujung ketiduran dengan laptop yang masih menyala terang. Pendar cahaya dari layar segiempat itu menyorot wajahnya yang tirus dan kusam.

"Makhluk ini secara fisik menyerupai manusia, namun seperti telah berevolusi menjadi makhluk mengerikan...dan menyerang siapa pun yang bisa diraihnya..."

Suara reporter wanita tadi masih terdengar memenuhi ruangan mengalahkan dengkur keras Gadis itu.

Luna mengigau dalam tidurnya. Wajahnya merosot dari jendela sekitar dua-tiga senti dan hampir membentur meja ketika pajangan kodok jelek, yang ternyata jam beker, berdering keras seperti kerasukan kodok gila di ambang jendela.

Dia terbangun seketika dari tidurnya, seakan terkena setrum listrik. Tangan kanannya menyenggol pigura di meja belajarnya bersamaan dengan berbagai benda kecil ikut menggelinding—berjatuhan ke lantai.

Masih setengah sadar, dia memungut pigura itu—sementara barang lainnya ia biarkan teronggok begitu saja di lantai, dan tersadar sepenuhnya saat menyadari bingkai piguranya terbelah, kaca yang membingkai foto didalamnya retak sehingga pigura itu terlihat seperti ditempeli bunga salju di permukaannya.

idiot.

Luna meletakkan kembali pigura itu ke meja.

Walaupun retak ditengahnya, pigura itu masih cukup jelas menampilkan foto yang ada dibaliknya, foto sebuah keluarga.

Gadis kecil dalam foto itu tersenyum lebar memamerkan deretan gigi putihnya yang tanggal dua di bagian atas. Di sebelahnya, seorang anak laki-laki tampan tengah merangkulnya, tangannya melingkar pada bahu gadis itu.

Di sisi kanan, sang Ayah tersenyum hangat, wajahnya luar biasa tampan dengan rahang tegas, hidung mancung, dan iris coklat terang yang diturunkannya pada putrinya, Luna.

Di sisi kiri, sang Ibu terlihat anggun dalam balutan gaun sutra putih, kontras dengan rambut hitam yang diikat dalam gulungan sanggul tinggi. Dia tersenyum lembut, merangkul kedua buah hatinya.

Potret sempurna yang cukup menggambarkan keluarga normal yang bahagia, sebelum insiden tragis 7 tahun silam merenggut semua itu darinya.

Kini semua yang tersisa hanya tinggal kenangan.

Kau tahu Lu.., papa dan mama tak pernah benar-benar meninggalkan kita. Kau selalu bisa menemukan mereka di hatimu. Biarkan kenangan akan mereka hidup dalam sanubari kita. Kakaknya selalu mengatakan hal itu di kala dirinya dirundung rasa rindu yang sedemikian rupa pada kedua orangtuanya.

Untuk kesekian kalinya Luna kembali memandangi potret lama itu, sorot matanya tertuju pada bocah laki-laki yang nyengir lebar, merangkul dirinya.

Xaverius Keenan, kakaknya, orang yang selalu ada disisinya, pelipur lara dikala hatinya gundah oleh pilu.

Orang yang menunjukan padanya, kalau mereka tak kehilangan segalanya, sekurang-kurangnya mereka masih memiliki paman dan oma disisi mereka. Mereka pun masih memiliki satu sama lain.

Tapi sosok itu sudah lama menghilang dari hidupnya.

Dia berpaling menatap jendela kamarnya, pandangannya menerawang jauh bersamaan dengan berbagai pertanyaan yang muncul di benaknya. Dimanakah kakaknya sekarang? Mungkinkah dia kawin lari? Atau yang lebih buruk lagi, mati mengenaskan tanpa ada yang tahu?

Tidak mungkin dia kawin lari. Mati? Tidak! Tidak mungkin! Dia harus tetap hidup supaya aku bisa menggamparnya nanti!

Secuil harapan dihatinya yakin kalau Keenan masih bernapas, dan hidup di luar sana, entah di belahan dunia bagian mana.

Jam beker kodok miliknya kembali berdering keras saat jarumnya menunjukan pukul lima dini hari. Mekanisme jam beker kodok itu sudah usang sehingga dia akan berbunyi setiap setengah jam. Luna tak tahu—dan tak peduli cara membetulkannya. Nanti juga akan mati sendiri, pikirnya.

Dasar kodok gembel. Kalau bukan karena Keenan yang memberikannya padaku, aku sudah membuangmu ke tempat rongsokan.

Luna beranjak dari kursinya, mematikan laptopnya, dan melangkah menuju kamar mandi melaksanakan ritual paginya.

Dia tidak mengenakan seragam seperti biasanya, karena hari ini, kelas tingkat akhir akan mengadakan gathering akhir tahun, acara yang ditunggu-tunggu semua murid kelas 12 setelah berperang dengan kertas dan soal ujian.

Luna menatap pantulan dirinya di cermin, dia mengenakan kaos putih polos dengan jeans dan denim jaket. Kalung dengan ukiran unik melingkar di lehernya, rambut hitamnya yang tadi kusut masai dikuncir tinggi menjadi ekor kuda.

Dia memindai sekali lagi setiap sudut tempat di kamarnya, setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Luna keluar dari kamarnya dan turun ke bawah.

Luna menapaki anak tangga terakhir saat suara neneknya menggelegar memenuhi ruang keluarga. "Dunia ini sudah gila, propaganda apa lagi ini?!"

"Oma?" Luna berseru memanggil neneknya.

Tak ada jawaban.

Sambil mengernyit heran, Luna melangkah cepat ke ruang keluarga, bertanya-tanya dalam hati siapa atau apa yang membuat wanita tua itu marah-marah di pagi buta ketika reporter berita di layar televisi berbicara dengan cepat.

"Orang-orang mengalami gejala seperti rabies, dan mencoba untuk mengigit siapa pun yang dapat mereka tangkap. Laporan datang dari berbagai negara, dan mereka melaporkan hal yang sama. Rumah sakit kewalahan-"

Tembakan menyela reporter berita. Luna melirik ke layar tv dengan penasaran, orang-orang berseragam polisi dan tentara terlihat tengah menembakan pistol mereka kepada kerumunan makhluk aneh dengan sklera mata yang pucat tanpa pupil, tubuh kumpulan makhluk itu bersisik menjijikan, kepala mereka botak plontos tidak ditumbuhi rambut sehelai pun, dan tampaknya rambut pun juga enggan tumbuh di kepala mereka yang berlendir.

Menurut Luna makhluk itu mengingatkannya pada tuyul yang sudah berevolusi.

Piip.

"Tidak masuk akal!" nenek Luna mematikan televisi kesayangannya dengan kasar-nyaris melelepkan tombol on/off nya. "Mana ada makhluk seperti itu di bumi! Jika seseorang berdarah tertembak seperti itu, maka mereka akan mati, atau paling tidak, mereka pasti roboh karena otot tak lagi memiliki oksigen. Ini pasti propaganda politik, hanya orang tolol saja yang percaya kalau video ini asli."

Luna hanya melongo sementara neneknya terus meracau. Dia wanita tua bertubuh gemuk, pendek, dan berwajah ramah, tetapi akan berubah garang seperti macan betina saat dia kesal pada suatu hal seperti sekarang.

Biasanya dia akan menampilkan ekspresi garangnya pada luna setiap kali dia menaruh barangnya di sembarang tempat, atau pada kasus perseteruan rumah tangga yang tak kunjung menemukan titik terang pada sinetron favoritnya, sehingga mengherankan sekali di pagi buta wanita tua itu sudah mencak-mencak hanya karena berita konyol di televisi.

Meski begitu, Luna sependapat dengan neneknya, dia bahkan tak peduli pada berita itu, yang menurutnya tidak masuk akal sekaligus konyol.

Walau tak memungkiri fakta bahwa dari beberapa hari yang lalu berita soal kemunculan makhluk aneh yang mirip zombie setengah tuyul itu ramai di perbincangkan oleh publik baik di dunia maya maupun nyata.

"Mungkin itu hanya april fools, oma." celetuk Luna, mengikuti neneknya, yang masih setia dengan wajah muramnya, pergi ke dapur.

"Kau pikir ini bulan apa?" neneknya seketika menoleh, memandang Luna garang. "Lagipula, kita tidak merayakan April pols-pols itu!"

"April Fools." Luna mengoreksi.

"Sama saja!" kata nenek Luna ketus. Ekspresinya seakan tak terima kalau dia salah.

Luna mendengus kesal. Dasar kolot.

Dia menyapukan pandangannya, mencari seseorang yang seharusnya ada di ruangan itu bersama mereka

Seakan bisa menebak siapa yang Luna cari, neneknya berkata suara yang masih sama ketusnya "Pamanmu sudah pergi dari pagi-pagi buta, panggilan mendadak katanya. Pemerintah semakin sinting saja, mana ada sih manusia waras yang menyuruhnya datang jam 2 subuh?!, lalu berita sinting itu-dunia sudah gila rasanya!"

Dan semuanya tiba-tiba menjadi jelas bagi Luna.

Ternyata kepergian sang paman-lah yang memicu keluarnya harimau betina dalam diri neneknya. Ditambah lagi dengan kemunculan berita konyol di televisi semakin memperburuk suasana hatinya.

"Yah, paman kan sibuk." Luna basa-basi menanggapi. "Sudah tugasnya bertanggung jawab jika sesuatu terjadi."

"Aku tahu dia sibukl!!" Neneknya sekarang sudah berteriak, melampiaskan kedongkolannya pada cucunya. "Tapi itu tidak manusiawi, dikira dia tak punya keluarga apa! Bahkan dia tak sempat mandi—langsung pergi begitu saja. Sudah berkali-kali ini terjadi!"

Luna mengambil roti dan duduk di meja makan sambil menikmati sarapannya dengan tenang.

Benaknya berputar memikirkan berita di televisi barusan selagi telinganya mendengar neneknya yang berkoar-koar soal betapa dongkolnya dia pada pemerintah, dan para pejabat yang korupsi, bersambung pada Jamal, anak tetangga mereka yang kurang ajar karena mengencingi tanaman kesayangan neneknya.

Ting-tong...

Suara bel pintu menghentikan ocehan neneknya. Luna bangkit dari kursinya, dengan semangat dia membuka pintu, dia sudah tahu siapa yang datang.

Alicia, seorang gadis berambut hitam lebat sebahu dengan wajah ramah menyenangkan berdiri di beranda. Satu tangannya memegang koper besar, sementara tangan yang lain memegang satu tas penuh makanan ringan.

"Hai, Lu." sapanya. "Aku tak mengganggu kan? Sepertinya lagi serius ya?" dia melirik neneknya lewat atas bahu Luna.

Luna yang mengerti arah pandangan Alicia buru-buru menjawab "Oh tentu saja tidak. Oma hanya kesal pada berita konyol di TV-kau tahu kan makhluk aneh yang muncul pagi ini di berita?"

"Oh yaa, orangtuaku juga ribut soal itu" kata Alicia, selagi Luna mempersilakannya masuk ke rumah.

"Ayahku bilang itu hanya lelucon, walau begitu aku sedikit meragukannya-maksudku mana ada sih lelucon sampai seniat itu, tembakan Meriam, para tentara, dan polisi? Lagipula sekarang kan bukan bulan April-hallo oma"

Alicia mengobrol dengan neneknya sementara Luna terdiam.

Dalam benaknya, dia memikirkan perkataan Alicia ada benarnya. Kalaupun itu hanya sekedar lelucon kenapa harus melibatkan anggota kepolisian dan militer? Lalu pamannya yang pergi mendadak pasti juga ada hubungannya..

"Luna."

Suara neneknya membuyarkan lamunannya seketika. Luna menoleh memandang neneknya-yang entah bagaimana suasana hatinya sudah kembali normal lagi,

"Kenapa kau tidak bilang hari ini perginya?" tanya neneknya. "Kalau kau bilang, oma kan bisa membuatkan sarapan."

Luna tidak dapat mencegah dirinya untuk tidak memutar matanya. "Aku mau bilang tadi," katanya dengan gigi terkatup. "Tapi oma dari tadi nyerocos terus."

Sejenak neneknya tampak siap merepet lagi, namun dia mengurungkan niatnya saat melihat Alicia ada diantara mereka.

"Ya sudah, bawa ini saja buat makan dijalan nanti-sisa pamanmu tadi, sudah agak dingin tapi masih bisa dimakan." Neneknya menyodorkan kotak plastik.

Luna menerima kotak itu, mengintip isinya. Mi goreng. Makanan favorite Luna apapun kondisinya, jamuran pun tak masalah untuknya-selama masih gurih.

"Hati-hati, kalian berdua!" neneknya mengingatkan. "Dan, selamat berlibur."

Keduanya bergegas keluar sambil membawa koper dan barang bawaan mereka ke halaman rumah, tempat mobil Luna terparkir.

Nenek Luna melepas keberangkatan mereka, melambaikan tangan dari teras rumah sementara mobil mulai melaju meninggalkan halaman rumah.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C5
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login