Download App

Chapter 3: Berubah Dalam Sehari

Zara terisak kencang di salah satu bilik toilet sembari menatap tubuhnya sendiri di pantulan kaca. Bodoh, kenapa ia harus takut pada ancaman Citra?

Pakaian yang ia pakai sekarang ... begitu memalukan. Bukan seragam lagi, melainkan pakaian dengan bahan kurang yang biasa wanita-wanita murahan di luar sana pakai. Entah, mengapa Citra bisa secepat itu menemukan baju yang sekarang ia pakai.

Zara menggeleng kuat, ia membingkai wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Aku nggak mau," lirihnya.

"Kak Kai, aku nggak mau." Zara kembali menggelengkan kepalanya.

"Apapun yang terjadi nantinya, ada atau nggak adanya Kakak, kamu harus hadapi semuanya, ya. Jangan takut."

Tiba-tiba sekelebat suara Kai dulu menggema di telinganya. Zara menarik napas panjang, sebelum akhirnya memilih untuk mengusap air matanya. Dan mengulas senyum di bibirnya.

Namun, sekali lagi ia menatap tubuhnya. Tidak, ini terlalu memalukan. Ia bukan murahan. Dengan brutal, Zara lebih memilih untuk kembali memakai seragamnya.

Tok tok tok!

"Woi si bodoh, lama banget lo hah?!"

"Keluar, Zara!"

"Gue hitung ya, satu,"

Zara berlari ke arah pintu toilet setelah seragamnya kembali terpakai rapi. Ia segera keluar dari sana meninggalkan pakaian minim itu.

"Sialan lo, gue nunggu lama-lama dan lo belum pakai bajunya?!" teriak Citra.

Kedua tangan Zara mengepal di kedua sisi. Namun dengan penuh keberanian yang timbul karena suara Kai, ia mendongakkan kepala. Membalas tatapan Citra yang seakan mau mengulitinya.

"A-aku nggak mau," ujar Zara.

Mata Citra dan kedua temannya membola. Sekian detik kemudian, Zara terjungkal ke belakang karena dorongan kasar dari Kakaknya. Tubuhnya menabrak dinding, Zara terduduk lemah.

"Lo mulai berani sama gue?!" Citra berteriak. Dan Zara menggeleng lemah.

"Tolong kali ini aja, Kak. A-aku nggak mau," ujar Zara lirih.

Entahlah, kepalanya pusing, tubuhnya mendadak jadi lemas tatkala kepalanya membentur keras dinding di belakangnya.

"Awas lo, lihat aja!"

"Ayo gengs, tinggalin dia!"

Citra dan dua temannya melangkah pergi, namun sebelum itu. Mereka menyempatkan untuk menginjak kaki Zara satu per satu.

"Sakit!" teriak Zara meringis.

Selepas kepergian manusia-manusia yang Zara anggap iblis itu, tangisan Zara tak lagi bisa ia bendung. Tangisannya pecah tanpa diminta. Untung saja wilayah sekitar toilet cukup sepi dari siswa-siswi.

Tangan Zara terangkat, beberapa kali memukul dadanya yang terasa sesak.

"Kak Kai, aku mau ikut Kak Kai aja," lirihnya.

Sejak kecil, sejak ia lahir, hanya Kai yang menyayanginya sedemikian rupa. Melindunginya saat kedua orang tuanya atau Agra dan Citra berlaku kasar padanya. Hanya Kai.

Tak ada orang yang begitu tulus pada Zara selain Kai. Namun, Tuhan dengan teganya mengambil Kai darinya. Memaksanya untuk sendirian ... tanpa perlindungan Kai.

"Zara mau ikut Kak Kai." Sekali lagi, Zara mengucapkan hal yang sama dengan linangan air mata.

"Bangun lo!"

Zara mendongak, dan menemukan sosok Agra yang menatapnya datar. Dengan segera ia menghapus air matanya dan berdiri menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh Agra yang lebih tinggi darinya.

"A-ada a-apa?" tanya Zara tergagu. Selalu begini jika dirinya berhadapan dengan Agra. Rasa takut, asing, dan gusar menjadi satu.

"Murahan."

Satu kata, tapi mampu membuat hati Zara terasa lara.

"A-aku ...,"

"Kenapa lo nggak nolak? Lo biarin tubuh lo dipepet-pepet kaya gitu. Apalagi kalau bukan murahan?" Agra mengulas senyum miring.

Zara memejamkan mata sebentar, ia menatap Kakaknya dengan penuh kekecewaan.

"Kalau gitu, kenapa Kakak nggak tolongin aku?" balas Zara sarkas.

Agra tertawa, ia menatap adik bungsunya dengan remeh, "Malu, masa gue nolongin lo?"

Kan, Agra itu ... pendiam tapi mulutnya pedas sekali. Bisa bikin sakit hati.

Zara menunduk dalam ... terdiam sebentar, sebelum akhirnya kembali menatap sosok Kakak lelakinya.

"Aku bisa apa, Kak? Adik kesayangan Kakak ancam aku sedemikian rupa, dan kalau aku nolak, di rumah aku kena hajar Papa sama Mama. Kak Agra dan Kak Citra, nggak akan pernah tahu rasanya dipukul pakai rotan atau gesper, tidur di luar, atau dijambak kuat-kuat." Zara kembali terisak setelahnya. Ia menatap Agra penuh kecewa.

Sedetik, Agra tampak mematung. Sebelum akhirnya ia berdecih.

"Drama."

Kata terakhir yang lelaki itu ucapkan sebelum pergi dari sana. Meninggalkan Zara yang untuk kesekian kalinya ia buat luka.

***

Kepala Zara menoleh ke sana ke mari. Kini, ia sedang menanti angkot yang tak kunjung datang. Dia sendiri sedang duduk di halte depan sekolah. Sendirian.

Atensi Zara teralih pada sosok jangkung yang tiba-tiba mendudukkan diri di sebelahnya. Zayn Arielo.

Zara menghela napas, ia segera duduk menjauh dari Zayn. Mulai sekarang, Zayn ia blacklist dari orang yang ia sayangi.

"Kenapa ngejauh?"

Tubuh Zara menegang. Ia menatap Zayn dengan dahi mengerut bingung. Pasalnya, bukan suara dengan nada tajam atau tinggi yang ia terima. Melainkan suara penuh kelembutan.

"Oh, gue minta maap ya perihal yang tadi."

Zara tak salah orang kah? Ia mengucek matanya. Namun, sosok yang ia lihat tetap sama. Zayn Arielo.

"A-aku ...,"

Rasanya, Zara tak bisa berkata-kata. Ini Zayn membohonginya atau gimana?

"Apa?" tanya Zayn.

Zara menggelengkan kepala, dan lebih memilih untuk memalingkan muka. Ia tahu Zayn sedang membohonginya. Dan untuk yang pertama kalinya dan seterusnya, ia tak akan pernah percaya lagi pada seorang Zayn. Cukup tadi yang terakhir.

"Gue minta maaf, Zara. Gue bener-bener minta maaf."

Jantung Zara berdegup kencang tatkala salah satu tangan Zayn menggenggamnya. Namun, Zara buru-buru menepisnya. Ia tak mau lagi terlibat dengan Zayn. Ia takut dibohongi lagi.

"Nggak perlu, Kak."

Zara memilih untuk melangkah pergi dari sana. Untungnya Zayn tak mengejarnya. Drama apa lagi yang akan lelaki itu buat untuk membohonginya?

"Gue anter!"

Sial, Zayn tiba-tiba saja menarik tangannya. Zara menghela napas berat saat ia ditarik paksa untuk masuk ke dalam mobil Zayn yang ternyata memang sudah berada tak jauh dari sana. Jadi, tadi Zayn sengaja mendudukkan diri di sampingnya atau gimana?

Dan di sinilah Zara sekarang, duduk di kursi penumpang sebelah kursi kemudi yang diisi Zayn sendiri.

"Kakak mau apalagi, sih?" Zara kesal. Ia muak, saat ia berniat menjauh, kenapa Zayn malah bertingkah macam ini?

Ini aneh bagi Zara, Zayn tadi kasar. Memangnya seseorang bisa berubah secepat itu dalam sehari?

Zayn menghela napas berat, ia memegang keningnya yang terasa pening.

"Gue minta maaf, Zara. Gue minta maaf karena udah jahatin lo."

"Gu-gue baru sadar kalau lo ... terlalu berharga untuk digores luka."

Zara menatap mata Zayn. Tepat. Jantungnya berdebar, Zara merasakan ketulusan di dalam sana. Tapi ... ia sedikit ragu, apa Zayn benar-benar sudah berubah?

"Apa ... Kak Zayn beneran?" tanya Zara.

Zayn mengangguk, "Beneran, gue baru sadar kalau lo yang paling cantik."

Pipi Zara bersemu. Ia memalingkan muka, tanpa menyadari sebuah senyum miring terpatri di bibir Zayn.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C3
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login