Download App

Chapter 2: Gadis Kumal

Di laboratorium, para Akila berkumpul menunggu giliran memasuki ruang pemeriksaan. Ini adalah pemeriksaan kesehatan rutin yang dilakukan untuk ras Akila. Setiap sebulan sekali, kesehatan para Akila akan diperiksa oleh dokter-dokter ahli dari berbagai penjuru. Ras Akila adalah ras petarung yang keberadaannya sangat sedikit di dunia. Menurut penuturan kepala ras kami, Sang Penakluk, populasi ras Akila yang saat ini diketahui jumlahnya hanya sekitar sepuluh ribu orang, itu pun yang hanya berada di dalam sangkar. Sementara yang lain masih belum diketahui. Ras Akila dibagi menjadi tiga jenis, di antaranya: jenis pertama dan tertinggi ialah jenis petarung yang lebih cenderung menggunakan kekuatan fisik atau disebut Akila Combat, jenis kedua ialah Akila jenius yang cenderung menggunakan akalnya untuk menyusun strategi dengan sebutan Akila the Strategist, dan ketiga ialah Akila yang dapat sembuh dari lukanya dengan cepat disebut Akila Recuperation. Sampai saat ini, aku masih belum mengetahui jenisku, tetapi pemeriksaan kali ini akan menentukannya.

"Akila666 segera masuk ke ruang pemeriksaan!"

Aku berjalan ke ruang pemeriksaan. Di dalam ruangan bersih yang serba putih, terdapat banyak alat canggih kedokteran yang tentu saja tak kumengerti fungsinya, beserta para dokter dari seluruh penjuru dunia. Aku segera berbaring di atas ranjang yang telah disediakan. Kemudian, dokter menyuntikkan cairan berwarna biru di lenganku. Aku tahu cairan itu adalah obat bius yang berfungsi agar sang dokter bisa mengamati reaksiku. Itu semacam cairan kimia yang merangsang saraf-saraf di dalam tubuh kami. Jika reaksinya cocok sesuai penelitian yang telah mereka lakukan, tentu saja aku akan dimasukkan ke dalam daftar Akila yang sudah diketahui jenisnya.

"Tidak apa-apa. Ini akan menenangkanmu," ucap sang dokter.

Seketika itu juga, rasa kantuk mulai menyelimutiku hingga tak lama kemudian aku terlelap.

Tolong kami!

Jangan siksa kami!

Bebaskan kami!

Tolong!

Di sebuah ruangan gelap, tanpa sekelebat pun cahaya, aku mendengar berbagai jeritan dan permohonan. Aku dipenuhi rasa takut dan mencoba berlari sekuat tenaga. Meski tak melihat apa pun, aku tetap berlari. Namun, ruangan itu tiada ujung. Tak lama kemudian, aku berpindah ke tempat lain. Di dalam hutan tempatku tinggal, ada yang aneh. Para Akila yang telah lama mati di medan perang, berkumpul dan tampak murung. Aku mendekati mereka perlahan-lahan.

"He! Apa yang telah terjadi? Kenapa kalian …."

"Tolong, bebaskan kami. Kami tidak ingin membunuh lagi! Tolong kami!"

Aku terperangah dengan tatapan kosong. Mereka yang dulu selalu tersenyum setelah perang usai, kini tampak dibalut penyesalan. Aku masih ingat jelas bagaimana senyuman dan teriakan mereka saat perang diumumkan. Mereka bergembira dan tak sabar dapat membunuh para pemberontak.

Memang pernah terlintas di pikiran akan sampai kapan kami membunuh? Meski ras Akila identik dengan kekuatan fisik yang kuat, tetapi akan sampai kapan kami bisa mendapat kebebasan? Tidak dimungkiri setelah kepulanganku dari medan perang waktu itu, rasa bersalah terus-menerus menghantui. Ah, mungkin karena baru pertama kali aku merasakan perang sungguhan, pikirku. Setidaknya, aku hanya berusaha menenangkan diri sendiri dan berusaha lari dari ketakutan.

"Tolong, bebaskan kami!"

Mereka beranjak bangkit, kemudian berjalan ke arahku. Dengan wajah tak berdaya dan penuh harap, dengan sekelumit penyesalan, mereka terus mendekatiku.

"Tidak! Aku tidak bisa menolong kalian! Aku tidak bisa!"

Aku berlari dipenuhi rasa takut. Bayangan orang-orang yang telah kubunuh terlintas di pikiran seketika itu. Suara mereka memenuhi telingaku dan itu nyaris membuat gendang telingaku pecah. Kepalaku rasanya akan meledak sesaat lagi. Aku menutup kedua telingaku, menahan rasa sakit di kepala yang makin menyeruak.

"Tidak! Aku tidak bisa menyelamatkan kalian! Maafkan aku! Maafkan aku!" pekikku, sembari menutup kedua telinga, sampai akhirnya aku terbangun dari mimpi buruk itu.

"Tidak! Aku tidak bisa!"

Membuka mata, sang dokter menatap penuh tanda tanya. Dahinya mengerut. Sementara itu, napasku tersengal-sengal. Rasanya lebih melelahkan daripada perang yang sekian kali kami lakukan. Kutatap sang dokter. Ia tampak berpikir, seraya menyangga dagu dengan tangan.

"Membingungkan," gumam dokter itu, menatapku heran.

"K-kenapa, Dok?" tanyaku, mencoba memastikan.

"Saya belum pernah melihat jenis ini. Saya pikir saya sudah melakukan kesalahan, tetapi data-datanya tidak ada yang salah," jelas sang dokter.

"Jadi, saya ini tipe Akila apa, Dok?"

"Kau tidak termasuk ke dalam tiga jenis Akila."

"Kalau begitu, apakah saya bukan seorang Akila?"

"Darahmu murni keturunan Akila. Tetapi yang membuat saya bingung saat ini, jenis Akila-mu tidak jelas. Sejauh ini saya tidak pernah menemukan masalah yang membingungkan seperti ini," balasnya dengan dahi berkerut. "Begini saja, saya akan membuat riset dulu. Jika saya sudah menemukan masalahnya, tim gabungan akan menjemputmu dan membawamu lagi ke sini. Saya sudah mengambil sampel DNA-mu."

Aku segera bangkit dari ranjang.

"Untuk sementara ini, ikutlah berperang tanpa memikirkan jenismu," lanjut sang dokter.

***

"Akila8900! Cepat menuju barisan depan. Jenis Akila petarung ambil posisi di depan! Jenis Akila strategi, posisi di belakang Akila petarung. Dan terakhir, Akila penyembuhan menyebar menyesuaikan posisi di sebelah kanan dan kiri!"

Sang penakluk sibuk memberi perintah pada kami. Setiap jenis dari Akila sudah berada di posisi masing-masing. Sedangkan aku yang sama sekali tidak mengetahui jenisku, masih terdiam penuh tanda tanya. Masih terbayang mimpi buruk waktu itu. Jika benar seperti yang aku duga bahwa tidak ada satu Akila pun yang menginginkan perang, maka mungkin otak para Akila sudah dicuci sejak kecil.

Dengan biadabnya para petinggi itu meracuni otak kami, menciptakan budaya yang semestinya tidak menjadi budaya bagi kami. Mereka hanya mengira kami binatang, sebuah alat, atau hal-hal lainnya yang tidak berarti sama sekali. Kami memiliki nyawa, tentu saja. Apa yang membedakan kami dengan manusia kebanyakan? Aku sungguh belum mengetahui jawaban dari pertanyaan itu.

"Kau! Akila kode berapa?!" tanya Sang Penakluk padaku.

"Saya Akila666!" jawabku, tegas.

"Akila666? Itu artinya kau Akila yang belum diketahui jenisnya, benar?"

"Benar, Ketua!"

"Kalau begitu, kau ambil posisi mana pun yang kau inginkan. Cepat!"

Aku segera mengambil posisi terdepan, yaitu di barisan jenis Akila petarung.

Ini kali kedua aku ikut berperang. Lawan kami kali ini adalah para pemberontak yang tidak tunduk pada kekuasaan orang berwibawa. Mereka ingin menciptakan kesatuan mereka sendiri. Menurut beberapa laporan, mereka juga menolak negosiasi dari orang berwibawa. Tidak menutup kemungkinan ada Akila lain di dalam kelompok pemberontak. Menurut kabar yang kudengar, tidak semua Akila bisa menerima aturan orang berwibawa. Akila pemberontak lebih ingin menyelamatkan dunia dari kehancuran. Pola pikir Akila pemberontak juga bertolak belakang dengan Akila seperti kami yang lebih mirip seperti anjing yang tunduk pada tuannya.

Jika seperti itu kenyataannya, bukankah itu sungguh aneh? Biasanya Akila seperti kami tak punya keinginan untuk membantah. Kami senantiasa akan melakukan apa pun sesuai yang diperintahkan orang-orang dari Kota Plataia.

"Musuh datang!" pekik salah satu Akila petarung di barisan paling depan, memberitahukan bahwa musuh telah mulai bergerak.

Berbeda dengan kami yang dilengkapi senjata modern bernama Akila Own, para pemberontak tidak punya senjata canggih semacam itu. Mereka menggunakan senjata manual seperti senapan, pistol, tombak, pedang, dan senjata-senjata zaman dahulu lainnya.

Karena aku berada di barisan terdepan, maka aku memulai serangan dengan ledakan sebesar lima puluh persen agar pasukan musuh terpecah belah. Hiruk-pikuk suara senjata api dan pedang mulai menghiasi wilayah perang. Di tengah-tengah perang yang sedang berlangsung, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara.

"Tolong!"

Suara tersebut membuatku tak fokus pada lawan. Justru aku sibuk mencari-cari suara yang entah berasal dari mana.

"Tolong!"

Terdengar lagi suara itu. Aku bersembunyi di antara reruntuhan bangunan. Kedua mataku sibuk mencari-cari sumber suara. Seorang gadis. Di antara reruntuhan batu-bata yang menumpuk, seorang gadis tertindih, tak dapat keluar. Aku melihat matanya yang begitu indah, tetapi mengandung sebuah kesedihan. Aku tidak mengetahui perasaan apa yang langsung menghampiriku begitu saja. Dengan segera kusingkirkan tumpukan reruntuhan tersebut dan mengeluarkan si gadis. Dia tampak tidak berdaya, lalu terbaring lemah, tetapi sesekali menatapku penuh harapan. Seketika itu juga, entah apa yang kurasakan. Sesuatu di dalam dadaku berontak tak menentu. Semangat yang tadinya bergelora, kini sirna seketika.

"Siapa kau?!" tanyaku pada si gadis.

"A ... air. T-tolong ...." Suaranya serak, matanya sayu. Karena kebetulan aku selalu membawa sebotol air minum, aku memberikan si gadis meminumnya. Tentu saja, aku cukup ragu memberikan air minumku padanya. Bagaimana jika dia adalah musuh yang menyamar? Kemungkinan itu bisa saja terjadi, bukan? Sebab, saat ini aku sadar tengah berada dalam perang yang mempertaruhkan hidup dan mati.

Walau demikian, aku masih tidak bisa melawan dorongan yang timbul di dadaku. Maka dengan begitulah aku menyerah, lalu memberikan air minumku pada gadis itu dengan pasrah.

"Jadi, kenapa kau bisa ada di sini?! Atau jangan-jangan kau adalah musuh?!" ujarku, sembari waspada. Aku kemudian mengacungkan senjataku pada si gadis.

Gadis itu tak merespons, ia masih sibuk meneguk sebotol mineral yang kuberi padanya.

"T-terima kasih ...," ucap gadis kumal itu, kemudian mengulurkan tangannya, memberikan botol minumanku yang masih tersisa setengahnya.

"Cepat pergi dari sini kalau kau masih ingin hidup! Pergilah yang jauh! Jangan pernah kembali lagi!"

"A-aku ... tidak punya tempat tinggal," balasnya lirih.

Tanpa pikir panjang, aku meninggalkan gadis itu dan kembali ke posisi semula.

Sangat membingungkan. Ketika di hadapan musuh, aku tidak bisa fokus sama sekali dengan pertarungan. Aku hanya berpikir tentang gadis tadi. Hal itu terus mengganggu, akibatnya luka sayat memenuhi tubuhku. Berkali-kali sudah aku menjerit ketika musuh berhasil melukaiku. Anehnya, luka-luka yang aku dapatkan kembali menutup dan sembuh dengan sangat cepat. Mungkinkan aku adalah Akila jenis penyembuhan? Tidak. Aku tidak mengetahuinya secara pasti.

Ketika pandanganku tertumbuk pada sebuah tank yang tengah bersiap menembakkan amunisi, ternyata tank tersebut sedang membidik bangunan lusuh yang dipenuhi reruntuhan di mana gadis kumal itu berada. Secara refleks aku berlari sekencang mungkin menuju si gadis. Namun, langkahku tak sampai. Amunisi telah diluncurkan dan bangunan lusuh itu telah hancur lebur, rata dengan tanah. Aku tak tahu disebut apakah ini. Namun, hal tersebut justru makin menyulut kemarahanku. Aku membabi buta lagi. Bergerak secepat kilat. Meledakkan setiap musuh hingga bagian tubuh mereka terurai tanpa sisa.

Berapa lama lagi kami akan terus-menerus seperti ini?

Berperang tanpa tujuan yang jelas. Meski telah berkali-kali memenangkan pertarungan, tetapi kebebasan masih begitu jauh dari penglihatan.

Berapa lama lagi perang ini harus berlangsung?

Kami melihat teman-teman kami mati dan meninggalkan mayat mereka tanpa rasa bersalah. Andai saja yang dilahirkan dapat memilih di mana ia akan dilahirkan. Atau andai saja kami dapat memilih untuk tidak dilahirkan, aku pasti lebih memilih mati dalam kandungan.

Terasa sangat sakit, tetapi tak terluka. Pun tak berdarah, tetapi sakit.

Apakah jika aku mencongkel dan mengeluarkan sesuatu di dalam dada ini, aku akan menemukan jawabannya?

Jika yang dilahirkan bertujuan hanya untuk mati dengan sia-sia, maka siapa gerangan yang tega membuat dunia ini? Jika bumi diciptakan untuk dihancurkan, maka siapa gerangan yang tega membuat bumi ini? [1]

Perang lagi-lagi berakhir dengan kemenangan kami. Namun, tidak sedikit pun aku merasa gembira atau merasa bangga. Kami hanya membawa kemenangan bagi mereka yang dengan damai duduk di singgasana mewah. Mereka dengan nyenyak tidur di ruangan bersih yang luas. Mereka mendapat kedamaian, tetapi memberikan kami kebebasan dan kedamaian palsu. Mungkin sudah saatnya dunia ini sedikit diubah. Namun, siapa yang dapat mengubah dunia yang besar ini? Bahkan, sekelompok orang di luar sana berperang dengan kami tak pernah bisa menang. Apalagi jika hanya segelintir orang berusaha dan memiliki keinginan mengubahnya. Bukankah itu hanya semacam ilusi semata? Atau hanya kata-kata penyemangat belaka?

***

Catatan:

[1] = Monolog karakter Akila.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C2
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login