Download App

Chapter 2: Bayi Malang (2)

Bayi di kolong perahu menangis dengan suara yang memekikkan gendang telinga. Begitu keras dan parau melengking-lengking amat nyaring. Jeritnya berderit seolah menyobek udara yang kosong. Suaranya ribut menyapu angin pantai yang berhembus sejuk.

Soraya tak tahan dan menyumbat kedua telinganya. Sebab pendengaran dia sangatlah sensitif untuk bisa mendengar suara dari jarak jauh sekalipun. Mendengar tangisan bayi dari dekat, ini mengganggu kepekaan telinganya hingga masuk, menelusup, ke pikiran otaknya. Seperi sengatan listrik yang menjalar ke sarafnya dengan frekuensi yang mengganggu kerja sel otaknya.

Soraya menganga lebar dengan membuka mulutnya, menunjukkan taring ganasnya ke bayi. Dengan tatapan mata kejam yang seolah ingin menerkam buas. Dia mendekatkan wajahnya ke bayi yang terselip di perahu kecil. Sekejap bayinya berhenti menangis. Mata bulatnya dengan polos tanpa dosa. Menatap penasaran ke wajah Soraya yang terlihat mengerikan seakan tidak takut kepadanya.

Soraya lega dan melepaskan sumbatan telinganya, ketika bayi itu diam. Dia menghela nafas dengan raut muka datar. Sekejap tiba-tiba bayinya menangis lagi. Soraya refleks menutup telinganya seraya memutar kepalanya yang terasa bising tak tertahan. Tangisnya bayi kini pecah menepis suara ombak laut pantai. Lebih keras dari sebelumnya.

"Berhenti! Berhenti! Diam! Hentikan jeritanmu!" Kata Soraya mengarahkan pandangannya menyorot geram ke bayi itu.

Tapi suara bayi itu tetap meronta-meronta tak kunjung reda. Melainkan bertambah melekik bagai gema petir yang jatuh dari langit. Soraya menutup setengah matanya dengan jengkel memuncak.

"Ah! Aku tak tahan lagi." Soraya melepaskan salah satu tangannya. Lalu mencengkram bayi itu dan mengambilnya dari perahu kecil. Mengangkatnya setinggi kepalanya.

"Diammmmmmm!" Teriak Soraya penuh emosi meluap. "Kalau tidak diam! Aku akan memakanmu bayi manusia!"

Bayi itu seketika diam mengerutkan keningnya dan menatap raut wajah Soraya yang terlihat aneh menurutnya. Bayi itu berubah sedikit tersenyum lebar dengan menunjukkan dua giginya yang putih. Wajahnya begitu tampak lucu dan polos. Membuat Soraya terpana.

Sekejap, mata Soraya hening. Terbius oleh keimutannya. Dia menggelengkan kepala untuk menyadarkan lamunan pikirannya. Dia sadar bahwa dia tidak boleh terlalu lama berkontak hubungan dengan manusia ataupun bayi anak manusia sekalipun. Mungkin ini adalah kesempatan langka baginya bisa melihat bayi anak manusia.

Dan sedikit rasa penasaran, dia ingin melihat senyuman dari wajah bayi yang mungil. Soraya berpikir, bahwa bayi ini mungkin bereaksi dengan raut wajah, saat hendak menangis atau tidak. Lalu dia memasang wajah garang yang di buat-buat. Seketika senyuman bayi itu berubah menyungging lebar. Lepas dari beban. Hati Soraya, dalam diam yang sepersekian detik terasa melihat ada tawanya sendirinya dalam sebuah senyuman bayi itu.

"Sorayaaaaa!" Teriak Sonia.

Soraya terkaget. Tiba-tiba sonia terbang dengan cepat menuju ke arah Soraya, dia keluar dari balik pohon. Dalam perjalanan, dia mendengar suara Soraya yang keras ingin memakan sesuatu. Dan kini, dia melihat mulut Soraya yang terbuka lebar seolah ingin melahap makhluk yang ada di depan kepalanya.

"Bodoh! Dasar bodoh! Apa yang ingin kamu lakukan?" Katanya dengan cepat-cepat merasa cemas. "Apa yang ingin kau makan tadi?"

Sonia melihat genggaman tangan Soraya. Dia tercengang. Pupil matanya melebar.

"Hiiiia. I—itu, b—bayi manusia sungguhan?" Tanya Sonia yang langsung menyeruduk wajah Soraya.

"Bagaimana bisa kau menemukan makhluk yang membawa bencana disini?! Ini malapetaka. Harusnya kau tidak pergi ke daerah tepi pantai! Ini wilayah terlarang. Cepat buang jauh-jauh makhluk itu dari sini. Sebelum ada yang mengetahuinya. Tapi jangan makan makhluk itu! Itu larang, bodoh!"

"Siapa yang mau memakannya? Aku hanya menakutinya saja, sepertinya dia sudah diam." Kata Soraya santai yang melihat bayi itu telah diam, dengan mata bulat dan bibir mungilnya yang mengembang menggemaskan. "Tadi suaranya sungguh berisik...Aku hanya berusaha untuk membuatnya diam."

Soraya meletakkan bayi itu ke bawah. Melepaskan balutan kain yang membungkus bayinya. Sebuah secarik kertas jatuh. Soraya melihat kertas itu dengan dekat. Dia tidak paham dengan tulisan di kertas itu. Lalu membuangnya dengan ringan.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Soraya. Bagaimana bisa dia sampai kesini? Tidak mungkin kau menculiknya dari dunia manusia dengan sekejap kan?"

"Menculik?" Ulang kata Soraya. "Mana berani aku menculik manusia dari dunia manusia. Aku tahu hukum yang berlaku. Aku tak akan berani melanggar batas perjanjian dalam Batu Mustika Bumi. Kalau bukan manusia yang memulainya, aku pun juga tak akan melanggarnya. Aku hanya menemukan bayi anak manusia ini dalam perahu kecil. Ini tidak melanggar aturan apapun, melainkan kebetulan. Lagi pula aku terseret oleh Monster Badac tanpa di sengaja hingga tanpa ku sadari ternyata, aku telah sampai di pantai..."

Soraya menghela nafa lega. Dia khawatir kalau Soraya akan benar-benar ingin memakan bayi anak manusia itu. Atau menculik bayi anak manusia. Sebab, itu adalah hal yang tabu. Selain itu, mengganggu dunia manusia juga adalah salah satu larangan dalam aturan Hukum Alam mengenai dimensi dunia yang berbeda. Aturan itu telah dicatat dalam Batu Mustika Bumi dan disepakati menjadi perjanjian Hukum Alam.

"Baguslah kalau kau paham aturan hukum itu." Kata Sonia. "Itu adalah aturan yang tak boleh dilanggar dalam Hukum Alam. Jika ada yang melanggarnya, kau akan menjadi makhluk terkutuk. Makhluk yang tidak lagi mempunyai kesadaran, tubuhmu akan berubah menjadi Daemon. Makhluk pembunuh yang haus darah yang tidak bisa mengendalikan tubuhnya. Makanya, ada aturan 'dilarang memakan tubuh manusia' itu karena, mereka adalah makhluk langit yang terkutuk. Tubuhnya menyimpan kekuatan langit sekaligus kutukan dari langit. Jangan sekali-kali kau mencoba untuk memakannya apalagi berandai-andai..."

Soraya menepis Sonia yang terbang seliweran terlalu dekat dengan wajahnya.

"Aku tahu. Aku tahu. Tapi apa yang harus kita lakukan dengan bayi anak manusia ini?" Tanya Soraya berjongkok menatap bayi itu yang berjalan merangkak mendekati kakinya.

Soraya mengangkat kain selangkangan bayi itu dengan kuku satu jarinya. Lalu menjauhkan dari dirinya. Bayi itu kembali merangkang lagi ke arahnya. Dan Soraya terus mengulanginya dengan seolah bermain maju mundur bersama bayi yang merangkak.

"Tentu kita harus membuangnya kembali ke laut bersama perahu yang dia gunakan. Agar dia bisa kembali ke dunia asalnya. Dunia dia dan dunia kita itu berbeda. Ini bukanlah tempat untuk dia bisa hidup dengan tenang dan damai. Semakin dia lama berada disini, ini akan menimbulkan banyak masalah nantinya." Jelas Sonia menyilangkan kedua tangannya di dada. Tapi Soraya sibuk mengurusi bayi yang terus berjalan merangkak ke arahnya.

"Berhenti! Jangan bermain-main terus dengannya." Tegur Sonia. "Dengarkan aku Soraya!"

"Siapa yang bermain?" Soraya mengangkat dan meletakkan lagi bayi itu ke arah lain. Lalu bayi itu menjulurkan tangannya ingin memegang kuku tajam Soraya. Tapi cepat di elaknya. Dan ganti bayi itu merangkak ke arah kakinya.

"Lihat, dia terus mendekati ku. Meski ku singkirkan untuk menjauh. Dia tetap menuju ke arahku..." Soraya mengangkat kedua bahunya. Menggeleng kepala.

"Aah..." Sonia mengerutkan kening dengan telunjuk jarinya menempel dahi. Dia merasa bingung harus menimpali perkataannya. Lalu duduk ke bahu Soraya yang kekar.

"Kalau kita membuangnya dengan perahu kecil untuk kembali ke lautan. Bukankah itu berarti, aku sama saja yang membunuhnya. Ini bisa saja melanggar Hukum Aturan Alam." Kata Soraya lirih yang matanya menatap ke tengah lautan dengan sangat jauh.

"Ibu Bumi Pertiwi mungkin akan menghukum ku sebagai salah satu tersangka yang menjerumuskan bayi ke dalam bahaya. Sebab, di lautan sana tentu banyak monster-monster yang mengerikan, yang bersembunyi di bawah laut. Walau aku tidak membunuhnya secara langsung. Tapi secara tidak sengaja, tidak terencana, hukum sebab-akibat, aku telah terlibat dalam proses kematiannya. Dan Ibu Langit Pertiwi tentu tahu mana yang benar dan mana yang salah dalam proses Karma kematian,"

"Bagaimana kita harus mangatasi masalah ini? Mengantarkannya kembali ke laut kurasa itu bukanlah solusi. Karena itu belum tentu bisa membuat dia selamat sampai tujuan. Atau melepaskan jeratku dalam proses Hukuman Karma, jika memang nanti dia mati di tengah laut. Apakah kita perlu mengadakan rapat sidang di Desa Sonia?" Tanya Soraya memutar kepalanya ke arah temannya, makhluk yang kecil. Dia merasa agak bingung akan situasinya saat ini.

"Tunggu, tunggu, tunggu. Jangan menyoalkan masalah ini untuk di bahas ke Desa. Ini bisa berbuntut bertambah panjang. Dan, kau, Soraya, bisa menjadi kambing hitam yang memantik malapetaka di Pulau ini..." Buru-buru Sonia langsung menjawab dan melayang ke dekat matanya Soraya. "Apa kau ingat, kejadian 300 tahun yang lalu?"

"Ya, aku ingat dengan jelas. Itu adalah saat aku masih remaja. Kejadian yang tidak pernah bisa ku lupakan untuk seumur hidupku. Dan itu adalah tragedi yang sangat mengerikan." Jawab Soraya berganti menatap ke atas awan langit yang luas. Seolah dia ingin mencari keadilan yang sebenarnya dalam keputusan yang bimbang ini. 300 tahun yang lalu adalah bekas luka hati yang tak pernah bisa dia hapuskannya.

"Betul. Semua itu cuma karena kehadiran satu anak manusia yang hadir di tengah-tengah kehidupan kita. Itu pun juga terjadi karena kebetulan." Terang Sonia menatap wajah garang Soraya yang tenang. "Dan tragedi itu adalah pelajaran untuk bagi kaum semua bangsa Siluman. Dan ini, situasi ini mungkin hampir sama."


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login