Rara menghentikan tangisnya. Ia mengangguk bahagia mendengar kesempatan yang diberikan oleh Kanjeng Ratu. Dengan suara serak, ia berkata, " Terima kasih, Kanjeng Ratu."
"Rasa terima kasih itu bukan ditujukan kepadaku, tetapi kepada Gusti Allah, yang Maha Pengasih lagi Penyayang," sahut Kanjeng Ratu, berbalik.
Rara kembali tidak sadarkan diri. Ia merasa raganya melayang. Rohnya melihat kilasan-kilasan manusia di dunia. Ia melihat Wiraguna. Ia juga melihat kerajaan Mataram tunduk pada kekuasaan baru.
Tidak ada lagi kerajaan Mataram. Tidak ada lagi desa di mana ia menjual tembakau. Tidak ada lagi ibukota kerajaan. Semuanya berbeda. Semakin banyak manusia. Pemukiman semakin penuh. Jalanan setapak berubah menjadi jalanan beraspal. Bagunan berubah menjadi gedung tinggi. Banyak kendaraan aneh berlalu lalang. Semua itu, Rara melihat melalui mata rohnya.
Sekejap mata, Rara tersadar. Ia berada di pantai. Beberapa orang mengelilinginya. Berbicara satu sama lain yang tidak ia pahami.
"Kamu baik-baik saja," ucap seorang pria bertelanjang dada.
Pria itu merupakan penjaga pantai Parangtritis. Ia melihat tubuh di tengah laut dan segera menyelamatkannya. Setelah memberikan napas buatan, akhirnya Rara tersadar.
Banyak yang memandang aneh kepadanya karena pakaian yang dikenakannya berbeda dari orang kebanyakan. Pria tadi memakaikan kaus miliknya kepada Rara.
"Maaf permisi, saya akan membawamu ke rumah sakit terdekat," ucap pria tadi, meminta izin untuk menggendong Rara.
Karena Rara diam saja, pria tersebut terpaksa menggendong paksa. Rara hanya bisa pasrah, ia masih begitu lemah. Luka di perutnya tidak terasa menyakitkan lagi.
"Ah, di mana kerisnya?" gumam Rara, terdengar oleh pria penjaga pantai.
"Keris apa?" tanyanya, kebingungan.
Dengan suara lemah, Rara berkata, "Aku menusukkan sebuah keris ke perutku."
Pria itu terkejut. Ia menganggap wanita yang digendongnya berhalusinasi akibat terlalu banyak menelan air laut. Dengan sigap, ia membawa Rara ke mobil. Mobil besar dengan roda yang besar. Namun, hanya muat untuk dua orang saja.
Rara didudukan pada kursi penumpang. Pria tersebut berjalan ke sisi mobil. Ia membuka pintu dan duduk di belakang kemudi.
Mobil itu melaju menuju kota Jogja. Membawa Rara ke rumah sakit terdekat. Ia menyadari ada yang aneh dengan sekitarnya, tetapi terlalu lemah untuk bereaksi.
Pria berotot itu kembali membopong Rara dan membawanya masuk ke IGD. Ia mendapatkan perawatan segera. Setelah membayar tagihan, pria itu berpesan kepada petugas di rumah sakit untuk menghubungi keluarga pasien. Pria itu segera pergi karena ada keperluan lain.
Rara tersadar keesokan harinya. Tubuhnya telah membaik. Seorang pewarat membenahi ranjangnya dan mengatakan bahwa ia sudah boleh pulang. Namun, Rara kebingungan, ia tidak tahu mau pulang ke mana.
Rara keluar dari rumah sakit. Ia berjalan dengan langkah linglung. Kehidupan kota Jogja yang ramai membuatnya bingung.
Rara terus berjalan hingga kelelahan. Tidak memiliki tujuan. Hanya dapat berjalan tidak tentu arah.
Rara nyaris tertabrak mobil yang melintas karena ia terus berjalan. Tidak memahami tentang lampu lalu lintas. Beruntung seseorang menariknya ke pinggir jalan.
"Hei! Bunuh diri ojo nang dalan!" Penyelamat itu langsung pergi setelah memakinya.
Rara menunduk sedih. Orang-orang di sekitar melihat ke arahnya. Mereka masing-masing membawa kamera ponsel dan merekamnya.
Salah seorang menghampirinya dan bertanya iseng, "Mbake, lagi shooting felem?"
Rara mengernyit tidak memahami pertanyaan gadis itu. Ia bertanya dengan wajah bingung, "Maksud dikau apa?"
"Owalah, wong gemblung."
"Isssh, kasian tau."
"Sayang, yo. Ayu-ayu wuedan."
Bisik-bisik orang di sekitarnya membuat Rara kebingungan. Kepalanya kembali berdenging kesakitan. Keramaian membuatnya merasa tidak aman dan terancam.
Rara mencangking kain jarik yang dikenakannya dan berlari menghindari kerumunan orang. Orang-orang di sekitarnya masih memegang posel di tangan. Mereka merekam semua yang dilihat.
Rara berlari sembari berurai air mata. Ia kebingungan harus melangkah ke mana. Orang di sekitarnya seakan tidak peduli.
Rara baru menyadari pakaian yang dikenakannya amat berbeda dengan sekitarnya. Sembari terus melangkah, ia melihat-lihat sekitar. Ia masuk dan keluar gang.
Tiba di wilayah pemukiman padat. Ada rumah-rumah penduduk yang ramai. Orang-orang melihatnya lewat. Namun, tidak ada yang peduli.
Rara tiba di sebuah rumah. Rumah tersebut berada di sudut kampung. Ada jemuran di halamannya.
Dengan hati-hati, Rara masuk dan mengambil pakaian yang menggantung. Ia berlari ke belakang rumah, lalu mengganti kain jarik dengan rok kain panjang berwarna hitam. Tanpa melepas kemben, Rara membuka selendang yang tersampir menutup pundaknya. Ia memakai kaus berlengan panjang berwarna hijau.
Rara bergegas menaruh kain di semak-semak rumah tersebut. Ia berjalan mengendap-endap keluar dari sana. Ia kembali berjalan, berniat mencari suaka dari penguasa negeri yang saat itu berkuasa.
Rara melihat seorang pria berseragam. Ia mengira bahwa pria tersebut seorang penggawa. Dengan membawa sedikit harapan, ia mendekati pria tersebut.
"Pangapunten, Kangmas. Apakah dikau bisa mengantar hamba ke kediaman ratu?"
Pria itu berbalik karena mendengar sapaan yang lembut nan merdu. Bahasanya halus, sehalus wajah yang mengucapkannya. Ia terpaku sejenak, menatap seraut wajah bermata bulat yang indah, hidung kecil dan panjang, bibir berwarna peach yang ranum.
"Kangmas, bekerja untuk keraton, kan?"
"Ah, bukan, Mbak. Saya polisi lalu lintas. Mbaknya dari mana, ya?"
"Apa itu polisi lalu lintas?"
"Itu, lho ... yang membantu mengatur lalu lintas di jalan raya. Nah, itu tugas saya. Mbaknya, mau ke mana?"
"Ke Keraton."
"Oh, tersesat sama rombongan, ya. Keraton agak jauh dari sini. Mbaknya naik becak saja. Bagaimana?"
"Becak?" Rara mengernyit, kebingungan. "Tidak adakah pedati? Atau kereta kencana?"
"Ah, Mbak mau naik dokar?"
"Dokar?"
"Kereta kuda, Mbak. Atau, mau naik angkot?"
"Angkot?"
Pria itu menggaruk kepala yang tertutup topi. Ia kehabisan akal untuk menjelaskan arah kepada Rara. Akhirnya, ia menanyakan nama gadis itu.
"Mbak namanya siapa?"
"Rara Mendut."
Pria itu menatap mata Rara. Tidak ada kebohongan di matanya. Ia kembali menggaruk belakang telinganya walau tidak gatal. Zaman modern masih ada orang tua yang menamai anaknya dengan nama kuno.
"Mbak Rara, saya masih kerja. Mbak Rara tunggu di pos saja biar tidak kepanasan, ya. Nanti saya bantu antar ke Keraton. Gimana?"
Rara mengangguk. Ia agak kurang paham dengan ucapan pria itu. Namun, ia mengetahui bahwa pria tersebut bermaksud baik.
"Saya Jaya. Nanti kalau ada yang tanya, bilang aja kalau Mbak Rara datang sama saya, ya."
Rara kembali mengangguk paham. Ia bergegas menuju pos polisi. Dengan hati-hati melihat sekeliling, ia memang agak lelah setelah berjalan sepagian.
Saat itu, matahari telah ada di atas kepala Rara. Ia merasa amat kehausan. Di meja ada sebotol besar air mineral. Tanpa sungkan, ia segera menenggak air tersebut.
Jaya menghampiri Rara yang telah menghabiskan air mineral miliknya. Wajah ramahnya memperlihatkan senyuman. Ia tidak marah, walaupun begitu haus dan lelah.
"Rupanya Mbak haus banget, yah?"
Rara kembali mengangguk. Senyum simpul terbit dari bibir merah mudanya. Kemudian menunduk karena merasa jengah diperhatikan oleh Jaya tanpa berkedip.
Jaya mengalihkan pandangannya. Ia berkata, "Saya mau makan siang dulu. Mbak Rara mau ikut atau tunggu di sini?"
To be continue
— New chapter is coming soon — Write a review