Download App

Chapter 8: Terbayang

"Jingga ...." Andra tahan tubuh kecil itu, Jingga yang tak mau membalas tatapan matanya karena pipi bulat itu kembali basah.

"Aku mau pulang," ucap Jingga, ia memberontak kecil sampai Andra melepaskannya dan membiarkan Jingga berlalu dari unitnya begitu saja, tak banyak kata yang bisa ia katakan sebagai seorang lelaki di sini.

Andra ingat akan perjanjian yang telah mereka buat, Jingga tidak akan melarangnya bersama banyak wanita ataupun masih terjun ke dunia malam, tapi hari ini gadis kecil itu melihat dan mendengarkan erangannya bersama seorang wanita.

Dia seolah menjadi pria gila yang tak tahu aturan sama sekali, bahkan untuk menjaga hati saja dia tidak bisa, hancur sudah Andra hari ini di depan sosok kecil yang sebentar lagi menjadi pasangan hidupnya itu.

Dia hanya berniat menggertak Jingga kala itu, tidak menunjukkan secara nyata seperti ini, entah apa yang Jingga fikirkan nantinya, Andra sudah siap bila konsekuensi besar akan ia terima dari keluarga Jingga, termasuk urusan keluarganya yang terpuruk dan baru saja Jingga bangkitkan itu.

Ponsel yang berdering membuat Andra tersadar dari lamunan penuh sesalnya, tidak lain dari sang ibu yang ternyata merasakan hal yang tidak beres terjadi pada sosok Jingga.

"Jingga nggak ketemu aku, kenapa, Bu?"

"Ahahahah, nggak apa, kali aja dia main sama kamu hari ini atau besok, ini Ibu buatkan kue bolu kesukaannya dia. Pengen Ibu kasihkan, Ndra," ujar sang ibu.

"Iya, nanti aku ambil kalau ke sana besok, aku anter ke Jingga."

Hanya itu satu cara agar dirinya bisa bertemu dan menebus rasa bersama pada diri Jingga, memang di hatinya belum ada cinta untuk gadis itu karena tertutup penuh dengan posisi Amel, tapi bermain ranjang di depan orang juga bukan hal yang bisa ia benarkan.

Andra kutuk dirinya atas kebodohan yang dilakukan tanpa sadar itu, banyak botol minuman yang Jingga bereskan rupanya, hal yang semakin menambah rasa bersalahnya pada Jingga.

Tapi, kenapa foto Amel di kamarnya tidak ada? Tidak mungkin kalau wanita sewaannya yang membuang atau menyingkirkan itu semua.

"Di buang Jingga apa ya?" gumam Andra, ia cari sampai ke tong sampah yang ada di kamar mandi.

Di sudut dapur ia temukan satu kresek hitam berisi beberapa bingkai foto dan kenang-kenangan dari Amel, belum sempat Jingga buang karena lebih dulu Vera datang untuk memuaskan hasrat Andra yang kini bisa Andra rasakan tubuhnya terasa letih dan ringan.

Berulang kali ia hubungi ponsel Jingga, tapi tak kunjung ada jawaban, perjalanan dari unitnya ke rumah Jingga jelas jauh, pasti gadis itu pulang dan menginap di rumah keluarga besarnya untuk saat ini atau kalau tidak di salah satu unit milik keluarganya.

***

Prak, prak, prak ...

Jingga pukul dan geprek jahe utuh besar yang entah kenapa bisa ia beli disepanjang perjalanan pulang hari ini, ia ingin membuat minuman asli yang panas untuk melegakan seluruh beban sesak di dalam dirinya, bukan hanya di tenggorokan saja, kalau bisa ia buat banyak agar mengalir deras dari kepala sampai celah jemari kaki.

Ia masih terbayang akan apa yang Andra lakukan, hal yang nantinya sempat ia impikan dan diinginkan oleh pasangan yang baru menikah, tapi bukan untuknya karena Andra jelas melakukan hal itu bersama wanita lain.

Bruk,

Jingga tak pernah merasa selemah ini, dia berusaha untuk melupakan, tapi mata dan telinganya tak pernah mau, ia terus mengingat sampai jarum jam membawanya menemui pagi dengan kegelapan yang tak terbendung.

"Halo," sapa Jingga dengan suara serak.

"Lo di mana?" Suara Andra rupanya, ia sudah memastikan sejak semalam, nyatanya Jingga tak memberi kabar pada keluarga yang lain.

"Ahaha, Jingga di unit, kenapa? Mau main lagi?" balas Jingga, ia berusaha untuk bangun dan berpindah memastikan langit sudah terang kembali, tampilannya masih acak-acakan.

"Gue jemput ke sana," putus Andra.

"Nggak perlu, aku mau di sini sendiri!" Jingga menolak.

"Kalau lo kenapa-kenapa gimana? Di sana itu unit kosong kan, lo nempatin unit yang nggak ada apa-apanya, lo nggak bisa makan, gue ke sana!"

Bodoh amat, Jingga jatuhkan ponselnya, ia tidak peduli karena memang Andra hafal dengan semua unit yang masuk dalam daftar keluarga besarnya, Andra menjadi salah satu bagian dari tim yang kerap melakukan perjalanan dinas dan tinggal tidak menetap.

Jingga belum mengganti bajunya, ia hanya sekedar mencuci muka dan merapikan rambutnya yang terburai acak itu, tangannya pun bercampur bau jahe dan kunyit yang ia beli semalam, hanya sekedar menyiapkan tanpa ia masak.

Hanya air putih yang ia tegak sejak semalam sampai pagi ini, tubuhnya menghangat karena demam, kalau dia masih bisa menangis, ingin ia sudahi saja dan menyatakan tak sanggup bila harus bersam Andra.

"Tapi, aku udah janji sama bu Wirda," gumam Jingga menguatkan hatinya, wajah wanita satu-satunya untuk Andra itu Jingga fikirkan dalam-dalam.

Klek, tit ....

Tak lama dari itu, Andra berhasil masuk ke unit yang sempat ia ragukan kalau Jingga akan ke tempat sepi dan tidak terdapat isian apapun di dalamnya, mungkin hanya untuk sekedar tidur saja.

Gadis itu menatap kosong jendela besar di sudut unitnya, Andra dekati dengan langkah pelan dan ia tepuk bahu kiri itu lembut.

"Gue bawa kue bolu dari nyokap, lo makan sekarang bareng gue," ujarnya mengajak.

Jingga bergeleng, "Aku nggak laper."

"Gimana nggak laper, di sini nggak ada bahan makanan, lo juga nggak makan kan dari semalem, ayo makan aja!"

"Aku nggak laper, Kak, udah sana tinggalin aku sendirian!" Jingga tepis tangan Andra, ia tahan kuat air mata pedih yang beranjak menggenang lagi itu.

Andra raup wajahnya kasar, "Lo makan, gue suapin. Kita harus ke rumah besar buat bahas tanggal nikah ki-"

"Aku nggak peduli, aku nggak laper!"

"Terus mau lo apa, hah?" balas Andra menahan suara kerasnya.

Jingga tutup wajahnya, ia kembali terisak di sana, kembali terbayang akan apa yang ia lihat dan dengar di unit Andra.

Jujur, dia bisa mengejar Andra dan membuat pria itu jatuh cinta padanya, tapi ia tidak kuat melihat Andra benar-benar menerkam wanita di depannya, untuk itu sejak awal Jingga katakan agar tidak ketahuan karena siapa yang akan tahan.

"Gue harus gimana ini?" kesah Andra pelan.

Jingga hapus air matanya, ia lantas bergerak membersihkan wajah dan membubuhkan make up di sana. Kalau dengan acuh dan air mata tidak membuat Andra luluh, Jingga akan memakai cara lainnya.

Kalau Andra keras kepala, dia jauh lebih keras kepala, itu yang Jingga putuskan.

"Ayo, ke rumah besar!" ajak Jingga, tidak ada wajah mendung di sana.

Andra menganga, "Lo yakin?"

"Iya, kalau bisa biar kita nikah bulan ini!" jawab Jingga menantang.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C8
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login