Download App
6.12% MELANTHA

Chapter 3: PERTAMA DAN TERAKHIR

Entah sudah ke berapa ia bersembunyi di dalam lemari pakaian sembari menggigit kedua bibirnya kuat agar tak ada isak yang terdengar. Kesekian kalinya seperti sudah makanan sehari-hari, Greysia menyaksikan kembali pertengkaran antara kedua orang tuanya.

Hanya perkara kecil yang berujung cekcok besar dan kekerasan. Dari celah pintu lemari, ia mengintip dari dalam sana. Mata kecilnya tak lepas dari adegan di luar. Tangannya menggenggam erat pakaian yang ada di dalam lemari bersamanya sekarang.

Mamanya terus menangis saat ayahnya terus memukuli wanita tersebut. Terkadang ia bingung kenapa keluarganya seperti ini, terus seperti ini. Rasanya sesak tak tertahan hendak meledak namun tak pernah berhasil. Ada kalanya ia iri dan ingin merebut kebahagiaan teman-temannya yang dapat merasakan kehangatan keluarga.

Saat ingin keluar dari persembunyian dan menolong mamanya, apa yang selalu di ucapkan mamanya melintas di otaknya seakan menjadi peringatan untuknya agar tidak melakukan tindakan bodoh.

"Ingat apa yang selalu mama katakan"

"Tetap di dalam apapun yang terjadi" jawab Greysia.

"Dan?"

"Jangan keluar sebelum mama membukakan pintu lemari" balasnya lagi.

"Pinter anak mama"

Greysia menggeleng, "Tidak, jangan keluar. Jangan ingkar janji nanti mama sedih. Tetap di dalam menunggu, tenang, lupakan, jangan di lihat" ucap Greysia kepada dirinya sendiri.

Pada akhirnya, ia hanya bisa berdiam diri di dalam lemari yang gelap dan sepi. Menetap di sana setiap pertengkaran yang terjadi antara orang tuanya. Setiap hari tiap malam tiba, bahkan dirinya sendiri lupa bagaimana rasanya menghirup udara segar tanpa memikirkan apa-apa.

Hingga suatu momen, orang tuanya memutuskan untuk berpisah. Benar-benar berpisah tak lagi sebagai suami istri entah agama ataupun hukum. Ia kira, dirinya telah bebas dari sang ayah yang selalu main tangan dalam hal apapun. Ternyata semua itu salah, ia tak pernah bebas dari apa-apa. Hidupnya telah di atur sedemikian rupa oleh sang pencipta.

Sepeninggalan Ayah, Ibu tak semanis dulu. Beliau tak pernah bicara apa-apa kepada putrinya semenjak kembali dari persidangan. Jangankan berbicara, untuk menengok saja sepertinya tak ada niat sedikitpun keluar dari benak wanita tersebut sehingga Greysia sendiri hanya bisa diam dan menunggu sampai ibunya sudi memanggil lagi putrinya ini.

Saat semua orang kasihan padanya karena usianya yang masih kecil tetapi orang tuanya sudah bercerai, saat itu Greysia pikir tak apa karena ia masih memiliki ibu yang akan menjaganya. Namun, semua harapan yang ia pikirkan tak sesuai dengan kenyataan yang ada. Hak asuhnya masih di ambang-ambang. Baik ayah maupun ibu, tak ada yang mau mengambil keputusan itu.

Sampai-sampai ia berpikir seburuk itukah dirinya hingga orang tuanya sendiri tak mau mengasuh anak mereka?

Perasaan kecewa yang baru pertama kali ia rasakan di umur yang masih muda itu muncul ke permukaan. Rasa sakit seperti orang buangan yang telah melakukan kesalahan yang luar biasa. Entah apa salahnya ia bahkan tidak tahu akan hal tersebut. Jika saja ia ditanya hal apa yang membuatnya kecewa, maka jawabannya adalah :

IA KECEWA TELAH DI LAHIRKAN DI DUNIA INI

Greysia berdiri di depan pintu kamar mamanya sejak enam menit yang lalu. Tangannya terjulur, membuka kenop pintu hingga terbuka sedikit celah guna melihat kedalam. Sudah seperti tak ada kehidupan, mamanya masih tetap di posisinya. Meringkuk di atas kasur dengan penampilan yang terlihat lusuh.

Bibirnya terkatup lagi saat hendak mengucapkan sepatah kata namun ia urungkan. Ia sudah bisa menebak jika usahanya akan sia-sia, wanita tersebut tak akan pernah merespon sedikit pun. Akhrinya Greysia menutup pintu itu kembali dan pergi dari rumah tersebut.

Hanya ada satu tempat yang menjadi tempat pelarian kala ia sedang sedih. Di sebuah pinggiran hutan yang jarang orang melewati jalan itu karena memang jalan buntu. Kakinya yang terbalut sepatu sesekali menendangi batu kerikil kecil di jalan saat menuju lokasi.

Di depannya kini berjarak 3 meter, terdapat sebuah pohon besar dengan daun yang amat rimbun. Pohon yang selalu menjadi tempat favoritnya setiap pulang sekolah dimana tak ada seorang pun yang mendekati tempat itu. Greysia melangkah mendekat, semakin dekat semakin pula ia mendengar isak tangis seorang anak kecil.

Gadis kecil itu memelankan langkahnya, mengintip dari balik batang pohon yang besar. Seorang anak kecil terduduk di tanah bersandar pada pohon dengan lutut yang terluka. Dia mulai keluar dari persembunyiannya, menatap anak laki-laki tersebut dengan tatapan yang tak dapat di artikan.

Saat anak itu mendongak, pipi gembul nan putih di temani hidung dan mata yang memerah. Bahkan jejak air mata membekas di pipinya. Wajah yang asing bagi Greysia, dia tidak pernah tahu siapa anak laki-laki di hadapannya kini.

"Minggir. Itu tempatku" katanya dingin.

Bukannya menurut, anak tadi kian kencang menangisnya membuat Greysia sendiri kaget dan ingin menendangnya kuat-kuat namun tidak jadi karena anak itu terlihat takut menutupi wajahnya.

Greysia berlutut, mengeluarkan benda-benda dari dalam tasnya seperti air mineral dan kotak P3K kecil berwarna putih. Dia mulai membuka tutup botol hendaknya ia siramkan ke luka yang nampak kotor oleh tanah, saat botol itu telah miring, tangannya di cegah oleh anak tadi dan menggeleng.

"Jangan, perih nanti" pintanya.

Greysia menghela napas kasar kemudian meletakkan kembali botolnya keatas tanah. Disodorkan lengannya yang terbalut sweater biru langit yang ia kenakan dan ke depan muka anak tadi.

"Gigit" perintahnya.

Dia menolak, "Biar apa?" tanyanya.

"Biar gak sakit waktu lukanya kesiram" ucap Greysia.

"Tapi nanti tangan kamu yang sakit"

"Satu... Dua.. Ti—" lengannya digigit oleh anak itu dan Greysia mulai menyiram luka tadi dengan air bersih.

Gigitan kian kuat saat air mengaliri luka yang ada di lututnya. Greysia juga ikut menahan sakit entah untuk apa ia melakukan hal seperti ini rela mengorbankan tangannya demi anak kecil yang tak ia kenal. Namun mau apa lagi, tak ada pilihan selain itu, Grey melepas lengannya saat ia telah selesai.

Dia mulai membuka salep dan mengoleskan secara perlahan juga merata setelah itu ia tutup luka menggunakan perban yang ada dalam kotak P3K tadi. Greysia membereskan perkakasnya kembali kedalam tas.

"Pergi, jangan pernah kesini lagi" usirnya.

"Tapi—"

"Gak ada penolakan. Minggir!!"

Sudah seperti membentak. Namun memang membentak anak itu, dia langsung berlari sembari menangis. Greysia hanya dapat menghela napas kasar dan bersandar di tempat yang tadi di gunakan oleh anak laki-laki tadi.

Greysia pikir, tindakannya sudah benar untuk mengusir dan dapat membuat anak itu pergi menjauhi kawasannya. Tetapi tak sesuai apa yang ia harapkan. Laki-laki muda yang tingginya tak sampai telinganya itu setiap hari selalu mengunjungi tempat tadi. Mencuri singgasana Greysia saat gadis itu tak ada di tempatnya.

Menempeli Greysia setiap saat tanpa ragu meski sudah berkali-kali di usir namun sepertinya tak akan mempan. Lama-kelamaan Greysia menyerah dan membiarkan apa yang anak itu lakukan. Kenyataannya ia mendapatkan teman tanpa merasa sesak untuk pertama kalinya.

"Jacob ini layangan kamunya gimana? Aku gak bisa maininnya" ucap Greysia meneriaki anak itu.

Sedangkan si empu pemilik layangan tak mendengar malah asik mengejar capung sembari menenteng jaring ditangannya.

"B A E J A C O B!" teriaknya lantang.

Jacob tersentak lalu menoleh, dilihatnya Greysia yang sedang menatapnya tajam membuatnya harus segera berlari sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa.

Botol gulungan senar di lemparkan kearahnya. Dengan reflek yang cepat ia dapat menyelamatkan botol itu agar tak menggelinding di tanah. Sesaat kemudian ia menggulung senar layangan hingga benda yang melayang di udara itu kian menurun.

"Besok aku punya kado buat kamu" kata Jacob.

Mendengar hal itu, Greysia langsung berbinar. "Wuah.. Serius?"

"Serius dong, tapi kamu harus janji dulu sama aku"

"Janji apa? Aku gak mau kalo yang ribet dan gak masuk akal di pikiranku".

"Gampang kok... Aku mau, kamu punya teman yang banyak. Selama ini aku gak pernah lihat kamu bawa temen buat main bareng sama kita, kamu juga gak pernah bahas teman di sekolah. Aku juga pengen kamu sering senyum, ketawa, kamu cantik tapi jadi jelek kalo sendirian terus"

"Gak bisa. Aku maunya main sama kamu aja"

"Aku gak selalu ada buat main sama kamu. Menambah teman bukan hal buruk kok, biar kamu gak kesepian"

"Gak bisa, Cobe. Kamu tau sendiri gimana kesan awal kita ketemu. Cari temen itu gak segampang yang kamu omongin, aku udah biasa sendiri dan aku bisa"

"Aku pulang ya... Sampai ketemu lagi" pamit Jacob.

Saat dia bebalik, mukanya menjadi pucat dan rasa pusing menyerang kepalanya. Sekuat tenaga ia menahannya agar tak ambruk, setelah beberapa saat kemudian ia berhasil menguasai kembali tubuhnya. Beberapa kali berkedip kemudian melanjutkan lagi langkahnya yang sempat terhenti.

"SAMPAI JUMPA BESOK JACOB" teriak Greysia sembari melambai.


Load failed, please RETRY

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login