Download App

Chapter 2: Like a another days

Sherina tengah duduk di kursinya sembari memandang keluar jendela, ia melihat beberapa burung yang berterbangan bebas di udara, jujur saja itu membuatnya sedikit iri. Kehidupannya tak sekalipun bahagia meskipun ia terlahir di keluarga yang berkecukupan, ia bisa membeli apapun tapi tidak dengan kebahagiaan. Ia bangkit dari tempatnya dan berjalan keluar kelas hendak menuju kantin, tetapi saat kakinya masih melangkah seseorang menariknya dan mengajaknya masuk ke dalam kamar mandi.

tubuhnya terbantin karena orang itu mendorongnya cukup kuat, Sherina sedikit merintih karena kakinya yang menghantam lantai. Kepalanya mendongak dan mendapati 4 gadis dengan seragam yang sama tengah menatapnya sangar. Gadis-gadis itu tersenyum mengejek, salah seorang dari mereka berjalan mendekatinya lalu berjongkok menyejajarkan diri dengan tubuh Sherina.

"Gue udah nungguin lo dari tadi," ujarnya.

"K-kenapa, ya?"

"Kenapa? ternyata lo udah pikun ya," ujar gadis itu lalu kembali bangkit, "oke, karena lo pura-pura lupa, kayanya jauh lebih baik kalo kita beri dia hukuman. Gimana guys, setuju?"

"Setuju banget, jangan kasih ampun, Don," ujar salah seorang temannya.

"Ya udah, langsung aja gue juga butuh hiburan nih." Gadis itu Donna, salah satu penguasa disekolah itu bersama dengan tiga anak buahnya.

Tanpa perintah dua kali, 2 gadis lainnya segera menyeret Sherina menuju salah satu bilik toilet sedangkan satu diantara mereka berjaga di luar toilet. Salah seorang dari 2 gadis itu menenggelamkan wajah Sherina ke dalam toilet, mengangkatnya lalu menenggelamkannya lagi, terus dilakukan berulang kali. Donna mengambil alih gilirannya, ditangannya sudah tersedia ember dengan air yang sudah terisi penuh. Tanpa pikir panjang ia mengguyurkannya tepat membahasi badan Sherina, ketiga gadis itu tertawa sangat puas. Setelah melihat Sherina yang sudah tak lagi berkutik, merekapun pergi keluar dari toilet tersebut meninggalkan Sherina sendirian.

Gadis itu duduk di atas toilet dengan pakaian yang sudah sangat basah, airmatanya menetes, apa yang salah darinya? apa yang membuatnya terus menjadi bahan bullyan teman seangkatannya? Ia pun sama sekali tidak paham dengan masalah ini, kenapa dirinya?

Sherina bangkit dan berdiri di depan cermin, memandang dirinya sendiri dengan tampang yang menyedihkan. Ia menutup matanya mencoba untuk kembali menenangkan diri, ia tahu harus tenang menghadapi semua ini. Ia pun tahu, Tuhan akan terus berada di sisinya dan memberikan skenario terindah nantinya.

Gadis itu terus meyakinkan dirinya sampai memutuskan untuk keluar dari toilet dan berjalan menuju koperasi sekolah untuk membeli seragam baru. Untung saja saat ia keluar jam istirahat sudah selesai yang membuatnya tidak terlalu malu dengan kondisinya itu. Setelah selesai dengan urusannya di kantor koperasi ia memutuskan untuk ke ruang UKS, berniat untuk mengistirahatkan diri karena jujur saja, tubuhnya sedikit lemas kali ini.

Ia memasuki ruang UKS lalu merebahkan diri dikasur kosong yang tersedia, ia memejamkan matanya mencoba untuk terlelap sampai sebuah suara bariton mengagetkannya. Tanpa aba-aba Sherina segera bangkit dan mendapati seorang pemuda tengah menatapnya dengan heran.

"Lo ngapain liat gue?" tanya Sherina.

"Lo ngapain disini?"

"Istirahat," balas Sherina yang hanya ditanggapi dengan anggukan kepala dari pemuda itu.

Dia adalah Alva, teman masa kecil Sherina. Tempat tinggal mereka bersebelahan dan dulu mereka sangat sering bermain bersama, tetapi untuk empat tahun kebelakang gadis itu seolah terus menjaga jarak dengan Alva. Dimulai dari awal memasuki kelas 3 SMP Sherina mulai menjauh dari Alva, tentu saja membuat pemuda itu bertanya-tanya hingga saat ini dan semua pertanyaan itu sama sekali belum terjawabkan.

"Nanti balik bareng yuk," ujar Alva.

"Enggak, Terimakasih."

Alva menghela nafasnya, apa yang harus dia lakukan? ini sudah beribu-ribu kalinya ia menawari Sherina pulang bersama, tetapi gadis itu selalu menolaknya dengan alasan yang sama. Alva bangkit dari tempatnya dan berdiri di samping brankar Sherina, ia hanya memandangi gadis itu tanpa mengucapkan satu patah kata. Sedangkan Sherina yang merasa dirinya sedang diawasipun mulai membuka kembali matanya, kini pandangan mereka beradu seolah mata Alva tengah mencari sebuah alasan yang selama ini ia cari melalui mata Sherina.

"Berhenti mandangin gue seperti itu," ujar gadis itu yang sedikit kesal.

"Kenapa? Dulu lo enggak masalah gue pandangin kaya gitu."

"Itu dulu, Va, sekarang udah beda."

"Apanya yang beda? gue tetap gue dan lo tetap lo, kita masih sama, She."

"Enggak!" ujar Sherina sedikit meninggi, "kita udah gak sama, Va, gue yang berbeda," lanjutnya lalu bangkit dari brankar tersebut dan keluar dari sana tanpa memperdulikan Alva yang kini masih memandanginya keluar ruangan.

Sherina berjalan menuju kelasnya, gadis itu masih kesal dengan Alva dan juga merutuki dengan tindakannya, ia tahu tidak seharusnya ia membentak Alva seperti itu. Gadis itu mengetuk pintu kelas lalu meminta izin masuk pada seorang guru, setelah mendapat izin ia pun berjalan menuju bahkunya, tetapi saseorang justru menjegal langkahnya membuat Sherina terjatuh dan disambut dengan tawa seisi kelas.

"Sherina, kamu ngapain malah duduk disitu? cepat duduk, jangan menghambat kelas!" ujar guru itu.

"Iya, Bu, maaf." Sherina menatap gadis yang menjegalnya tadi sekilas sebelum akhirnya bangkit dan duduk di kurainya. Gadis itu siapa lagi jika bukan Donna, ia memang selalu saja mengganggu kehidupan Sherina dan sialnya Sherina tak bisa membalasnya.

Jam kelas selesai dan berganti dengan bel pulang, seluruh siswa pun bersorak senang karena bisa segera pulang atau bermain. Sherina membereskan beberapa barang-barangnya, lalu keluar kelas. Berbeda dengan anak-anak lain jika mereka ingin segera sampai ke rumahnya atau bermain dengan teman-temannya, Sherina justru enggan untuk segera sampai rumah karena saat di rumahpun tak akan ada yang berubah dari hidupnya. Rumah itu justru menjadi neraka kedua baginya setelah sekolahan, ia yakin jika ia pulang sekarang akan bertemu Papanya, dan ia malas bertemu dengan pria itu.

Sherina berjalan keluar gerbang sekolah sendirian, tak lama ia mendengar sebuah mobil seperti melaju cukup kencang dan menit berikutnya sesuatu sudah meluncur membasahi tubuhnya. Mobil itu berhenti sedikit di depan Sherina, kaca mobil terbuka seseorang muncul dari balik kaca mobil dan itu adalah Donna dan teman-temannya.

"Ups, sorry ya, gak keliatan sih," ujarnya dengan nada minta maaf yang dibuat-buat.

"Ya iyalah, Don, gak keliatan. Dia kan kuman, Upss," timpal salah seorang temannya, merekapun tertawa puas.

"Udah ya, gue gak bisa bantuin jadi lo bisa balik sendiri kan? Byee, cupuu." Kaca mobil menutup dan mobil itu langsung melaju pergi.

Sherina menghela napas, ia membersihkan bajunya yang kini sudah terlihat kotor karena tersiram genangan air tersebut. Menit berikutnya seseorang memanggilnya, ia pun menoleh dan mendapati Alva sudah berada tak jauh darinya, pemuda itu turun dari sepedahnya lalu menghampiri Sherina yang masih berjongkok.

"Lo ngapain masih di sini?"

"Bukan urusan lo," ujar Sherina lalu bangkit hendak meninggalkan Alva, tetapi dengan cepat pemuda itu meraih tangan Sherina mencoba menghentikannya.

"Kenapa lo terus-terusan jauhin gue gini sih, She. Salah gue apa? ini udah 4 tahun dan gue masih enggak ngerti kenapa lo bersikap kaya gini ke gue," ujar pemuda itu.

Sherina tak bergeming, ia tak tahu harus menjelaskan dari mana dan bagaimana, gadis itu memilih untuk tetap bungkam lalu menghempas cekalan itu dan berlalu pergi, kembali meninggalkan Alva sendiri dengan rasa penasaran. "Maafin gue, Va," gumam nya sangat pelan. Sherina berjalan tanpa memperdulikan setiap panggilan yang Alva keluarkan, ia tak mau membuat pemuda itu kembali kesusahan, ia sudah berjanji itu.

Gadis itu memang lebih memilih untuk berjalan kaki dari pada menggunakan motornya, selain memang tempatnya bersekolah tak begitu jauh dari rumahnya ia juga tak ingin menggunakan fasilitas yang diberikan papanya itu. Walaupun sebenarnya ia juga sudah di beri fasilitas yang cukup mewah oleh papanya tetapi ia sama sekali tak berniat untuk menggunakannya. Gadis itu sampai di kediamannya dan segera masuk ke rumahnya, di sana ia melihat papanya tengah duduk di ruang keluarga sembari membaca beberapa dokumennya, dan tanpa menyapa gadis itu langsung melangkah naik menuju kamarnya. Namun, baru selangkah ia menaiki tangga suara bariton itu berhasil menghentikannya.

"Baru pulang bukannya nyapa orang tua tapi malah nyelonong lewat aja, kamu tau tata krama enggak sih?" ujar laki-laki itu masih di posisi yang sama.

Dengan amat sangat terpaksa Sherina berbalik dan mendekat ke arah papanya, "Selamat siang, tuan Mario yang terhormat," ujar gadis itu dengan penekanan di akhir katanya.

Laki-laki yang di panggil Mario itu sedikit melirik ke arab Sherina lalu meletakkan korannya, "Apa maksud dengan nada bicaramu itu?"

"Kenapa? aku hanya menyapa seperti yang papa perintahkan tadi," ujarnya.

"Ck. Emang dasar kamu seperti mamamu, tidak tahu diri," ujar Mario membuat Sherina kesal.

"Jangan bicara sembarangan tentang mama saya, anda tidak pantas untuk itu!"

Detik berikutnya seorang wanita paruhbaya muncul dan melerai anak dan bapak itu, wanita itu adalah Ranti mama Sherina. "Sherina, jangan seperti itu pada papamu," ujar Ranti.

"Tapi ma...."

"Lihat anakmu ini, makin besar makin lancang sama orang tua, kamu bisa didik anak enggak sih?" ujar Mario. Sherina hanya memandang papanya itu tajam lalu beralih memandang Ranti, detik itu juga Ranti memberikan isyarat pada Sherina agar segera masuk ke kamarnya dan dengan kesal gadis itu menuruti permintaan mamanya.

Sherina memasuki kamarnya dengan kesal, kenapa mamanya selalu melarang untuk membela mamanya sendiri. Ia melemparkan tasnya ke sembarang tempat lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur, ia merasa hari ini melelahkan terlebih karena ia lagi-lagi harus berhadapan dengan Alva, karena jujur saja ia sebenarnya pun tak ingin melakukan ini tetapi semua harus ia lakukan untuk kebaikan masing-masing.

Dari dalam kamarnya samar-samar ia mendengar orang tuanya kembali bertengkar, ia memejamkan matanya dan suara-suara itu semakin keras, Sherina meraih headphone miliknya dan memasangnya tak lupa dengan musik yang mampu meredam suara pertengkaran orang tuanya itu. Gadis itu bangkit dan berjalan menuju balkon kamar, hari ini langit serasa tak bersahabat dengan awan hitam yang menghilangkan cahaya. Tidak berapa lama, hujan pun turun semakin membuat kesedihan dalam hatinya, ia kembali berfikir apakah jika dirinya tak ada di dunia ini orang tuanya akan baik- baik saja? Apakah Alva akan baik-baik saja? Apakah ini semua karena kesalahannya? Ataukah memang dirinya adalah kesalahan.

Ia hanya bungkam dalam gemricik suara hujan, gadis itu melepas headphonenya mencoba mendengarkan suara tenang dari tetesan hujan yang seakan-akan membentuk sebuah musik dengan keputus asaan. Menit berikutnya pintu kamarnya diketuk seseorang, Sherina berbalik dan membukaan pintu tersebut dan di lihatnya Ranti dengan membawa senampan makanan sudah ada di depan sana. Wanita itu masuk dan meletakkan nampan itu di atas meja lalu berjalan menghampiri anak semata wayangnya yang sudah duduk di pinggir kasur. Ranti mengusap lembut kepala Sherina, nyaman, ia suka saat mamanya melakukan ini, tetapi ia sangat membenci sikap Ranti yang terus menerus mengalah dengan laki-laki itu.

"Kamu tau kenapa mama melarangmu untuk berdebat dengan papa?" tanya Ranti yang tak dijawab oleh Sherina, "karena mama enggak mau papamu main fisik ke kamu, Sayang," lanjutnya.

"Kenapa mama milih diem? kenapa mama enggak pisah sama dia?"

Ranti tersenyum lembut, "Cinta mama ke papamu itu lebih besar dari pada rasa sakit yang papamu kasih, jadi mama enggak mungkin pisah dari dia." Sherina yang mendengar itu hanya menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan jawaban mamanya itu, bagaimana bisa wanita yang selalu disakiti itu merasa penyiksaan itu tidak ada apa-apanya.

"Ma, itu bukan cinta! Apa mama gila? udah berkali-kali mama disakitin, berkali-kali pula dia selingkuh dan mama masih menganggap itu tidak ada apa-apanya?"

"Kamu akan mengerti saat kamu sudah siap untuk benar-benar jatuh cinta, Sherina," ujarnya, "kalau begitu, habiskan makananmu dan mandi, mama dan papa menunggumu di bawah," lanjutnya sembari beranjak keluar.

"Untuk apa?"

"Minta maaf, kamu harus minta maaf pada papamu," ujar wanita itu lalu menutup pintu kamarnya meninggalkan Sherina yang masih diam di posisinya.

Apakah ia harus melakukannya? Meminta maaf pada orang yang seharusnya justru meminta maaf pada mamanya, kenapa ia harus melakukanny? Tak ingin semakin memikirkannya ia pun segera membersihkan diri lalu turun menemui kedua orang tuanya yang sudah menunggu di ruang keluarga. Ranti yang melihat Sherina menuruni anak tangga pun memberikan kode pada anaknya itu untuk mempercepat langkahnya dan duduk di sampingnya.

"Sherina, minta maaf pada papamu," ujar Ranti, dengan perasaan yang masih enggan gadis itu hanya diam tanpa merespon, "Sherina," panggil wanita itu, membuat gadis itu menghela napas dan menghembuskannya berat.

"Oke-oke. Aku minta maaf, Pa," ujar gadis itu dengan berat hati.

"Dari cara bicara mu sepertinya kamu tidak berniat meminta maaf dengan sungguh-sungguh," ujar laki-laki itu membuat Sherina kesal, belum sempat ia membalas ucapan Mario tetapi Ranti sudah memberikan isyarat agar anaknya itu diam saja dan mengikuti permintaan Mario. Lagi-lagi gadis itu menghela napas, ia sama sekali tak habis pikir dengan mamanya itu kenapa bisa sangat mencintai laki-laki seperti ini.

"Aku minta maaf, karena sudah bersikap tidak sopan dan lancang dengan papa, dan...," ucapan Sherina menganggantung, "bisa tidak jika papa berhenti membuat mama sakit hati? Sudah cukup waktu 4 tahun terakhir ini papa membuat mama tersiksa dengan perasaannya sendiri," ujar gadis itu membuat Ranti pun terkejut.

"Sherina!" panggil Ranti sedikit meninggi.

"Ma, tolong berhenti belain dia yang udah jelas-jelas salah, aku mohon," ujar Sherina.

"Cukup, Sherina! Kamu enggak seharusnya bicara seperti itu," ujar Ranti membuat Sherina sedikit terkejut dengan nada bicara mamanya itu.

"Kamu liat kan anakmu, dia yang kamu bilang sebenarnya baik tapi ternyata enggak punya sopan santun. Cih, dasar anak dan ibu sama saja!" ujar Mario lalu beranjak meninggalkan kedua wanita itu.

"Anda laki-laki tidak tau malu!" ujar Sherina.

Plakk...

Satu tamparan tepat mengenai wajah Sherina, gadis itu memalingkan wajahnya terkena tamparan itu. Ini kali pertama Ranti menamparnya dan sialnya hanya karna laki-laki itu, Sherina menegakkan kembali kepalanya dan memandang Ranti tidak percaya wanita itu bisa menamparnya. Sedangkan Rantipun seakan juga terkejut dengan perbuatannya, ia melihat tangannya sendiri lalu beralih memandang anak semaya wayangnya itu. Sherina sedikit menggelengkan kepalanya dan berlalu pergi meninggalkan mamanya, gadis itu berlari menaiki satu persatu tangga menuju kamarnya.

Ranti yang sadar ia telah melukai hati putrinya dan melihat anaknya itu berlari menuju kamarnya segera berbalik dan mencoba mengejar gadis itu. "Sherina," panggil Ranti.


CREATORS' THOUGHTS
Agatha_Mahasra Agatha_Mahasra

"Kau lemah maka kau tertindas, tetapi kadang saat kau tau bahwa dirimu punya segalanya kau memilih untuk tetap diam tanpa ingin membungkam siapapun. Karena tak semua hal dapat terbeli dengan uang dan kekuasaan."

Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login