Download App

Chapter 5: Chapter 2 : Akhir dan Awal Segalanya

Part 1

"Ya Tuhan, nggak bisa kah mereka berhenti selama lima detik saja?" teriak Zimi dengan tubuhnya berlindung di balik pagar yang terbuat dari batu, Cukup kuat untuk menahan tembakan sihir es musuh yang dari tadi membuat pasukan Zimi susah bergerak. Misi mengendap-endap sudah gagal, kini mereka terjebak dalam pertempuran yang tidak mereka inginkan.

"Mereka bisa nggak sih sedikit lebih kalem…kita gak bisa bergerak sama sekali!" gerutu Zimi yang masih menunduk dengan kepalanya ia pegang dengan kedua tangannya.

"Oh Zimi, betapa ajaibnya kalau mereka bilang 'oke' dan berhenti mengeluarkan es-es lancip itu!" kata Max yang sedang mencoba-mengintip-intip sambil membidik musuh selagi hujan es itu diarahkan ke tempat lain. Lagipula, hanya ada tiga Magi musuh yang cukup kuat untuk merapal hujan es, sementara beberapa Magi lain merapal aura pelindung untuk menahan hujan peluru balasan dari pasukannya.

"Ini gak bisa terus terusan berlangsung, kita harus maju atau kita akan digilas seperti sarden dalam jaring setelah peluru kita kosong!" Kata Zimi sambil memegang sebuah granat anti-tank, dengan senapan otomatisnya ia gantung di bahunya.

"enggak, enggak. Kita nggak tau ini bakal berhasil atau nggak, aura pelindung mereka masih menyala, Zimi!" Jawab Max, melihat tanda-tanda Zimi akan melakukan hal gila.

"Kita nggak akan tahu kalau nggak dicoba, yakan?"

"Terlalu berbahaya, siapa yang mimpin kalau kau mati?"

"Siapa lagi yang punya pangkat tinggi selain aku?"

"AKU NGGAK PUNYA PENGALAMAN MEMIMPIN! Aku hanya penembak jitu."

"Kalau begitu lindungi aku. Entah kau setuju atau tidak, harus kucoba atau kita akan seperti ini terus, seperti harimau dalam sangkar."

Max masih mencoba berfikir cara lain selain mengorbankan temannya ke luar dan mencoba sebuah jalan yang belum pernah dicoba sebelumnya. Tapi ia pun tak punya strategi lain, ia tidak punya kemampuan berfikir lebih kritis dari temannya, ia hanya tau cara menembak dan teknik-teknik menembak yang diajarkan di sekolah penembak jitu dan juga di masa mudanya di dalam hutan lebat Farlostern.

"Kita kirim yang lain saja…"

"Sudah ada lima orang mati menyebrang, para prajurit takut untuk menyerang, mereka butuh seseorang untuk membangkitkan semangat mereka yang sudah pudar…"

Max menimbang-nimbang lagi pilihan lain yang tersedia, tapi nampaknya memang tidak ada.

"Bagaimana, mau nggak?" kata Zimi. Seketika, salah satu prajurit di samping Max terkena serpihan es tepat di kepalanya, membunuhnya seketika dengan darah segar mengalir deras dari kepalanya.

"Lihat? Itu yang terjadi kalau kita tidak cepat!"

Max akhirnya menyerah. Ia merogoh-rogoh kantong mantelnya, dikeluarkannya sebungkus coklat bertulisan "Heinnel Choco" dengan huruf Z tertulis pada bungkusnya dengan marker permanen, sebuah coklat terkenal dengan rasa yang paling menakjubkan di seluruh Nordland, tentu sebuah coklat mahal. Ia membukanya, dan menyodorkannya ke Zimi.

"Hei, itu punyaku, kau dapat darimana?" teriak Zimi.

"Aku ikhlas memberikannya padamu asalkan kau selamat. Kalau nggak…merangkaklah kemari, bawa coklat itu kepadaku di alam baka."

"Hmmppff" gerutu Zimi sambil mengambil coklat itu, memakannya satu gigitan, sebelum memasukkannya ke dalam kantongnya.

"Baiklah, semuanya! Dengar baik-baik. Heimling, Theodred, mendekat kesini!" mereka berdua mendekat.

Tiba,-tiba, sebuah serpihan es melayang tepat di depan kepala mereka, hampir saja terkena serpihan es, lalu merunduk lebih rendah.

"Oke, kalian berdua ikut aku, kita akan menyeberang melewati lapangan itu selagi salju belum tebal. Kita lari sekencang mungkin, sambil menembakkan senapan ke arah mereka, dan berharap mereka gak bisa menyerang balik. Kalian semua akan menembak ke arah musuh untuk mengalihkan perhatian. Setelah bunyi ledakan, langsung ikut menyebrang, kita akan mendobrak gedung itu selagi mereka masih terkejut, faham?"

"Ja, verstanden, Herr Hauptmann!" teriak semua prajurit. Zimi menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengambil semua keberanian yang ada. Setelah ia yakin, ia mencoba mengintip, melihat kemana hujan es itu menyerang.

Seketika sebuah serpihan es mengenai pagar, hampir mengenai matanya. Ia mengusap matanya yang terkena tebu dan hampir kemasukan pecahan kerikil.

"Sialan, Bilang Eilmann untuk menyerang! Alihkan perhatian Magi bangsat itu!"

Eilmann, seorang sersan yang memakai kacamata bulat itu mendengar perintahnya. Ia berteriak kepada seluruh pasukannya untuk menyerang. Senapan otomatis yang ia pegang memuntahkan peluru, diikuti tembakan senapan semi otomatis milik bawahannya.

Zimi menengok, ke arah pasukan Eilmann, melihat apakah mereka sudah dihujani hujan es atau belum. Seketika Eilmann menunduk, dan hujan es mulai berhamburan, memuntahkan es-es padat yang tajam kearah mereka.

Zimi dengan sigap melompati pagar, diikuti Theodred dan Heimling, berlari zigzag sekencang mungkin menghindari para Magi yang menyadari kehadiran mereka. Zimi menembakkan senapan otomatisnya ke arah pintu dan jendela bangunan itu yang terbuka lebar, beberapa anak panah musuh berhasil melesat dengan beberapa hampir menyentuh tubuh Zimi.

Setelah berlari mati-matian, mereka sampai di luar teras bangunan, bersembunyi di balik pagar teras itu.

Ia melihat Heimling, kakinya mengeluarkan darah. Sepertinya, sebuah serpihan es berhasil mengenai kakinya, meski hanya meggores.

"Heimling, kakimu?"

"Gak apa-apa kapten, ini belum seberapa daripada lukaku di Hedkund"

Zimi tersenyum, ia mengambil granat anti-tank nya, membuka pin, dan melemparkannya ke dalam. Musuh yang kebingungan terlihat mengambilnya, tidak tau benda yang mereka pegang itu akan mengubah tubuh mereka menjadi seperti balon yang ditusuk jarum.

Zimi dan dua orang tadi lari sejauh mungkin, lalu tiarap, berharap ledakan tadi tidak membunuh mereka dengan serpihan yang ia muntahkan dan berharap Magi musuh tidak menyerang mereka sebelum bom itu meledak.

"DUARR!!!" ledakan besar terdengar memekakkan telinga. Ia merasakan serpihan-serpihan berukuran kerikil besar menimpa tubuhnya, sebelum sesuatu yang tajam terasa menusuk bokongnya.

"Bangsat, apa ini." Ia mencabut sesuatu itu, dan melihat serpihan kayu berhasil membuat tanda yang menarik pada bagian belakang celananya.

Ia mengisyaratkan semua pasukannya untuk maju. Sementara ia, Heimling, dan Theodred mendahului masuk ke dalam ruangan.

Theodred masuk duluan, dengan beberapa tembakan terdengar. Musuh masih kebingungan tentang apa yang baru saja menimpa mereka, dan selagi mereka masih terguncang, waktunya sangat tepat untuk sebuah pembantaian.

Zimi masuk setelah Theodred, dengan senapan otomatisnya siap di tangan, diikuti Heimling yang kakinya terluka di belakang. Ia mencoba menahan luka itu, dan ajaibnya masih bisa berjalan seperti biasa. Memang orang yang tangguh.

Mereka memprioritaskan lantai atas, dimana para Magi kelas bawah dan atas bersembunyi. Dengan senapan otomatis mereka, seluruh prajurit dan Magi yang sedari tadi memberi masalah besar dibantai habis-habisan. Mereka masih terguncang, tidak mampu berdiri, dan ketika mereka mulai berdiri, berondongan peluru dari MP 85 melobangi tubuh mereka. Tanpa ampun, Magi wanita atau laki-laki, terluka atau tidak dibantai sampai habis. Dibawah, terdengar derap langkah kaki yang ramai mulai menggeledah ruangan. Beberapa naik ke atas, dengan senapan semi otomatis G89 siap membidik. Satu persatu pintu dibuka paksa, beberapa prajurit dan Magi yang bersembunyi dibunuh atau ditangkap, dibawa ke ruang bawah untuk memutuskan nasib mereka nantinya. Semua ada di tangan Zimmermann sebagai komandan mereka.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C5
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login