Download App

Chapter 4: Gadis Lusuh

Di siang hari, dari lantai dua kamar David, Elyana melihat ke arah belakang rumah melalui jendela yang terbuka. Nampak di matanya sebuah taman yang sangat luas dengan danau buatan di ujung taman tersebut. Ada banyak bunga-bunga bermekaran di sekeliling taman dan di tengah-tengah rumput hijau. Terlihat begitu indah.

Sejenak ia melamun. Di rumah milik keluarga Louis pun ada sebuah taman bunga yang sangat luas dan indah. Elyana dan Rosyana sering bermain di sana sambil berbaring di atas rumput hijau di bawah teriknya sinar matahari. Ketika ia dan kakaknya sedang kepanasan, ibunya akan datang sambil membawa jus nanas kesukaan mereka. Rasa dingin dan asam dari buah nanas membuat Elyana dan Rosyana merasa segar kembali.

Mengingat tentang hal itu, tanpa sadar, air matanya berlinang, menetes dengan cepat membasahi wajah cantiknya. Rasa rindu pada kedua orang tuanya membuat hatinya terasa sakit dan terluka.

Dengan cepat, ia menyeka air mata di wajahnya, tidak ingin ada orang yang melihat betapa rapuh dirinya. Tidak ingin terus terbayang tentang kenangan indahnya dulu, Elyana segera menutup jendela. Berniat untuk pergi ke lantai bawah.

Ketika Elyana berjalan menuju pintu kamar, tiba-tiba terdengar dering ponsel dari atas meja. Ia segera mengambil ponselnya. Ketika melihat nomor asing di layar ponsel, ia sedikit ragu untuk mengangkatnya.

"Apa ini Kakek? Tapi, semua nomor orang suruhan Kakek dan Judis sudah aku blokir semua. Tidak mungkin mereka menghubungiku lagi."

Terdiam beberapa saat, dering ponsel kembali terdengar. Elyana segera menekan tombol hijau untuk memastikan siapa yang menghubunginya.

"Halo!" sapanya dengan ragu.

Terdengar suara wanita paruh baya dari seberang telepon, "Apa benar ini dengan Eli?"

'Eli?'

Bahkan, dirinya lupa dengan nama yang ia buat sendiri.

"Iya, saya sendiri!" jawabnya pelan.

"Apa benar, kau yang mengirim pesan ke nomor ini?"

"Oh, itu! Ya, tadi saya yang mengirim pesan. Apa lowongan itu masih ada?"

Tadi pagi, Elyana melihat sebuah lowongan pekerjaan di internet. Ia mengisi data diri dan mengirimnya ke nomor yang tertera di sana. Sekarang, pihak dari sana menghubunginya.

'Apa itu karena aku diterima kerja?' Elyana mulai menebaknya.

Walau menjadi seorang pelayan, untuk saat ini, hanya pekerjaan itu yang cocok dengan keadaannya.

Terdengar wanita paruh baya itu berkata, "Ada! Bagaimana jika sore ini kami jemput?"

'Hah ... sore ini? Apa itu tidak terlalu cepat?'

"Bagaimana Eli? Apa kau siap?" tanyanya lagi ketika tidak ada jawaban dari Elyana.

"Oh, ya! Tentu saja saya siap!" jawab Elyana dengan cepat.

Kesempatan tidak akan datang dua kali. Ia harus segera mengambilnya. Jika tidak, kesempatan bagus ini akan melayang begitu aja.

"Baik .... nanti sore aku akan meminta sopir untuk menjemputmu. Di mana alamat rumahmu?"

"Emh!" Elyana mulai bingung. Ini pertama kalinya ia tinggal di kota Paris, jadi tidak tahu alamat rumah David.

"Tunggu sebentar!" Elyana berlari keluar kamar. Mencari asisten rumah tangga untuk menanyakan alamat rumah ini.

Tanpa rasa curiga, asisten rumah tangga itu segera memberitahu alamat rumah dengan lengkap.

"Baik, saya sudah mencatatnya! Nanti jam empat sore, ada sopir yang akan menjemputmu," ucap wanita itu pada Elyana.

"Iya, terima kasih, Nyonya!" balas Elyana dengan rasa hormat.

"Eh, saya bukan Nyonya!" Wanita itu membenarkan ucapan Elyana sambil tertawa kecil. Gadis itu mengira dirinya adalah seorang majikan. Padahal, bukan!

"Saya hanya kepala ART. Tugas saya nanti, mendidikmu dalam bekerja. Kau bisa memanggil saya 'Bu Meri'," jelasnya lagi pada Elyana.

"Oh, maaf! Saya kira Anda adalah—"

"Tidak apa-apa. Saya paham," potong Bu Meri, mengerti dengan maksud ucapan Elyana. "Sampai jumpa nanti, di rumah!"

"Baik, sampai jumpa, Bu Meri!"

Setelah itu, sambungan telepon terputus.

*

Di kantor perusahaan Demino—sebuah perusahaan otomotif yang menguasai pasar di jalanan Benua Eropa berbasis Wolfsburg—milik keluarga David, Edwin membacakan sebuah laporan tentang bisnis yang baru mereka lakukan di kota lain. Karena minggu kemarin David melewatkan rapat yang sangat penting demi menolong Elyana, membuat agenda pembukaan cabang itu sedikit terganggu.

"Tuan, pembukaan acara minggu kemarin cukup bagus. Kita hanya perlu meningkatkan pemasarannya saja di internet. Agar produk kita bisa tercium oleh semua kalangan."

"Oke, kau atur saja semuanya," balas David dengan enteng.

Ia bangkit dari duduknya, mengambil jas yang tergantung di samping, lalu memakainya.

"Sekarang, aku harus pergi dulu. Masalah kantor, aku percayakan semuanya padamu," tambahnya lagi sambil berjalan menuju pintu keluar.

Melihat David pergi, Edwin segera bertanya, "Anda mau pergi ke mana, Tuan? Maukah saya antar?"

Edwin menawarkan diri. Juga merasa heran. Sore-sore seperti ini, tuannya mau pergi ke mana?

Ia tidak bisa membiarkan tuannya mengendari mobilnya sendiri. Karena, itu tidak pernah terjadi. Biasanya, David selalu diantar dan dikawal oleh Edwin dan beberapa orang "Bodyguard". Dan sekarang ....

Terdengar David menolak, "Tidak perlu! Aku ingin berkeliling sendiri, mencari tempat yang bagus untuk acara nanti malam."

"Sudahlah, aku pergi dulu!" ucapnya lagi, lalu ia pergi.

"Kenapa Tuan tidak mencarinya di internet? Tidak perlu buang-buang waktu berkeliling untuk mencarinya sendiri, kan? Sejak kapan Tuan David menjadi bodoh seperti ini?" gumamnya dengan perasaan aneh. Ia menatap pintu kayu yang sudah ditutup rapat.

Di sore hari, ketika David kembali ke rumah, ia mendapati kamarnya sudah sangat sepi, seolah tidak ada kehidupan di sana. Ia mencari Elyana ke setiap sudut rumahnya, tapi, wanita itu tidak ada.

"Di mana gadis itu?"

Dengan langkah cepat, David menuruni anak tangga. Ketika sudah tiba di lantai satu, ia bertanya pada pelayan tentang keberadaan Elyana.

"Di mana Nona Elyana?

"Maaf, Tuan! Nona Elyana baru saja pergi!"

"Apa? Pergi? Pergi ke mana, maksudmu?" sergah David dengan perasaan tidak tenang.

"Maaf, Tuan! Saya kurang tahu. Tapi sebelumnya, Nona Elyana menanyakan alamat rumah ini. Baru saja, seseorang menjemputnya."

"Apa? Menanyakan alamat rumah? Apa dia dijemput oleh seseorang?" ucapnya pada dirinya sendiri.

"Siapa yang menjemput Nona Elyana? Pria atau wanita?" tanyanya, tidak sabar.

Pelayan itu terlihat gugup. Ia bisa merasakan emosi tuannya saat ini.

"Cepat katakan!" bentak David, merasa kesal dengan kelambatan pelayannya. "Pria atau wanita?"

"Seorang pria, Tuan!"

Ya, tadi, ketika Elyana pergi, ia melihat seorang pria menghentikan kendaraannya di depan rumah. Dan, pria itu membuka pintu mobil untuk Elyana.

"Asih, sial!"

Tanpa berpikir lagi, David segera berlari keluar. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.

*

Satu hari telah berlalu. Elyana dengan rambut yang digulung ke atas, wajah yang terlihat sangat kusam dan tahi lalat besar di pipinya, mengenakan pakaian lusuh—kaos oblong besar dan celana panjang—berdiri di samping meja makan majikannya.

Ini adalah hari pertama dirinya bekerja di rumah keluarga Alex Danu. Elyana harus memperkenalkan diri di depan semua orang atas perintah Bu Meri.

"Selamat pagi, semua! Perkenalkan, nama saya Eli dari kota Lyon. Saya sengaja datang ke kota ini untuk mencari pekerjaan. Bekerja, selain ingin mendapatkan uang, juga karena tidak punya tempat tinggal dan tidak punya makanan," ucap Elyana dengan polos. Ia menundukkan kepala seolah malu dengan dirinya sendiri.

Terdengar cibiran dari seorang wanita yang duduk di meja makan, "Aish, pantas saja lusuh seperti ini. Ternyata, dia datang dari kota Lyon! Apa kau tinggal di pelosok kota itu? Sungguh sangat menyedihkan!"

"Husss! Isabel .... Jaga ucapanmu!" sergah Alex pada putri tunggalnya. "Dia, di sini, hanya mencari pekerjaan. Bukan ingin menjadi model. Lebih baik, kau beri Eli pakaian yang sudah tidak terpakai. Tubuh kalian sama-sama kurus. Pakaianmu pasti cukup di tubuh Eli."

"Mau, kan, Eli?" tanyanya pada Elyana.

Ucapannya sungguh menyindir.

'Dikira aku tidak punya pakaian yang bagus, apa?'

Elyana tersenyum. "Tidak apa-apa, Tuan! Nanti, saya akan memakai segaram pelayan."

Walau wajah dan penampilannya terlihat sangat lusuh, tapi, senyumannya terlihat sangat manis.

Alan—adik dari Alex Danu—berkata pada Elyana dengan senyum genitnya, "Eli, semoga kau betah bekerja di sini."

"Ya, Tuan!" Elyana mengangguk. Sama sekali tidak melihat senyuman Alan pada dirinya.

"Tuan ... Tuan! Tadi, ada telepon dari perwakilan keluarga Demino," seru asisten pribadi Alex dengan tergesa-gesa. Ia menghampiri Alex dan berdiri di sampingnya.

"Tuan Besar Demino mengatakan, akan melanjutkan perjodohan itu," ucapnya lagi pada Alex.

Semua orang terkejut mendengarnya. Tidak terkecuali dengan Alex.

"Apa katamu, tadi? Melanjutkan perjodohan?" Alex merasa ini sebuah mimpi. Tapi juga bahagia dengan kabar ini.

"Bukannya anak sulung mereka selalu menolak perjodohan ini? Tapi, mengapa sekarang dia berubah pikiran?" Alex berpikir sejenak. "Apa mungkin, dia baru menyadari, betapa menariknya putri kami—Isabel!" tebaknya dengan bangga.

"Tentu saja itu benar!" Istrinya mengiyakan. Merasa bangga dengan kabar baik ini.

Padahal, selama ini, ketika Alex dan Tuan Demino ingin menjodohkan anak mereka, pria itu selalu menolak. Dia beralasan "Masih ingin sendiri.". Tapi sekarang, pria itu berubah pikiran.

Seolah, ada keajaiban datang menghampiri keluarga Alex yang sedang terlilit utang pada perusahaan Demino. Semuanya menjadi sangat mudah dengan bersedianya pria itu menikahi Isabel.

Senyum di wajah Alex tidak pernah hilang. Ia berkata pada Fans—asisten pribadinya, "Atur pertemuan kita dengan Tuan Besar Demino. Lebih cepat, itu akan lebih baik."

"Baik, Tuan!"


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C4
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login