Download App

Chapter 2: Umi Rodhiyah yang ku sayang

"Laa". Umi memanggilku sembari menuangkan air panas ke dalam gelasnya. Ya, "Laa" begitulah umi memanggilku. Aku sangat menyayangi umi, begitu juga dengan para santri terlebih para khodam yang lain. Beliau selalu lembut dan tenang.

"Dalem umik". Aku menjawab umi dengan tetap memotong bawang, karena jika aku meninggalkan pekerjaan ku beliau pasti duko, namun aku tetap sering melakukannya karena untuk menghormati umi.

"Nanti umi mau kondangan jam 8 pagi ke temennya abi di pasuruan, kamu yang gantiin umi menyimak setorannya mbak-mbak ya!"

"Njih umi" beliau sering mengutusku untuk menyimak setoran hafalan qur'an para santriwati ketika beliau sedang ada urusan ataupun undangan. Aku ingat pertama kali aku diutus umi menyimak setoran hafalan yaitu 2 tahun yang lalu, tepatnya ketika aku baru saja turun dari wisuda kelulusan tahfidz ku. Saat itu umi mendapat undangan pengajian majlis ta'lim di desa sebelah dan menyuruhku supaya esok hari nya aku mempersiapkan diri untuk menggantikan beliau menyimak setoran, meski aku begitu canggung, namun aku tetap meng iyakan utusan umi itu. Aku sangat gugup namun aku harus terlihat tenang. Aku menirukan gaya umi ketika nenyimak setoran hafalanku. Beliau tegas namun tetap dengan wajah dan nada yang lembut. Aku begitu menyayangi umi Rodhiyah seperti ibuku sendiri.

"Satu lagi, kamu kalau sedang menyimak itu mbok ya jangan menunduk terus! Sekali-kali wajah nya mbak-mbak santri itu perlu dilihat, makhrajnya, tajwidnya sesuai atau tidak. Kamu itu sudah umi angkat sebagai guru badal, maqom kamu itu sudah diatas santri nduk!"

"Njih umik, hehe ngapunten, umi kok tau?".

"Ya tau to, umi kok nggak tau, kamu itu sudah umi anggap sebagai Putri umi. Jangan berlebihan memulyakan umi, umi nggak suka!"

Begitulah umi Rodhiyah yang selalu menegur aku ketika aku salah. Namun itu semua kumaksudkan lagi-lagi untuk menghormati umi. Dan umi lagi-lagi menegur aku ketika aku memulyakan beliau layaknya santri memulyakan guru.

"Oya, umi minta tolong lagi siapapun nanti kalau kalian masaknya sudah matang tolong antarkan makanan ke kamanya Fety ya, dia kan masih sakit belum bisa bangun".

"Njih umi". Jawab mbak-mbak ndalem serentak. Kami memang sangat patuh atas semua perintah keluarga ndalem.

Keesokan harinya aku mengantar abi dan umi sampai halaman depan dan menunggui sampai mobil mereka tak terlihat.

Kemudian aku bersiap-siap untuk menuju pondok Putri tempat biasa umi menyimak setoran hafalan mbak-mbak santri.

Aku mengenakan setelan gamis warna ungu hitam yang umi hadiahkan kepadaku 2 tahun yang lalu ketika aku turun dari wisuda tahfidzku.

Sebelumnya, Umi menjanjikan akan memberiku setelan gamis sebagai penyemangat untuk ku agar aku lekas menyelesaikan ujian tahfidzku yang memang sudah tertunda 5 bulan lamanya karena sesuatu hal.

Dan umi menepati janjinya untuk memberikan gamis cantik itu kepadaku.

Aku bergegas menuju pondok Putri. Karena letaknya di sebelah pondok putra, maka aku harus melewati depan gerbang pondok putra. Dan tak sengaja aku berpapasan dengan gus Muha yang baru selesai mengajar santri diniyah ulya keluar dari gerbang. Aku tak sengaja menatap lurus mata tajamnya, iapun juga menatap ku. Seketika aku langsung tersadar dan menunduk, begitupun dengan dia. Aku benar-benar tidak bisa membohongi batinku, jika aku memang sangat mengagumi sosok gus Muha. Aku benar-benar tidak bisa melupakan kejadian itu.

Sore hari, ketika umi dan abi datang dari hajatannya, umi langsung mencariku di kamar tempatku tinggal bersama Dita, salah satu mbak ndalem yang juga memang sudah lama di pondok ini, dia sedikit lebih lama dariku, sekaligus teman berbagi suka dan dukaku. Kami ditempatkan di kamar yang paling dekat dengan ndalem dan memang khusus untuk kami berdua. Kamar kami terpisah dari para khodam lain yang ditempatkan sedikit lebih jauh dari ndalem umi, namun masih dalam satu kompleks. Aku dan Dita memang sempat menolak, namun umi beralasan bahwa agar beliau lebih mudah ketika meminta bantuan kami, dengan begitu kami tidak dapat menolak keinginan beliau.

"Sahila, ini tadi umi mampir dari butik biasa umi beli hijab. Umi beliin kamu dan Dita hijab, ini kamu yang biru dan Dita yang salem ya, nggak boleh nolak!". Sambil menyodorkan tas berisikan dua hijab.

"Aduh umi ini selalu repot-repot" jawab Dita.

"Iya ini umi"

"Umi lo nggak repot, umi malah seneng bisa belanja-belanja, wong ini umi lo malah digratiskan satu hijab sama orangnya, gara-gara umi sering banget belanja di sana".

"Terima kasih banyak umi". Jawab kami serentak

"Iya sama-sama, umi kembali ke rumah dulu ya, capek habis belanja buanyak ini, mau istirahat" kata umi sambil tertawa.

"Njih umi".

"Mbak, beruntung banget ya kita jadi santri nya umi, beliau udah nganggap kita seperti anak sendiri". Kata Dita setelah umi menutup pintu. Dia memang memanggilku mbak dan aku juga sama, kita saling menghormati.

"Iya, terlebih kita ini santri senior".

"Nggak terasa banget kita disini sudah lebih dari 7 tahun".

"Iya, kasih sayang umi yang berlimpah ruah membuat kita seakan tanpa beban". Begitulah kami saling bertukar cerita.


Load failed, please RETRY

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login