Download App

Chapter 2: 1: Kabar Duka di Lautan

Bagi mereka yang memilikinya, keajaiban terkadang akan terlihat seperti kutukan yang mengerikan, dan bahkan sampai pada taraf yang lebih buruk dibanding kematian. Namun, untuk manusia yang tak pernah melihatnya, keajaiban itu dianggap layaknya permata bening yang amat indah nan berkilau, yang tak ternilai harganya.

Sungguh, pemikiran manusia itu terkadang bisa menjadi sangat aneh. Menarik untuk diulas, tapi benar-benar tak berguna. Bisa juga dibilang brilian, namun amat sia-sia.

Meski begitu, untung saja itu tidak berlaku bagi Rama. Bocah kurus yang masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar itu sudah melihat terlalu banyak hal. Malahan mungkin seharusnya lebih banyak dibanding manusia manapun yang ada di dunia.

Toh, matanya sendiri pun sebenarnya merupakan bagian dari keajaiban itu sendiri.

Entah itu keajaiban yang sangat indah, ataupun yang amat mengerikan, Rama sudah melihat hampir semuanya.

"Hmm..." Rama termenung memandangi Liel yang sedang asyik memungut sampah di lapangan bola. Saat itu masih siang bolong, seperti biasanya, dan hawanya sangat panas, tapi anehnya, bocah gemuk itu sungguh asyik sekali bergerak di bawah terik mentari. 

Aneh bagaimana cara bocah itu menanggapi segalanya. Setelah semua yang telah menimpanya di masa lalu, dia masih bisa tersenyum lebar seperti itu dan bertingkah seakan-akan masa lalunya itu adalah suatu kepalsuan.

Dia sudah pernah berperang, ratusan kali malahan, dan bahkan sebenarnya itu bukanlah yang terburuk. 

"Hey, Rama, sekarang sudah jam berapa, ya?" Tanya Liel yang tiba-tiba berdiri di depan Rama, membuat bocah itu langsung tersadar dari lamunannya. 

"Eh? Ah, baru jam satu, kok." Jawab Rama setelah melihat jam tangannya. "Kenapa emangnya?" 

"Kita ke pantai Toronipa, yuk." Ajak Liel.

"Hmm... Mau ngapain lagi emangnya?" Tanya Rama penasaran.

"Yah, aku ada jadwal membersihkan laut hari ini." Ungkap Liel sambil berlari menjauh dan kemudian melempar kantong sampahnya ke udara, dan pada saat itu pula, kantong itu langsung terbakar oleh nyala api hingga habis tak tersisa. 

Untuk kesekian kalinya, Rama merasa kalau pemandangan itu benar-benar berkilauan dan sangatlah indah di matanya, tapi ia juga tak bisa bohong kalau itu juga sungguh amat menyeramkan.

Bayangkan, jika yang ada di posisi kantong sampah itu adalah seorang manusia. 

Bayangkan jika bocah gemuk membakar seseorang hingga lenyap dan tak tersisa sama sekali.

Itu terlalu mengerikan bahkan untuk sekedar dipikirkan.

"Hey, Dek," ujar seorang pemuda yang tiba-tiba muncul di samping Rama. 

Pemuda yang masih mengenakan helmnya itu bertubuh tinggi dan ramping, dia juga terlihat sangat modis, mengingat jaket kulit hitamnya tampak masih baru. 

Namun, ketika pemuda itu melepas helmnya, Rama langsung terkejut melihat wajahnya yang rupawan bak artis-artis luar negeri. Bahkan rambutnya yang putih pirang sepertinya benar-benar asli. Dan matanya, mata pemuda itu berwarna hijau seperti daun yang masih muda.

"Eh... Ada apa, ya, Kak?" Rama penasaran. 

"Begini, warga disini bilang kalau kau kenal dengan gadis yang bernama Siska Rahwati. Apa itu benar?" Tanya pemuda itu sambil ikut duduk di samping Rama.

Rama merasa lucu waktu pemuda itu langsung duduk di rumput dengan celananya yang jelas-jelas masih baru. Bahkan dari caranya berbicara seolah menjelaskan kalau dia memang orang Indonesia pada umumnya.

"Ah, iya, aku kenal, kok." Jawab Rama. "Tapi, Kakak ini siapa? Ngapain Kakak nyari Mbak Siska? Dan ngomong-ngomong, namaku Rama Wiranaga. Tapi panggil Rama aja."

"Ah... Aku Aria Zohara. Aku muridnya Siska." Jawab pemuda itu sambil memandang heran Rama.

"Murid...?" Entah kenapa kata itu jadi terdengar cukup ganjil karena cara pemuda itu mengatakannya. "Tapi, kayaknya kalian seumuran, deh. Emang dia ngajarin apa ke Kakak?"

"Lho, adek jangan kepo, dong. Intinya aku ini muridnya dia, dan Siska itu guruku. Pokoknya dia mengajarkan sesuatu padaku." Kening pemuda itu mengkerut, alisnya melengkung, dia tampaknya semakin heran dengan Rama. "Ini cuma aku aja, atau memang kamunya ini yang memang bukan anak kecil biasa?" 

"Yah, karena dia memang bukan anak kecil biasa." Ujar Liel yang ternyata sudah berada di depan mereka.

Rama langsung merasa agak mual karenanya. Perutnya seakan baru dikocok. Orang-orang seperti Liel dan Mbak Siska terkadang suka melakukan sesuatu dengan tiba-tiba. Itu seperti semuanya terjadi begitu saja. 

Seolah-olah mereka bisa mencapai garis akhir, tanpa harus membuat langkah awal. Ya, seperti yang seharusnya, ajaib sekaligus menyeramkan.

"Eh... Perasaan aku normal-normal aja, kok." Celetuk Rama sedikit kesal sambil menelisik dirinya sendiri. 

"Hmm... Eh? Kamu ini bukannya seorang Havengard, ya?" Liel bertanya.

Namun, pemuda itu tampaknya sangat terkejut ketika melihat Liel. Mata Aria terbuka lebar, dan mulutnya menganga. "Eh! Pengawas Dunia!? Tuan Muda Gamaliel!?" Aria panik seketika setelah menyadari jati diri dari sosok bocah gemuk di depannya.

Pemuda itu buru-buru bangkit dan berniat berlutut satu kaki di depan Liel, tapi bocah gemuk itu langsung menjentikkan jarinya, dan membuat gerakan Aria terhenti begitu saja, seolah dia adalah sebuah patung.

"Hey! Apa yang mau kau lakukan? Sadar, woy! Ini bukan saat yang tepat buat melakukan hal semacam itu." Ucap Liel sambil menepuk jidat.

"A-Ah! Maafkan aku, Tuan Muda–Maksudku, Liel!" Ujar Aria yang malah terbata-bata karena saking gugupnya. "Saya benar-benar minta maaf atas tingkah saya yang memalukan ini!"

"Eh... Tolong hentikan semua itu." Liel menggaruk-garuk lehernya dengan gelisah. "Kau tahu aturannya. Coba tenangkan dirimu dulu. Dan ingatlah kalau kita tidak pernah saling kenal sejak awal." 

"Ah... Anda–maksudku, kau benar! Kita, kan, nggak saling kenal, ya?" Aria memaksa tenggorokannya untuk tertawa, membuat dirinya yang seharusnya terlihat keren menjadi tampak seperti orang tolol.

Ngomong-ngomong soal aturan, Liel dan orang-orang seperti dirinya tampaknya memang dilarang untuk saling berinteraksi secara sengaja dengan satu sama lain. 

Maksudnya, walaupun sejak lama mereka sebenarnya sudah saling kenal dalam ketidaknormalan, tapi saat bertemu di dalam kehidupan normal seperti ini, mereka diharuskan untuk bertingkah seakan-akan mereka memang tidak saling mengenal satu sama lain. 

Jadi, jika memang mereka ingin berhubungan lagi seperti dulu, mereka wajib untuk kembali mengulang semuanya. Mereka harus saling memperkenalkan nama masing-masing, layaknya orang yang baru saling kenal.

Jika dipikir sekejap, itu malah terasa seperti tragedi sebenarnya, mengingat mereka dipaksa melakukan hal yang tidak diinginkan dengan alasan yang bodoh dan tak berarti sama sekali. 

Itu seperti seseorang yang sudah sangat handal dalam bermain piano sejak kecil, tapi karena itu adalah rahasia, ia jadi terpaksa berlatih lagi dari awal, dan mengikuti langkah-langkah yang sudah ditetapkan, agar ia bisa menunjukkan pada orang tuanya bahwa dia mampu bermain piano, dan diterima oleh orang-orang.

Tragis sekali kalau dipikir-pikir.

"Mas ini, Aria, kan?" Liel mulai berakting dan melakukan hal yang harus dilakukannya dari tadi.

"Ah... Iya. Aku Aria Zohara." Jawab pemuda itu pelan. Wajahnya yang tadi terlihat konyol, sekarang menjadi suram. Dia tampak sangat tertekan saat ini.

Rama yakin kalau Aria pasti benci sekali dengan semua aturan-aturan itu. 

"Kalau begitu, sekarang aku ingin menanyakan beberapa hal. Kenapa Mas Aria datang jauh-jauh dari Jakarta sampai berani meninggalkan pos buat menemui Mbak Siska?" Liel bertanya.

"Eh, kami akan mengadakan reuni besar di Bali tiga hari lagi, dan semua mantan Havengard juga diundang. Dari generasi paling pertama sampai yang baru saja pensiun." Jelas pemuda itu. "Jadi, aku datang kesini untuk mengundang Guru secara langsung. Sekalian liburan, tentu saja."

"Ah... Begitu rupanya. Jadi itu kamu, ya? Bocah kecil yang dipungut Mbak Siska di hutan waktu dulu." Ungkap Liel. "Kamu udah besar banget ternyata."

Mata Aria terbuka semakin lebar lagi saat mendengar perkataan Liel barusan. Sepertinya dia terkejut karena Liel mengetahui hal yang seharusnya menjadi rahasia.

"Hah? Bocah yang dipungut Mbak Siska? Lah-lah! Mbak Siska umur berapa, sih!?" Rama syok mendengar kenyataan itu, tapi sayangnya baik Liel maupun Aria memilih untuk menghiraukan pertanyaan Rama.

"Baiklah, aku mengerti situasinya. Tapi sebelum aku memberitahumu dimana Mbak Siska tinggal... Aku ingin Mas ikut dengan kita berdua pergi ke pantai sekarang."

"Eh? Pantai mana? Ngapain?" Tanya Aria terkejut, sementara matanya beralih memandang Rama di sampingnya. "Tapi, bukannya dia ini... Manusia?"

"Nggak apa-apa, kok. Dia sudah tahu. Segalanya..." Ungkap Liel.

"Ah... Kalau begitu, aku pulang dulu, ya?" Rama angkat bicara. "Aku belum siap-siap soalnya."

"Lah? Emang kamu mau siapin apa lagi, sih? Kita nggak bakalan berenang, kok." Liel mengangkat tangan kanannya ke depan wajah Rama, dan kemudian menjentikkan jarinya. 

Diiringi suara guntur membahana, petir hijau tiba-tiba turun dari langit, dan menyambar ketiga orang itu. 

Meski cuma sesaat, Rama dibuat hampir buta karena cahayanya yang amat terang. 

Lalu, ketika ia mulai mendapatkan penglihatannya kembali, Rama pun akhirnya sadar kalau ia sudah tak berada di lapangan Sorumba lagi. Petir hijau tadi ternyata telah membawa mereka ke tempat yang sangat berbeda dibanding sebelumnya.

Hamparan air yang biru dan berkilauan kini terbentang di depan Rama, dan di ujung cakrawala sana, bocah itu bisa melihat langit dan lautan yang seakan sedang bertemu dan sedikit lagi akan menyatu. 

Rama pun mencium aroma asin garam dari air laut yang dibawa oleh hembusan angin. Sungguh wanginya membuat Rama bernostalgia. 

Rama dan Liel mengambil nafas dalam secara bersamaan, lalu. menghembuskannya dengan perlahan. 

"Hah... Mau dilihat berapa kalipun, pemandangan seperti ini memang tidak pernah membosankan, bukan?" ungkap Liel.

Rama mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Ada banyak orang yang sedang berenang di sana, sedangkan sebagiannya lagi memilih untuk bersantai di gazebo sambil menikmati angin sepoy.

Akan tetapi, selang beberapa detik, bocah itu akhirnya sadar kalau semua orang yang ada di sana ternyata kini tengah memandang ke arah Rama. 

Tidak, bukan Rama, tapi Aria.

Rama menoleh dan memandang sosok lain yang sekarang berdiri menggantikan pemuda tampan itu.

Sosok besar nan kekar yang dilapisi baju zirah baja lengkap dari ujung kaki hingga ujung kepala yang seluruhnya berwarna putih bersih seperti susu. 

"Ah... Perlengkapanku jadi keluar sendiri gara-gara berteleportasi secara tiba-tiba." Ucap sosok kesatria itu. Suaranya memang terdengar agak aneh karena helm yang menutupi kepalanya, tapi Rama yakin betul kalau orang yang ada dibalik zirah putih itu adalah Aria.

"Yah, kita nggak akan lama, kok," ungkap Liel sembari melangkah maju menuju ke bibir pantai, sementata Aria dan Rama mengikuti dari belakang.

Namun, tetap saja Rama benar-benar tidak bisa terbiasa dengan mata orang-orang yang masih tertuju ke arahnya.

Rasanya sungguh tidak nyaman ditatap dengan cara seperti itu.

"Hiraukan saja." Ucap Aria sewaktu Liel mulai berjongkok di dekat air, dan mencelupkan tangan kanannya ke dalam. "Sudah jelas kalau mereka merasa heran karena kita muncul tiba-tiba. Tapi, setelah kita pergi dari sini, mereka nggak akan ingat apa-apa, kok."

"Hah? Kok bisa?" Rama heran lagi.

"Entahlah. Cara kerjanya dari dulu memang sudah begitu." Aria menjelaskan. "Mungkin, karena Tuhan tahu, kalau kalian, manusia, tidak layak buat melihat keajaiban. Mau kau membuat lubang disini dengan kekuatan paling dahsyat sekalipun, pada akhirnya, manusia nggak akan bisa mengingat apa penyebabnya."

Rama termenung sejenak untuk mencerna penjelasan itu. Apa yang dikatakan Aria barusan juga telah menjawab lagi satu pertanyaan Rama. 

Selama ini, mau segaib apapun hal yang Liel ciptakan, mau sebesar dan segila apapun itu, anehnya orang-orang yang terkadang lewat dan melihatnya pun seakan tidak benar-benar menyadarinya. 

Manusia di sekitar mereka tak pernah memperdulikan semuanya itu, dan terus berjalan seolah tak ada yang terjadi.

"Jadi begitu, ya." Rama bergumam dengan penuh keyakinan, sementara Aria hanya bisa keheranan melihat tingkah bocah itu. Akan tetapi, Rama tiba-tiba tersadar dengan satu hal penting yang ia lupakan.

Rama buru-buru mendekati Liel dan berbisik di telinganya. "Anu, Liel, kenapa kamu nggak langsung kasih tahu dia tentang Mbak Siska, sih?"

"Eh... soalnya aku juga bingung mau ngomong gimana." Jawab Liel yang kini memasang raut wajah yang pahit. 

Mbak Siska sudah meninggal dua minggu lalu, itulah kenyataannya. Meski begitu, kedua bocah itu juga tak tahu harus mengatakan apa pada Aria, dan ketika mereka menyadari situasi yang rumit itu, angin yang amat kencang seketika berhembus dari ujung cakrawala.

Perasaan nyaman yang mereka dapatkan ketika sampai di sini tadi, kini sudah lenyap digantikan rasa cemas yang melanda kedua bocah itu. 

"Anu... Mas Aria tahu nggak alasan kenapa Mbak Siska berhenti jadi Havengard?" Liel angkat bicara, sementara tangannya masih berada di air menunggu sesuatu.

"Karena Guru nggak mau kuliah di Jakarta." Jawab Aria cepat. "Setelah seorang Havengard mencapai menjalani kehidupan di dunia ini selama delapan belas tahun, mereka diwajibkan untuk kuliah di Jakarta, dan menempati pos baru."

"Jadi, Mas tahu, nggak? Alasan dia nggak mau kuliah dan memilih buat melepaskan gelar yang hebat itu." Tanya Liel lagi.

"Ah... Itu yang aku nggak tahu." Jawab Aria terkekeh.  

"Ada sekuntum bunga putih di hutan tempat Mbak Siska memungutmu dulu." Liel menjelaskan. "Bunga itu mirip seperti mawar putih, tapi orang-orang dari kampung halaman Mbak Siska mengenalnya sebagai bunga Avantem." 

Seakan bisa mengerti bagaimana situasi saat ini, Aria hanya diam waktu Liel bercerita. 

Tiba-tiba saja, garis-garis cahaya biru gelap perlahan mulai timbul di permukaan air laut. Cahaya itu mengalir dari segala arah seperti jutaan benang yang berhamburan, dan berkumpul di tempat dimana Liel mencelupkan tangan kanannya. 

Semakin banyak cahaya yang terkumpul di tangan Liel, semakin terang pula cahayanya, dan ketika bocah gemuk itu menarik tangannya, cahaya di air pun langsung padam, dan kini sebuah kelereng hitam yang berpendar telah berada dalam genggamannya.

Kotoran Lautan, atau begitulah Liel menyebutnya tadi.

Liel melanjutkan. 

"Bunga Avantem sudah punah ketika peperangan ratusan tahun lalu. Begitu pula dengan kampung halaman Mbak Siska, mengingat bunga itu hanya tumbuh di sana. Tapi, Mbak Siska tetap tak bisa melupakan keindahannya, karena keberadaan bunga itu sudah sama seperti keluarganya sendiri." 

Liel bangkit berdiri dan menatap bola kecil itu lamat-lamat. "Mungkin ini terdengar bodoh banget, tapi bunga itu adalah alasan Mbak Siska nggak mau kuliah di Jakarta dan berhenti menjadi Havengard. Karena jika dia pergi, maka nggak akan ada lagi yang menjaga bunga itu."

"Seseorang kadang memilih untuk berhenti bukan karena dia takut untuk melangkah lebih jauh, tapi karena dia memiliki sesuatu yang penting yang harus dijaga. Sesuatu yang amat berharga, tak tergantikan, dan hanya ada satu. Dan satu-satunya yang bisa menjaga itu, adalah dirinya sendiri..." Ujar Aria pelan. "Guru dulu sering bilang begitu..." 

"Ya... Aku juga ingat." Liel langsung meremas bola bercahaya itu sampai hancur menjadi debu, dan ketika ia membuka kepalan tangannya, hembusan angin langsung membawa debu-debu itu terbang ke angkasa hingga tak terlihat lagi.

"Bunga putih di hutan itu mati, sekitar sebulan lalu." Kini Rama yang angkat bicara. "Percaya nggak percaya, kematian bunga itu benar-benar telah mempengaruhi Mbak Siska. Ditambah lagi, situasinya dengan keluarganya beberapa tahun belakangan ini membuat keadaan Mbak Siska jadi semakin parah... Parah banget pokoknya... " 

Entah kenapa hati Rama terasa jadi sangat berat sekarang. Bocah itu melirik sedikit ke arah Aria, tapi pemuda itu diam seperti batu sekarang. Padahal tadi saat Liel menceritakan semuanya, Rama masih sempat mendengar suara nafas Aria dari balik helmnya, namun sekarang, sudah tak terdengar apa-apa lagi. 

"Mbak Siska meninggal." Ucap Liel singkat.

Rama yang mendengarnya langsung merinding, bahkan agak sakit sebenarnya, seakan ada pisau yang baru saja menusuk perutnya.

Rama ingin memprotes tadi, tapi dia sama sekali tak bisa berbicara. Kata-katanya seakan tersangkut di tenggorokannya. 

"Mbak Siska sudah nggak tahan dengan dunia ini, dan lebih memilih buat menyerah." Jelas Liel. "Aku... Aku sudah menawarkan bantuan... Namun, dia nggak mau. Dan kau juga tahu, kan? Aku nggak punya hak buat memaksa..."

"Sepertinya... Aku nggak begitu berarti di mata Guru." Aria akhirnya bersuara. Meskipun terdengat jelas kalau bibirnya gemetaran.

"Tidak. Mas salah." Kilah Rama penuh keyakinan. Dia berusaha keras memaksa dirinya sendiri agar kata-kata itu keluar dari mulutnya. "Nggak mungkin begitu, Mas."

"Tapi... Guru jelas memilih untuk meninggalkanku... Padahal... dulu dia pernah berkata kalau aku adalah anggota keluarganya." Gumam Aria yang tampaknya sudah diambang keputusasaan. "Nggak kusangka kalau dia bohong sama aku..."

"Bukan... Bukan begitu," ucap Rama sungguh-sungguh. "Harusnya Mas lebih tahu kenapa dia memilih buat pergi. Aku yakin, Mbak Siska mengambil pilihan itu karena nggak mau merepotkan siapapun lagi." 

"Tapi..." Aria ingin mengatakan sesuatu untuk membenarkan pemikirannya, namun Liel langsung memotong.

"Sebaiknya, Mas tenangin diri dulu." Liel menyarankan dengan tulus. "Kita berdua tahu betul orang seperti apa Mbak Siska. Bahkan dulu, dia lebih memilih buat maju sendirian melawan pasukan musuh, dari pada harus mempertaruhkan nyawa teman-temannya."

Aria kini terdiam seribu bahasa.

"Kenyataan hidup kita memang sudah seperti ini... Tapi, aku yakin, kalau Mbak Siska ingin agar kamu melanjutkan hidupmu." Liel tampaknya sudah memutuskan untuk mengakhiri percakapan mereka. 

Bocah gemuk itu lalu memberi isyarat pada Rama, dan keduanya pun mulai melangkah pergi meninggalkan pemuda berzirah itu sendirian di sana.

"Sampai jumpa." 

"Dadah, Mas." Tambah Rama.

Tak butuh waktu lama, petir hijau tiba-tiba turun dari langit dan menjemput kedua bocah itu.

Namun, Rama sempat menoleh ke belakang dan melihat Mas Aria jatuh berlutut sebelum cahaya hijau yang amat menyilaukan memenuhi pandangannya.

Dunia ini sudah sangat keterlaluan, pikir Rama kala itu.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login