Download App

Chapter 2: Sahabat Rasa Saudari

"Ibu ngomong apa, sih?" Julu masih berharap, jika semua itu hanyalah mimpi belaka. 

Akan tetapi, tidak! Itu bukan mimpi semata, melainkan kenyataan pahit yang July akan jalani dengan terpaksa menikahi pria yang belum pernah ia temui, maupun ia kenal.

"Aku tetap akan menikah. Setelah ini, mari kita ke kantor urusan agama untuk mengurus semuanya," ajak July. 

July menarik nafas dalam-dalam, lalu mengatakan bahwa dirinya siap menikah dengan putra Nyonya Fahira. 

"Kamu yakin?" tanya Marwiyah. "Ibu hanya tidak mau, jika kamu berubah pikiran saat acaranya sudah dekat," imbuhnya.

"Bismillah. Tapi sebelumnya … bisakah Ibu mempertemukan aku, atau memberikan kontak Pria itu kepadaku? Aku hanya ingin mengenalnya sebelum menikah," pinta July dengan lirih. 

Marwiyah mengatakan bahwa dirinya dilarang menceritakan apapun tentang siapa putra dari Nyonya Fahira yang sebenarnya. Marwiyah hanya bisa menyebutkan namanya saja, atau July tidak akan menikah dengan pria itu, karena statusnya yang sudah duda. Akan ada banyak pertanyaan jika Marwiyah menyatakan kenyataan itu.

"Kamu akan bertemu dengan putra Nyonya Fahira di saat hari pernikahan terjadi nanti, July," jelas Marwiyah. 

"Mengapa seperti itu?" tanya July masih tidak percaya. 

"Itu yang mereka katakan. Anak dari Nyonya Fahira sedang berada di luar negri saat ini. Jadi, kamu tidak bisa bertemu maupun menghubunginya," Marwiyah tidak terkesan menutupinya. Tapi memang dirinya belum pernah bertemu dengan anak dari Nyonya Fahira itu.

Tak ada yang perlu di bahas lagi. July hanya bisa diam menanti hari pernikahan itu datang. Setelah selesai sarapan, Marwiyah bersama dengan July segera datang ke kantor urusan agama untuk mengurus berkas miliknya. 

Sekitar 15 menit selesai. Masih dengan murung, July pamitan kepada Marwiyah untuk berangkat bekerja di cafe milik temannya yang bernama Velove Kenes (21). 

"Iya, kamu hati-hati," ucap Marwiyah. 

"Assalamu'alaikum, Bu," salam July. 

"July, ini semua Ibu lakukan juga untuk kebaikan kita. Aku sudah lelah terus-terusan merawatmu. Aku tidak sabar lagi untuk bisa menemukan pasangan yang aku inginkan," gumam Marwiyah. 

"Jadi, kamu harus mengalah, ya. Kamu menikah lebih dulu, agar Ibu juga bisa menikah," imbuhnya berlalu pergi.

July berjalan dengan pelan mengayuh sepedanya. Harapannya pupus untuk menjadi seorang dokter karena dipaksa menikahi pria yang sama sekali belum ia jumpai. 

"Semoga saja, pria itu tidak jahat. Aku takut, jika pria itu tidak mudah aku senangkan," gumam July.

Tapi, sebelum sampai ke cafe, ban sepeda July mengalami kebocoran. Hingga dia harus mendorong dengan jauh sampai menemukan bengkel terdekat. 

"Ya Tuhan, segala pakai bocor segala. Sudah jam berapa ini? Aku janji dengan Velove mau datang lebih awal pula!" 

Usai menambal ban sepedanya, July segera pergi ke cafe milik sahabatnya. Dahulu, July pernah menyelamatkan si pemilik cafe dengan mendonorkan darahnya. Maka dari itu, si pemilik cafe menawarkan pekerjaan kepadanya.

"Vel, sorry aku telat." teriak July sesampainya di cafe milik sahabatnya itu. 

"Kemana aja? Jam segini baru datang, loh," sapa Velove dengan santai. 

"Iya, tadi sepedaku bannya bocor. Jadi kudu nambal dulu. Itu aja pakai antri segala, maaf, ya, Vel," ucap July terlihat sekali panik. 

"Santai saja. Minum dulu sana, istirahat sebentar dan baru mulai kerja kalau sudah hilang capeknya. Aku mau keluar dulu, nitip cafe," Velove sangat baik kepada July karena sudah menganggapnya seperti saudara sendiri. 

Selama bekerja di cafe, July selalu menerima perlakuan khusus dari Velove. Apapun yang ada dalam pikiran Velove hanya kebaikan untuk sahabatnya itu. Sampai dimana Velove kembali dari urusannya dan mulai berbincang dengan July. 

"July, masuk ke kantor. Aku mau bilang sesuatu," panggil Velove. 

"Iya," 

Sesegera mungkin July memenuhi panggilan dari Velove. Tak ingin membuat seorang yang telah berbaik hati kepadanya menjadi kecewa. "Ada apa, kak. Kenapa Vel memanggilku?" tanya July. 

"Duduk dulu," pinta Velove dengan cuek. Memang orangnya seperti itu, Velove sangat cuek, bahkan dengan pria saja selalu dingin sikapnya. 

"Aku dengar dari beberapa karyawan, kau lulus dengan nilai yang hampir sempurna. Jadi, terima ini sebagai hadiah, karena kamu berhasil lolos dengan sangat baik," ucap Velove dengan menyodorkan sebuah kertas. 

"Ah, kenapa harus repot-repot, sih? Aku sangat berterima kasih kamu menerimaku sebagai karyawan paruh waktu. Masa iya, masih menerima hadiah, nggak enak sama karyawan lain, kak," ucap Julu merasa tidak enak hati. 

"Kenapa harus merasa tidak enak? Semua karyawan kan tau banget kalau kamu ini adikku, bukan karyawanku. Nggak ada salahnya dong jika aku memberikan kamu kamu hadiah kelulusan? Ayo buka!" pinta Velove. 

July terkejut dengan hadiah yang Velove berikan. Beasiswa kuliah jurusan kedokteran seperti yang ia inginkan. Merasa menyesal karena harus menolak, July hanya bisa menangis dan terus menangis. 

"Loh, kok nangisnya gini? Kamu kenapa, Jul?" tanya Velove heran. 

"Hua ... Aku tidak bisa menerima beasiswa ini, Vel. Kenapa kamu selalu baik kepadaku? Aku tidak enak hati menolaknya," July semakin tidak terkendali. 

"Iya, kenapa? Bukankah kamu ingin sekali kuliah di kejuruan ini? Kenapa kamu tidak bisa menerima? Apa karena Ibu lagi?" Velove masih berusaha menanyakan alasannya sahabatnya itu menolak. 

Belum bisa mengungkapkan, July masih menangis. Bibirnya sulit untuk mengatakan bahwa dirinya dipaksa menikah karena hutang Ibunya. 

"July, kamu kenapa?" tanya Velove masih lembut. Tapi tangisan July benar-benar membuat Velove kesal, karena tidak berterus terang kenapa dirinya menangis. 

"July! Katakan!" bentak Velove sembari menggebrak meja. 

"Aku akan menikah!" terkejut, spontan July mengatakan tentang pernikahannya. 

Velove tercengang, ia terus memandangi July dengan pandangan sedih. "Apa ini karena hutang, Ibumu?" Velove mampu menebak. 

"July, kenapa kamu diam. Berapa hutang Ibumu, biarkan aku yang membayarkannya. Kenapa juga kamu harus menikah dengan pria yang tidak kamu sukai hanya karena membayar hutang Ibumu?" Velove terbawa emosi sampai menggebrak meja lagi. 

"Ibuku hutang juga karena membiayai hidupku, Vel. Dan ini bukan masalah nominal, keluarga lintah darat itu menginginkan keturunan," jelas July. 

"Jadi?" sungut Velove. 

"Aku harus menikah dengannya sampai bisa memberi mereka keturunan. Setelah itu, anak dari lintah darat itu, akan menceraikan aku," sebaknya hati July kala mengatakan kenyataan itu.

Velove mengepalkan tangannya. Merasa tidak terima jika sahabat rasa adiknya itu dipaksa demi kepuasan orang lain. 

"Jadi kamu nikah kontrak? Bukankah itu dilarang di negara ini dan di agama? Aku memang bukan ahli agama, tapi itu kan--" 

"Aku nikah resmi, Vel. Tolong, kamu jangan marah padaku," sela July dengan menundukkan kepalanya. 

Velove ingin sekali melunasi hutang Ibu dari sahabatnya itu. Namun, July sendiri tidak ingin Velove melakukan hal itu. Jika Velove membayarkannya, itu tidak akan menyelesaikan masalah, karena yang diminta Nyonya Fahira adalah seorang keturunan. 

Kesal, Velove merobek beasiswa yang ia berikan kepada July. Kemudian memeluk July, menguatkannya dan juga akan mendukung apapun yang akan terjadi. 


Load failed, please RETRY

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login