Download App

Chapter 2: 2. Obrolan

Malam ini, Luna berdandan sederhana, as usual. Ia mengenakan gaun semi formal berpotongan A-line sebatas lutut dengan lengan panjang berwarna putih dengan lace di ujung gaun. Rambutnya ia gerai dan di jepit di satu sisi kepalanya. Make up natural pun mempercantik penampilannya.

Tepat pukul 19.00, ia keluar dari kamar dan menuju ruang tengah. Sampai disana, kedua saudarinya, Papa dan Mamanya sudah berkumpul. Dibandingkan dengan semua orang, penampilan Luna paling sederhana. God, ini cuma makan malam, pikirnya. Bukan pesta pernikahan.

Arman mengenakan setelan jas lengkap dengan berwarna biru dongker, kemeja hitam dan dasi kelabu. Winona mengenakan maxi dress berwarna senada dengan jas suaminya yang terdapat belahan hingga paha atas pada gaunnya. Riasannya yang tajam sangat mencolok, seakan menunjukan kesempurnaan wajahnya. Begitu juga dengan Kimberly and Thalia.

Kimberly dengan seath dress ketat berwarna merah dengan panjang mencapai petengahan paha. Sedangkan Thalia dengan one shoulder dress dengan potongan asimetris berwarna hitam yang panjangnya hanya sepaha. Dan, dadanan mereka tak kalah total dengan sang Mama. Well, tidak heran. Mereka terbiasa menghadiri pesta bersamaan – as family –, penampilan Luna membuatnya merasa terasing.

Kami menunggu di ruang tengah dan duduk di sofa. Sang Papa dan Mama asyik membicarakan berbagai hal, Kimberly dan Thalia berkutat dengan ponselnya. Begitu juga dengan Luna. Ia sibuk membuka email dari mantan rekannya di Aussie.

Tak lama kemudian, terdengar deru mesin mobil. Pelayan datang dan mengabari bahwa tamu yang ditunggu telah tiba. Papa dan Mama keluar menghampiri tamunya, sedangkan ketiga anaknya masih cuek dan fokus pada ponselnya.

Suara orang berbincang mendekat ke ruang tengah. Luna memutuskan mengakhiri kegiatannya dengan ponsel dan berdiri. Begitu juga dengan kedua saudarinya. Saat kedua orang tuanya datang diikuti sepasang suami istri, mereka saling melempar senyum.

"Nah, Zal, ini ketiga putriku. Kamu masih ingatkan dengan Kimberly dan Thalia? Aku pernah membawanya ke pesta peresmian cabang perusahaanmu di Lombok." Perintah Papa. Luna melihat 'Zal' – sang tamu pria – mengangguk, sedangkan istrinya tersenyum.

"Iya saya ingat mereka. Itu anak kamu yang bertunangan dengan putra Alfons kan? Siapa namanya? Arkhan ya kalo tidak salah?" kata Zal seraya menunjuk Kimberly.

Kimberly melebarkan senyumnya. "Benar Om, saya Kimberly, tunangan Arkhan."

"Arkhan ya? Teman sekolah Demy. Seingat Tante, Demy pernah bercerita kalo dia sering sekali berkompetisi dengan Arkhan. Mereka selalu bersaing dalam segala hal. Beruntung mereka tidak bersaing memperebutkan kamu ya! Oh, atau memang itu juga?" tanya si wanita semangat menceritakan Demy.

Luna memperhatikan antusiasme si wanita bercerita tentang anaknya. Nah, begitulah harusnya raut seorang ibu saat mengingat anaknya, pikir Luna. Senang dan bersemangat. Lalu siapa Demy? Anaknya?, batin Luna.

Kimberly tertawa sopan, dengan menutup mulutnya. "Demy? Saya kenal dengannya. Lagipula, siapa yang tidak mengenalnya. Pengusaha muda tampan, sang cassanova. Beberapa kali kami memang pernah bertemu. Mereka seperti anak-anak yang selalu memperebutkan segala hal. Tapi, saya tidak punya hubungan apa-apa selain teman, Tante." Jelasnya.

Si wanita tertawa lirih, begitupun semua orang. Hanya Luna yang diam kebingungan. Ia tidak tau apa yang mereka bicarakan.

"Kalo yang disebelahnya Thalia kan?" tanya si wanita.

Thalia tersenyum lebar dan mengangguk sopan. Attitude mereka bagus sekali, Luna menahan dengusannya dalam hati. Yaah, setidaknya di depan orang lain.

"Benar Tante." Jawab Thalia. "Selamat malam, senang bisa bertemu Tante lagi."

Si wanita kembali tersenyum. Nampak sekali si wanita merupakan wanita yang ramah. Hanya saja, wajahnya yang aristokrat dan anggun akan terlihat jutek bila tak berekspresi. Namun, terlihat jelas dari sudut bibir dan matanya, jika ia suka menebar senyum.

"Dari ucapan Thalia, seperti sudah kenal lama dengan Jeng Rani. Sebelumnya kenal dimana?" Kini sang Mama tidak tinggal diam ikut berkomentar.

"Thalia kan pernah ikut ajang modelling, Ma, dan Tante Rani ini salah satu jurinya. Selain itu, Tante Rani juga aktif di kegiatan sosial yang sering diadakan oleh stasiun televisi yang menayangkan acara perlombaan itu. Thalia beberapa kali juga diundang untuk ikut. Benar kan Tante?" sahutnya dengan sopan pada si wanita – Tante Rani.

"Yaa, begitulah sibuknya sebagai istri pemiliki stasiun televisi. Hanya sebagai istri saja sudah begini repotnya, bagaimana yang memimpin perusahaannya." Jawab Tanta Rani.

Semua tertawa lagi. Duh!

"Beruntung kami mempunyai anak-anak yang sudah sangat mampu menggantikan kami memimpin perusahaan." Tambah si suami.

"Lalu yang ini? Siapa nama kamu, sayang?" tanya Tante Rani penuh perhatian. Tatapannya kini mengarah pada Luna.

Luna yang diam memperhatikan keenam orang dihadapannya bereaksi lambat saat tiba-tiba Tante Rani bertanya padanya.

Ia tergeragap dan dengan cepat berusaha menguasai ekspresi wajahnya. Ia tersenyum. Baru saja akan membuka mulut, ucapannya dipotong sang Papa.

"Nah, ini dia anakku yang baru kembali dari Australia. Ini Luna yang ingin aku kenalkan pada kalian." Luna yang agak kesal hanya memasang senyum terpaksa.

"Ooh, ini Luna? Cantik sekali, Win." Ujar Tante Rani pada Mama. "Selamat malam, sayang?" sapanya pada Luna.

"Selamat malam, Tante. Selamat malam, Om." Akhirnya, Luna dapat mengeluarkan suaranya.

Seperti dugaannya, pasangan suami istri dihadapannya terlihat mengernyit mendengar jawaban Luna. Lebih tepatnya suara yang keluar dari mulut Luna. Jangankan orang asing, kedua saudarinya saja masih akan cekikikan setiap mendengarnya bicara, seperti sekarang.

Ya, aneh. Suara Luna memang sedikit aneh. Suaranya terdengar serak dan lowertone. Serak yang dimiliki Luna sama sekali bukan serak basah nan seksi. Namun, tipe serak mengganggu yang membuat orang mengernyit. Suaranya bahkan tidak dapat masuk ke dalam nada, karena terlalu rendah. Serak dan cempreng, pelan dan mengganjal. Itulah jenis suara Luna. Dalam kondisi normal ia merasa suaranya mirip dengan Marge Simpsons di kartun The Simpsons. Dalam kondisi serak, suaranya akan lebih parah, seperti smeagol di film Lord Of The Rings atau bahkan doraemon.

Luna kembali menunduk tidak berani menatap kedua tamu di hadapannya.

Suasana menjadi awkward. Tante Rini berdehem. "Oh iya, katanya Luna ini lulusan interior design di Australia kan? Kamu punya kenalan mungkin Mas?" tanyanya pada suami.

"Siapa nama kamu, Nak?" tanya Om Zal.

Luna berdehem, berharap suaranya lebih baik. "Aluna Melody, Om." Jawabnya pelan. Lagi, terdengar tawa lirih dari sebelahnya.

Tante Rani sedikit mengernyit dan melirik kedua orang yang terkikih lirih. Ada kilatan tidak suka disana.

"Jadi, Om Rizal, suami Tante ini punya sahabat di bidang arsitektur di Australia. Sekarang pun sedang membangun perusahaan baru di bidang properti. Kemungkinan ruang lingkupnya tidak jauh, bukan?" terang Tante Rini.

Om Rizal yang awalnya nampak sedang berpikir, tiba-tiba rautnya seperti mengingat sesuatu. "Ah! Om seperti pernah mendengar nama Aluna Melody. Itu salah satu designer muda berbakat yang pernah mendapat penghargaan The Most Young Interior Designer di Aussie karena ide kreatifnya. Jadi itu kamu?" ucapnya dengan mata berkilat. Seperti bangga atau senang, itu yang dipikir Luna. Namun ia segera menepisnya.

Tante Rini tersenyum lebar saat itu. Papa dan Mamanya mengernyit aneh, seakan baru mengetahuinya. Mereka memang baru tahu. Well, mereka memang tidak tahu apapun tentang kehidupan Luna selama di Australia. Kedua saudarinya menatap Luna seakan menilai dengan pandangan sinis.

Luna tersenyum sopan dengan sedikit tersipu. "Penghargaan itu terlalu berlebihan. Saya masih terlalu hijau untuk disebut designer berbakat." Katanya merendah. Ia memang tidak percaya mendapatkan penghargaan itu. Ia merasa hanya beruntung karena mengenal orang-orang hebat juga mempunyai tim yang solid sehingga namanya cepat dikenal.

Setiap kali bicara, Luna terbiasa tidak menatap orang yang diajaknya bicara. Ia tidak ingin melihat ekspresi aneh dan menghina dari lawan bicaranya. Ia terbiasa menunduk atau mengalihkan pandangan. Sehingga ia tidak dapat melihat kedua tamunya saling melempar senyum, seakan berkomunikasi dengan isyarat.

"Oh, astaga! Bodohnya aku! Kita bicara panjang lebar dari Indonesia ke Australia tapi aku bahkan tidak mempersilahkan kalian duduk. Maaf. Maafkan aku, Zal. Duduk. Duduk Zal, Rin. Haha" Seru Papanya heboh.

Pasangan suami istri itu tersenyum lebar nampak tak mempermasalahkan, yang lain tertawa pelan, Luna sendiri hanya memasang senyum. Mereka semua akhirnya duduk.

"Oh iya, mana anak kamu Jeng? Katanya mau kamu bawa?" tanya Mama seakan baru teringat sesuatu.

"Iya benar. Saya minta maaf, dia sedikit terlambat. Dia memang sulit diajak pertemuan seperti ini. Maklum, namanya laki-laki. Dia juga baru tiba tadi siang dari California dan sepertinya masih jet lag. Awalnya memang menolak, namun aku terus memaksanya. Haha. Well, beruntung anak-anak saya tidak pernah menolak permintaan saya." Katanya disertai tawa bahagia.

Luna senang sekali melihat ekspresi Tante Rini. Ia selalu nampak bahagia saat membicarakan anaknya. Semua orang kembali tertawa.

"Haha. Yah, begitu namanya laki-laki. Berbeda denganku yang hanya memiliki anak-anak perempuan yang manis ini. Tidak terlalu sulit mengaturnya." Sahut Papa.

Obrolan meluas ke segala topik, dengan Luna tetap tidak banyak berkomentar. Hanya menjawab saat ditanya. Hingga ucapan salam seseorang membuat semua di ruang tamu mengalihkan tatapannya ke asal suara


CREATORS' THOUGHTS
tyastar tyastar

Like it ? Add to library!

Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login