Download App

Chapter 2: A Real Nightmare (2)

Denver, Colorado

July 1947

Sore itu senja terasa datang lebih cepat dari biasanya. Seolah matahari yang selalu setia menebar berkas-berkas sinar jingga untuk melukis tempat peraduannya tiba-tiba merasa terlalu lelah dan bergegas menarik selimut hitam sang malam. Dan malam pun tampak lebih gelap, lebih dingin, dan lebih sunyi dari biasanya.

Rumah baru kami di Denver, Colorado teletak di tengah kota, dekat dengan pusat lalu lalang manusia yang seolah tak pernah padam di antara gedung-gedung pencakar langit. Rumah kami berdiri berhimpitan dengan deretan rumah-rumah lain di salah satu kompleks di 18th street. Kompleks perumahan itu rata-rata berlantai tiga, dengan lebar yang hampir sama.

Untuk suatu alasan, kota jauh lebih sepi malam itu. Entah mengapa semua orang yang biasa berlalu lalang menghabiskan petang di bawah langit malam seperti enggan keluar. Nampaknya mereka merasakan hal sama denganku, kejanggalan. Bukan, lebih tepatnya kesunyian yang teramat janggal. Ada suatu sunyi yang meredam suara kendaraan yang memenuhi jalanan dan ribuan suara lain dari pemukiman. Kesunyian yang tak kukenal sebelumnya. Yang kemudian kukenali sebagai sunyi yang lebih mencekam dari sunyi sebelum badai.

Itu adalah sunyi sebelum datangnya badai kematian.

Dan sang maut datang dengan tiba-tiba dan sekaligus. Ia memecah kesunyian yang mengawali dan membelahnya dengan jeritan-jeritan histeris memekakkan telinga. Aku terhenyak dari kursi belajar di kamarku demi mendengar jeritan penuh kengerian dari salah satu rumah tetangga. Berlari menuruni tangga, bergabung dengan Dad, Mom, dan Karen yang sudah berkumpul di ruang keluarga. Mom memeluk Karen, wajah keduanya sepucat kertas.

Dad memberiku isyarat untuk mendekat, disodorkannya sebuah pistol kecil ke tanganku. Aku menelan ludah yang terasa mencekik. Well, aku memang pernah berharap untuk berdiri di samping Dad saat dia berada di medan perang. Tapi tidak kusangka akan benar-benar terjadi. Lebih dari itu, aku tidak pernah menduga kalau musuh itu akan mendatangi kami, persis seperti yang Karen katakan.

"Kakak … aku melihat kakak … Wajah kakak pias dan darah mengalir dari tubuh kakak … dan … kakak berhenti bernapas …," kata Karen di antara isak tangisnya beberapa hari lalu. "Mereka mencarimu."

Aku kembali menelan ludah yang masih terasa mencekik. Suara jeritan lain yang baru muncul dari rumah sebelah membuyarkan kilasan ingatan yang berputar di kepalaku. Aku menarik pengaman di pistol yang Dad berikan, menempatkan jari telunjukku di pelatuknya. Tidak peduli siapa mereka dan tidak peduli apakah perkataan Karen benar atau tidak, aku tidak akan menyerah begitu saja.

"Dad, cover me. Aku akan keluar dan memancing mereka," ujarku.

"Tidak, Key. Kau tetap di sini," ujar Dad.

"Aku bisa melakukannya. Aku akan menjadi umpan dan Dad yang membereskan mereka. Trust me!"

"No, you trust me!" tolak Dad tegas. "Tetap di belakangku dan biarkan ayahmu melindungimu, Key"

"Tapi, Dad, jika mereka memang mencariku, sudah seharusnya aku keluar. Aku tidak akan sembunyi!"

"Trust me!" kata Dad, kali ini ada penekanan dalam suaranya. Warna hazel brown pada manik matanya tampak lebih gelap dari biasanya, tajam ke dalam menatap mataku.

"Ok."

Aku memutuskan untuk mengalah. Meskipun ego-ku tidak menerimanya. Dad tahu aku selalu ingin bertarung di sampingnya dan membantunya. Dan kali ini kesempatan itu datang, tapi ia justru memintaku untuk tetap di belakangnya. Tsk! Itu sama saja dengan tidak mengijinkanku memegang pistol.

Dad menyandang senapan besarnya. Diisinya songket peluru, dan dipakainya sebuah tas pinggang penuh peluru untuk isi ulang. Suara jeritan terdengar semakin keras. Kali ini dibarengi dengan sirine dan tembakan senjata api. Itu pasti berasal dari kantor polisi di seberang jalan. Aku menahan napas, berkonsentrasi mencoba mendengar langkah kaki para peneror. Tidak ada. Seharusnya beberapa dari mereka sudah di dekat sini.

Dengan instuisi yang bertahun-tahun diasahnya di medan perang, Dad berjingkat tanpa suara, menuju ruang depan. Ia melangkah ke belakang sofa, menunduk, membidik. Detik selanjutnya serentetan tembakan menembus jendela depan rumah, mengenai sosok hitam tinggi yang entah sejak kapan sudah berdiri di sana. Aku bersiaga di ambang pintu, mengamati. Darah merah terciprat ke segala arah membasahi kaca jendela yang penuh lubang peluru. Rentetan tembakan kembali terdengar, kali ini mengincar pintu.

Beberapa detik kemudian rentetan senjata berhenti, menyisakan hening yang mencekam. Ada yang janggal, sangat janggal. Para peneror itu sepertinya tidak takut dengan tembakan senapan besar Dad. Alih-alih mundur, mereka nampaknya bersiap menyerang dalam kelompok lebih besar. Dari jendela yang kacanya telah hancur hampir tak bersisa, terlihat beberapa bayangan hitam tampak berkumpul di halaman depan. Aku menemukan diriku menahan napas terlalu lama. Melirik Dad, tercekat melihat wajah yang tak pernah gentar itu sempurna pucat pasi. Karen mencicit dalam pelukan Mom.

"Key … larilah," kata Dad dengan suara serendah bisikan angin. Ia mengisi ulang peluru senapan, pelan, nyaris tanpa suara.

Belum sempat aku menangkap maksud Dad, rentetan peluru kembali terdengar, kali ini disambut rusaknya pintu depan rumah. Jatuh terpelanting ke bagian dalam rumah dan pecah berkeping-keping. Sosok-sosok berjubah hitam bergerak masuk, sangat cepat dan tanpa suara, nyaris seperti udara yang bergerak sendiri. Aku terpaku di tempat, tak mampu bergerak tak bisa berpikir.

'Apa ini akhirnya?' tanya sebuah suara dari kedalaman kepalaku. Dan aku tahu aku mencium kematian semakin mendekat.

Seseorang menarikku dari belakang, membuatku berlari mengikutinya. 'Mom!'

"Wait! Dad is…"

Aku hendak berhenti dan memanggil Dad, mengajaknya lari bersama. Namun pemandangan yang kulihat membuat mulutku terhenti, dan kakiku kembali berlari mengikuti Mom.

....


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login