Download App

Chapter 23: Memerintah Bukan Meminta

Tangan kurus itu mendarat tepat di meja Haidar, tadinya ia ingin memukul wajah tampan itu.

Namun, Wiyana tak memiliki nyali sebesar itu untuk melakukan hal yang sejak tadi mendesak dirinya untuk melakukan perbuatan bar bar.

"Saya  ... saya kecewa, saya merasa kamu tidak pantas untuk menjadi seorang papa. Kamu tau  ... kamu itu pria yang sangat buruk, nasib Ken sangat buruk karena mempunyai papa seperti kamu, Pak Haidar," cerca  Wiyana sampai matanya memancarkan aura permusuhan.

Mata yang biasanya berbinar binar melihat Haidar, kini membara penuh akan kebencian yang tak terbendung.

"Siapa kamu berani menilai saya? Saya tidak peduli bagaimana penilaian kamu tentang saya, kamu begitu lancang menerobos ke sini dan mengacaukan rapat saya."

Intonasinya rendah tapi begitu berat, Wiyana tahu kalau Haidar pasti tersinggung dengan apa yang ia katakan.

Tetapi, pria itu begitu pandai menutupinya hingga siapa pun yang melihatnya akan salut dan menilai kalau Haidar adalah pria yang sangat sabar.

"Pekerjaan tampaknya sangat penting untuk kamu, selain buruk kamu juga bodoh. Sebelum mengurus dan memajukan perusahaan, ada baiknya kamu pikirkan putramu dan buat kemajuan dalam hidupnya yang suram. Dia tertekan, di sekolah dia dibully. Lihat apa yang teman temannya lakukan padanya, apa kamu buta sehingga tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi di depan matamu?"

Napas Wiyana memburu, dadanya naik turun menunjukkan dengan sangat jelas bagaimana emosinya dirinya.

Haidar melihat Ken yang ada di depannya, benar saja. Penampilan Ken jauh dari kata baik baik saja.

"Tapi, dia seorang laki laki. Dia harus bisa menyelesaikan masalahnya sendiri," gumam Haidar sukses memancing kekesalan Wiyana semakin memuncak.

"Kenapa kamu bertingkah seburuk ini, Haidar?"

Mata Wiyana berkaca kaca, dia sangat frustasi bagaimana lagi caranya agar Haidar sadar kalau yang ia lakukan pada Ken itu tidaklah benar.

Sampai Wiyana tak sadar kalau dia menyebut Haidar tanpa embel embel pak, sama seperti dahulu. Panggilan itu terdengar sangat akrab di telinga Haidar.

Tiba tiba saja perasaan Haidar jadi aneh, dia menjauh beberapa langkah dari Wiyana dan Ken dengan membuang muka.

"Kalau begitu, kamu saja yang berikan perlakuan baik pada putra saya."

Itu adalah kalimat terakhir Haidar sebelum dia pergi dengan agak terburu-buru dari sana, kepergian Haidar dengan gelagat anehnya itu menimbulkan kerutan di dahi Wiyana.

"Apa yang terjadi sama kamu, Haidar? Kenapa kamu berubah jadi begini," batin Wiyana sambil menatapi pintu kaca di mana Haidar menghilang.

Wiyana menarik napas panjang, mengatur perasaannya sendiri yang tak karuan.

Walau Ken bukan putranya, tapi jujur saja. Sejak awal melihat Ken kesepian dan kini malah dirundung di sekolah, Wiyana jadi merasa simpati pada bocah itu.

"Ayo, Ken."

Ken menggeleng, lantas dia mendongak. Matanya yang memerah menyayat nyayat perasaan Wiyana.

"Aku nggak mau ikut, Tante Bodoh. Tante memang bodoh, kenapa harus kasih tau papa?" lirih Ken menyalahkan Wiyana.

Sementara gadis itu diam menerima kekesalan Ken.

"Biar dia sadar, Ken."

"Tapi, sekarang papa pasti nggak mau ngomong sama aku lagi. Dia malu, Tante kasih tau papa di waktu yang nggak tepat."

Alih alih tersinggung karena Ken menyalahkan dirinya, Wiyana malah tersenyum dan mengusap puncak kepala Ken.

"Kamu cuma butuh seseorang buat dibenci, aku nggak masalah kalau seseorang itu adalah aku."

Ken membuang muka, dia menepis tangan Wiyana yang masih asik mengusap rambut rambut halus Ken.

Setelahnya bocah itu pergi dari sana, Ken sangat dongkol. Mati matian Ken menahan diri agar tak mempermalukan papanya, supaya Haidar semakin sayang padanya.

Tetapi, lihat apa yang kini dilakukan gadis bodoh itu. Dia malah mempermalukan Haidar di depan puluhan karyawan. Dan, kini Haidar yang sejak awal dingin pasti akan semakin dingin padanya.

"Baiklah Haidar, kalau kamu nggak bisa menyayangi Ken seperti yang dia harapkan. Aku yang bakal sayangi dia, aku pastikan itu. Sampai nanti ketika kamu bisa menyayangi Ken dan sadar kehadirannya, maka selama itu. Aku bakal jaga Ken, untuk kamu  ... Haidar...."

Rasanya sakit, Wiyana harus menjaga putra dari pria yang ia cintai. Tapi, Wiyana memilih untuk kuat karena ingat ada Ken yang membutuhkan dirinya.

***

Di sebuah kantor depertemen kepolisian, Allard mendongak melihat atasannya masuk dengan wajah menahan kesal.

Ia adalah ketua tim dari devisi pencegahan dan investigasi kejahatan, anggota dari tim yang ia ketuai menoleh serempak menunjukkan tatapan yang berbeda beda.

"Ada apa, Ketua Tim?" tanya salah satu dari mereka yang bertugas dalam bidang meretas jejaringan.

Belakangan ini tugas mereka semakin banyak, dan kian dipersulit oleh seorang penjahat yang mereka sebut sebagai anjing gila. Karena penjahat itu amat sulit ditangkap serta dilacak keberadaannya.

"Bajingan itu kembali berulah,  baru saja ada laporan penculikan seorang mahasiswa universitas di jalan Pondok Putih untuk yang ke dua kalinya. Dan, atasan meminta kita agar segera menangkapnya sebelum pihak berwenang berpikir kalau kita ini sangat lambat," sungutnya dengan urat urat leher yang tampak sangat jelas.

Allard mendengkus, sudah semalam dia tidak bisa tidur sebab sibuk menguak kasus gila itu. Tapi, semua sia sia saja. Sebab tak ada satu bukti pun yang dapat dia temukan untuk melacak keberadaan si pelaku.

"Pondok Putih....?" Allard menyipitkan matanya, seperti melupakan sesuatu. Mendadak ia ingat kalau kemarin Wiyana pernah pergi ke jalan itu.

Maka, tanpa basa basi. Allard keluar meninggalkan kantor di saat ketua timnya pusing dengan semua tuntutan dari atasan mereka.

"Hey, mau ke mana dia?" terik si ketua tim tak ada yang menghiraukan.

Sementara gadis yang ingin Allard temui, masih berdiam diri melihat wajah sedih Ken.

Wiyana memilih berdiri dengan jarak yang tak berlalu dekat dengan Ken, Ken tidak akan pulang sebelum Haidar mengajaknya bicara.

Wiyana membiarkan keras kepalanya Ken, dia tak memaksa Ken untuk pulang. Wiyana gadis yang pengertian dan dia tahu bagaimana cara untuk mengatasi bocah seperti Ken.

"Bawa dia pulang!"

Tiba tiba saja ada yang mengajaknya bicara, dan. Wiyana amat kenal suara itu, sontak saja dia berbalik.

Karena begitu berbalik posisi mereka terlalu dekat, terpaksa Wiyana mundur dengan mata yang mendelik.

"Apa?" cengohnya tak dapat mencerna apa yang Haidar bicarakan.

Maklum saja, jantungnya tak bisa diajak kompromi untuk tidak berdetak kencang seperti habis bertemu setan.

Tetapi, apa boleh buat. Bertemu dengan Haidar jauh lebih menegangkan dari pada hanya sekedar bertemu hantu.

"Kamu bilang saya seorang papa yang buruk, jadi. Mulai sekarang, berikan Ken perhatian yang seharusnya dia dapatkan. Karna saya tidak bisa melakukan itu untuknya," kata Haidar.

Wajah, cara bicara dan intonasi serta tatapan pria itu kini sudah berubah kembali seperti biasa. Tak lagi tampak tanda tanda kalau Haidar marah atau sedang menahan kesal.

"Apa kamu baru saja minta tolong?" tebak Wiyana dengan ke dua mata yang menyipit.

"Saya tidak meminta, karna saya selalu memberi. Saya tau kamu butuh pekerjaan, mulai sekarang bekerjalah sebagai pengasuh Ken," katanya seenak jidat tanpa melakukan perundingan terlebih dahulu.

"Ap––"

"Saya tidak butuh argumentasi kamu, kamu hanya perlu menjawab iya atau tidak. Untuk sekarang antarkan saja putra saya pulang!"

Haidar tetaplah Haidar, dia selalu berbuat sesukanya. Dan, sekarang sialanya kenapa ia harus melibatkan Wiyana. Apa yang harus Wiyana pilih? Apakah dia akan menerima pekerjaan itu?

***


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C23
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login