Download App

Chapter 3: PERLAKUAN YANG ADIL

Habib pulang kerja sekitar jam lima sore. Dia selalu pulang sebelum maghrib, itu sudah menjadi aturan di keluarga kami mulai sekarang. Istrinya sudah ganda, dan aku tidak mau dia pulang lebih dari pada waktu maghrib.

Tentu aku sudah menyiapkan makan malam sejak waktu ashar tadi. Jika ingin makan, hanya perlu di panaskan dengan mikrowafe saja. Seperti biasa, aku menunggu kepulangan Habib di depan rumah sambil bermain-main bersama Rizky dan Mira di teras. Kebetulan ada kursi untuk tempat biasa kami duduk menunggu kepulangannya.

"Bu, bukannya apa-apa. Saya hanya merasa kalau nyonya Laila tidak suka dengan kehadiran saya disini. Saat Ibu belum pulang tadi, beliau terus memperhatikan saya dengan tatapan sinis," ujar Mira dengan nada bicara yang begitu hati-hati.

"Tidak mungkin bunda bersikap seperti itu. Beliau bukan orang yang suka sinis dengan orang lain, kecuali kamu membuatnya kesal," balasku sedikit menaburkan candaan.

"Bu El, saya serius! Nyonya Laila juga selalu bertanya pada bu Farida, apakah dia di perlakukan dengan baik disini? Kalau sampai bu El ketahuan membuatnya menangis, maka nyonya Laila tidak akan segan-segan menegur Bu El. Itu yang saya dengar."

Tidak heran, sih mendengar hal itu. Bahkan sejak awal rencana pernikahan Habib dan Farida akan di selenggarakan juga bunda masih meragukan keseriusan Habib. Tapi karena terdesak oleh keadaan saja, makanya beliau setuju.

Waktu itu memang sudah tidak ada pilihan lain, jadi mau tidak mau bunda harus merelakan Farida dinikahi lelaki beristri seperti Habib. Seharusnya mereka beryukur karena dalam situasi yang sangat tidak terkendali, kami masih bersedia menolong Farida.

Bayangkan betapa sulitnya hatiku menerima pernikahan kedua Habib, bahkan pikiranku terus memberontak. Tapi atas dasar kepedulian dan kasih sayang sebagai seorang kakak, aku pun merelakan semuanya demi Farida.

"Kamu tidak perlu ambil pusing, bunda saya memang seperti itu orangnya. Tapi aslinya dia baik, bahkan dia bisa mendidik saya dengan sangat baik," balasku pada perkataan Mira dengan seukir senyuman. Aku tidak ingin cari penyakit, dengan jawaban yang simpel pasti akan membuat Mira berhenti kepikiran tentang hal ini.

Tak lama kemudian Habib pulang. Ketika itu aku sedang sibuk tertawa bersama Rizky yang terus tersenyum bersama Mira. Sampai-sampai aku tidak sadar kalau Habib sudah berdiri di sebelahku dengan membawa plastik berisi makanan.

"Wah, kamu kelihatan asik sekali tertawa bersama Rizky, sampai-sampai tidak sadar suaminya pulang," tegur Habib mengelus kepalaku.

Ketika mendongak, aku langsung berdiri. "Mas Habib!" Kucium punggung tangannya dan gantian mendapat kecupan di dahi. Dia selalu seperti itu, tidak pernah ketinggalan kecupan. Apa lagi setelah menikah, dia seolah-olah ingin menunjukkan keromantisan kami pada Farida.

"Ehem, istri kamu sekarang bukan hanya El saja, Bib, tapi Farida juga. Apa hanya dia yang kamu cium?" Tiba-tiba bunda muncul dari balik pintu yang sejak tadi terbuka bersama Farida di sebelahnya.

Mira langsung sedikit menyingkir dari tengah-tengah kami bersama baby Rizky di gendongannya. Wanita dengan rambut sebatas bahu itu memutar bola mata jengah melihat bunda yang tampak seperti memarahi kami.

"Bunda, sejak kapan disini?" tanya Habib.

"Kenapa? Apa Bunda tidak boleh mengunjungi rumah anak Bunda sendiri? Lagi pula Farida juga sudah tinggal disini, jadi Bunda berhak datang ke rumah ini kapanpun Bunda mau tanpa harus meminta ijin dari kalian, 'kan?"

"Tentu saja! Pintu rumah ini selalu terbuka untuk Bunda," balas Habib tersenyum sopan.

Bunda menyuruh Farida mencium punggung tangan Habib dan meminta Habib untuk mengecup dahi Farida seperti yang dia lakukan padaku barusan. Sebenarnya itu masih sedikit terasa aneh baginya, karena selama ini dia juga tidak pernah melakukan hal mesra selain pada istrinya sendiri.

Tapi aku juga tidak mungkin melarang Habib melakukan itu, karena status istri yang di sandar Farida sangatlah berpengaruh pada perlakuannya sebagai seorang suami. Hingga pada akhirnya Habib hanya bisa menurut dan mengecup dahi Farida.

"Nah, gitu. Tanpa di suruh pun kamu seharusnya langsung mencium Farida, dia juga istrimu, Bib!" tukas bunda sejak tadi tak berhenti memberi arahan.

"Iya, Bunda." Habib hanya menurut tanpa mau membantah.

Selesai sholat maghrib, kami semua berkumpul di meja makan untuk makan malam bersama. Rasanya seperti deja vu melihat meja di kelilingi oleh orang-orang, tetapi masih merasa ada yang kurang.

Azka juga masih sering memperhatikan kursi dimana ayahnya biasa duduk saat makan. Dan sekarang kursi itu di duduki oleh Farida, hingga Azka hanya bisa menatapnya dari jauhan saja.

"Oh, iya. Tadi Mas ada bawakan mie ayam kesukaanmu, El. Jangan lupa dimakan, karena kalau di tunggu sampai besok pasti akan basi," pesan Habib ketika aku menuangkan nasi ke piringnya.

"Untuk Farida mana? Kamu tidak lupa membeli mie ayam untuk Farida juga, 'kan?" sambar bunda sebelum aku berhasil menjawab.

"Iya, Habib juga sudah membelikannya untuk Farida. Tapi maaf, Habib hanya membeli untuk Bunda, karena Habib tidak tahu kalau Bunda akan datang," jawab Habib masih menahan kesabarannya.

Tenang saja, Habib juga sudah membeli biskuit untuk menemani Azka belajar di kamar. Itu sudah menjadi kebiasaannya sejak mengurus Azka bersama kami. Untuk Mira sendiri hanya di belikan sepotong kue bolu.

Jujur, sebenarnya aku agak risih dengan kedatangan bunda di rumah ini. Apa lagi sejak tadi dia terus-terusan menyamaratakan perlakuan Habib pada kedua istrinya. Bukan bermaksud cemburu atau tidak terima, tapi Habib sudah dewasa. Dia juga tahu apa yang harus dia lakukan tanpa perlu arahan.

Dengan berkata seperti itu, membuatku seolah-olah merasa di samakan dengan Farida. Padahal ... ya jelas aku masih belum se-rela itu.

"Oh, iya, Bib. Malam ini kamu tidur bersama Farida, ya? Biar bunda bersama El, kalian 'kan sudah suami istri. Tidak baik tidur pisah ranjang," kata bunda lagi sebelum mengakhiri kegiatan makan malam.

"Tap—tapi, Bunda. Aku tidak—"

"Ssst.! Sudahlah, kamu diam saja. Ini demi kebaikanmu juga!" sela bunda ketika Farida baru saja hendak angkat bicara.

Habib tampak menggenggam sendok dengan kuat karena menahan kesal. Tapi aku dengan segera meredam emosinya lalu mengusap pahanya yang ada di sebelahku. Tidak, jangan sampai Habib kelepasan dan memperlihatkan apa yang sebenarnya dia rasa saat ini.

Itu tidak baik dan akan sangat menguji mental Farida kalau sampai dia melihat seperti apa kesalnya Habib sekarang.

"Kenapa ammun Habib harus tidur bersama ammah Farida? Biasanya ammun tidur bersama ammah El," celetuk Azka yang juga ada di meja makan saat itu.

"Azka, sekarang ammah Farida juga berhak tidur bersama ammun Habib. Mereka sudah suami istri dan halal hukumnya tidur bersama. Nenek yakin, pasti mereka belum pernah tidur berdua setelah menikah, bukan begitu, Farida?" timbal bunda yang terus-terusan mendesak Habib agar mau tidur bersama anak kesayangannya.

Farida sendiri tidak memberi jawaban apa-apa. Sepertinya dia takut salah bicara, makanya memilih diam.

"Baiklah, malam ini Habib akan tidur bersama Farida. Biar nanti El yang akan tidur di bawah bersama Bunda. Tidak apa-apa 'kan, El?" balas Habib di luar dugaanku sambil melirik.

Dengan refleks, kepala ini pun mengangguk meski sebenarnya aku butuh penjelasan kecil dari jawaban Habib.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C3
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login