Download App

Chapter 35: PENGAKUAN CINTA HABIB

Selama sakit, aku hanya bisa menghabiskan waktuku di tempat tidur. Tidak bisa bergerak kecuali ke kamar mandi untuk wudhu, itu juga masih harus sholat duduk di tempat tidur. Terkilir membuatku benar-benar tersiksa.

Bahkan selama dua hari terakhir, Mira lah orang yang selalu mengantarkan makanan ke kamarku. Bukan karena Habib tidak mau, tapi dia terlalu sibuk akhir-akhir ini hingga harus memberikan tugasnya pada Mira.

Tak masalah, setidaknya dia masih memberiku perhatian. Sepanjang malam kami tidur bersama, Habib juga selalu memelukku, tapi ada yang aneh padanya. Dimalam pertama setelah aku pulang, kulihat bibirnya tampak bengkak.

Dimalam kedua, aku melihat lehernya dipenuhi noda merah, dan di malam ketiga, aku melihat noda merah serta bibirnya yang bengkak itu secara bersamaan. Maaf, bukannya aku mau suudzon, tapi aku mencurigainya setelah mencium parfum Farida di tubuh lelaki ini.

Aku istrinya, aku tahu bagaimana kondisi suamiku setelah ... dia ciuman. Kami sudah melakukannya beberapa kali tahun lalu, dan itu cukup memberiku gambaran apa yang terjadi di bibirnya, begitu juga dengan leher.

"Mir, apa kamu melihat ada sesuatu yang aneh pada mas Habib beberapa hari ini?" tanyaku pada Mira saat dia sedang menidurkan Rizky.

"Aneh bagaimana, Bu?"

"Entahlah, saya melihat mas Habib beberapa hari belakangan ini agak aneh. Dia sering bangun tengah malam, entah pergi kemana, tapi saat kembali bibir dan lehernya selalu merah. Itu mirip seperti ... kalau saya dan Habib ciuman. Eum, maaf, ya? Kalau ucapan saya terdengar tidak sopan," jelasku lebih rinci.

Mira terdiam, dia nampak tidak mau berkomentar tentang ini. Tapi dia mengaku juga merasakan hal yang sama, tepatnya perubahan sikap Habib yang semakin lengket dengan Farida. Selama aku sakit, Farida lah orang yang selalu menyiapkan makanan untuk Habib, mereka bahkan sempat masak bersama kemarin.

Pengasuh Rizky ini curiga jika Habib sudah mulai menaruh simpati pada Farida. Bukan hanya sekedar perlakuan baik, tapi juga semakin dekat layaknya sepasang suami istri. Itu jelas melanggar perjanjian pernikahan mereka, dan Mira mulai berpikir jika Habib sudah benar-benar mencintai Farida.

Hingga pada malam berikutnya, aku memutuskan untuk tidak tidur. Teringat pada malam pertama setelah aku pulang dari peternakan, Habib sempat mempermasalahkan tentang Faisal yang mengantarku pulang.

Dia marah, Habib mengakui kecemburuannya itu. "Mas tidak suka jika kamu terus-terusan dekat dengan lelaki itu. Ingat, El dia seorang duda, tidak ada alasan baginya untuk tidak mencintaimu!" Begitulah yang Habib katakan padaku.

Mungkin kesempatan itulah yang Farida ambil untuk semakin mendekat pada Habib. Dan malam ini aku akan membuktikannya sendiri. Saat Habib keluar kamar, aku ikuti kemana dia pergi. Alhamdulillah, kakiku sudah jauh lebih baik. Aku bisa berjalan lagi, meski masih sedikit terasa sakit, tapi itu sama sekali bukan masalah.

Habib pergi ke dapur, ternyata di sana sudah ada Farida yang sedang membuat sandwich. Siapa yang mau makan sandwich malam-malam begini? Kurasa itu hanya alasan agar Farida bisa ke dapur dan menunggu Habib.

"Belum tidur, Mas?" tanya Farida.

Habib hanya menggeleng. "Kamu sedang apa?"

"Membuat sandwich. Kamu mau?" tawar Farida sambil mendorokan sandwich pada Habib.

Lelaki brewokan itu mengangguk. Dia mendekat untuk menggigit sepotong sandwich berbentuk segitiga yang ada di tangan Farida, tapi wanita itu malah memasukkan sebagian sandwich ke dalam mulutnya, hingga Habib berhenti bergerak dengan posisi wajah yang sudah dekat dengan wajah Farida.

Kejadian tiu begitu cepat, membuat Habib hampir tidak bisa mengerem pergerakannya. Mereka saling berpandangan lama sekali, sampai akhirnya Farida mengunyah habis sandwich yang ada di mulutnya, dia tersenyum lalu menarik kerah baju tidur Habib agar semakin dekat dengannya.

Gerakan dagunya seolah memberi arti pada Habib untuk menggigit sisa sandwich di mulutnya. Tapi Habib malah mengambil sandwich itu dengan tangan.

"Mas, akui saja. Kamu sudah mencintaiku 'kan?" tanya Farida membuatku semakin penasaran.

"Kamu bicara apa? Tidak jelas sekali," tukas Habib ingin pergi.

Tapi Farida dengan cepat menghentikan langkah kaki Habib, menarik kembali lelaki itu ke hadapannya, mengambil tangan kekarnya untuk di taruh di atas perut yang buncit. Usia kandungannya sudah hampir tujuh bulan, sudah semakin besar.

Habib tampak menelan saliva melihat tatapan Farida dengan rambutnya yang terurai. Entah sejak kapan dia berani membuka jilbabnya di depan Habib, aku sendiri terkejut melihatnya berani memperlihatkan aurat di depan Habib.

Aku menunggu jawaban Habib, sampai akhirnya lelaki itu mengalihkan pandangan. "Jangan bermain-main, Farida. Kamu tahu kita menikah hanya karena bayimu," kata Habib pula.

"Kalau begitu katakan, katakan dengan menatap mataku bahwa Mas Habib tidak mencintaiku. Aku berjanji, jika Mas bisa mengatakannya, maka aku akan berhenti mengejarmu. Tapi jika Mas mencintaiku, maka pernikahan kita tidak akan pernah berakhir."

Tangan kanan Farida bergerak ke pipi Habib untuk membuat lelaki itu menatapnya, sementara tangan kirinya ada di pundak Habib. Dia menunggu jawaban yang sudah kutunggu juga. Lelaki itu semakin kesulitan mengendalikan diri, jakunnya naik turun menelan air liur di mulutnya.

Tubuh lelaki itu semakin panas dingin, hingga kedua manik mata mereka bertemu dan Habib tidak bisa berbohong. Dia sudah mencintai Farida. Perhatian demi perhatian kecil yang Farida berikan, datang beriringan dengan rasa cemburunya terhadapku yang selalu di datangi Faisal.

Farida tersenyum. "Terima kasih, Mas. Itu sudah menjadi jawaban untukku," kata Farida sembari memeluk Habib.

"Mas!" seruku dari balik meja makan setelah tadi lama berjongkok.

Mereka berdua tampak terkejut, terutama Habib yang langsung melepaskan pelukan Farida di tubuhnya. Wajah terkejut itu persis seperti wajah maling yang tertangkap basah, keringat dingin perlahan keluar dari pori-pori kulitnya.

"Mas Habib mencintai Farida?" tanyaku dengan mata yang berkaca-kaca, bibirku juga bergetar di buatnya.

"Eum ... ti—tidak, Mas hanya—"

"Jawab, Mas! Tatap mataku dan jawab pertanyaanku. Apa kamu sudah mencintai Farida?"

Habib tidak mau menjawab. Dia menggeleng dan mengaku jika dia tidak mencintai Farida. Tentu saja hal itu membuat Farida merasa tidak senang, karena Habib sudah mengakui cintanya tadi. Baik aku dan Farida, sama-sama menunggu jawaban pasti dari Habib.

Kuminta dia menatap mataku, mengatakan hal yang sejujurnya. Tak peduli seberapa pahit kejujuran itu, tapi aku hanya ingin dia mengatakan hal yang sebenarnya. Pandangan mata Habib mengarah padaku dengan sendu, seperti ada hal yang tertahan di dadanya.

Habib memegang kedua belah pundakku, menatap mataku sembari berusaha bersuara. "Maafkan Mas, El. Tapi ... Mas tidak bisa membohongi perasaan Mas sendiri. Mas sudah jatuh cinta pada Farida," katanya membuat bahuku seketika lemas.

Farida sendiri tersenyum bahagia mendengarnya, kecuali aku yang tanpa sadar meneteskan air mata. Kutepis dengan kasar tangan Habib yang masih ada di pundakku, rasanya masih tidak percaya jika Habib berani mengakui hal ini padaku.

Janji suci yang dia ucapkan dulu seketika hilang entah kemana ketika dia merasaan sebuah getaran di hatinya. Habib menggeleng, berusaha untuk menarikku kembali tapi aku malah berjalan mundur.

"El, tolong jangan marah. Mas tidak tahu kenapa semuanya bisa begini. Tapi ... Farida memperlakukan Mas dengan baik, dia juga menghormati Mas. Hari-hari yang Mas lewati bersamanya, membuat cinta itu datang secara tak sengaja. Mas tidak bisa mengendalikannya," kata Habib.

Lidahku kelu, tak mampu mentakan apapun selain menangis. Hancur, remuk, hingga tak berbentuk bagai di landa padai pasir. Hatiku luluh lantak seketika, rasanya tidak bisa di gambarkan. Seketika itu juga, istana kebahagiaan yang sudah kubangun runtuh dalam sejenak.

"El!" panggil Habib ketika aku pergi dengan langkah cepat meninggalkan mereka.

"Jangan di kejar, Mas! Mbak El tidak akan pernah mau mendengarkanmu," cegah Farida menarik tangan Habib.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C35
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login