Download App

Chapter 11: Perempuan Akan Lemah Jika Sudah terpanah

“Masih mencintai Rizky? Meskipun dia udah nyakitin kamu? Selingkuh di belakang kamu?” Nada bicaraku meninggi. Sebal sekali melihat Ayu seperti orang frustasi yang tergila-gila pada lelaki yang sudah mengkhianati hubungan mereka.

Meskipun Ayu dan Rizky statusnya hanya pacar. Tapi pengkhianatan adalah bentuk kebodohan seorang lelaki, karena jikalau dia cerdas maka dia paham betul kalau mengkhianati hati seorang perempuan adalah bentuk dari ketidakpantasan dia untuk menerima kebaikan dunia.

Di mana ceritanya orang yang sudah berkhianat dapat keberkahan? Seharusnya Ayu tahu kalau Sang Pencipta sudah nunjukkin sifat asli Rizky dari sekarang. Beda cerita kalau hubungan mereka benar-benar sudah serius. Akan lebih berast nantinya.

Aku akhirnya tahu kalau hampir semua perempuan itu di awal, seringkali terkesan cuek, dan si lelaki yang sangat ambisius mengejar. Namun, pada akhirnya setelah hati si perempuan luluh. Maka si lelaki diam-diam pergi dan menghilang. Seolah tidak ada tujuan yang pernah sama-sama mereka perjuangan dari hubungan yang selama ini mereka pertahankan.

Semua perjuangan tidak akan menjadi bahan pertimbangan. Ketika satu dari mereka sudah tidak ingin bersama, atau bahkan keduanya sudah tak ingin bersama. Ya sudah. Kisahnya selesai. Tamat. The End.

Aku berani katakana Bullshit!

Merasa untung juga tidak pacaran.

KRIK! KRIK! KRIK!

Eh, hehe kok aku jadiin itu suatu pembelaan terhadap kejomloan ini sih?

Tapi … bener, aku memang banyak belajar dari kisah cinta Ayu.

“Mit ….” Alis Ayu mengerut. “Ini tuh enggak se-simple yang kamu bayangin. Enggak mudah.” Ayu memalingkan wajahnya. Menatap jauh … samar-samar, dia hanya melamun saja dan kembali berseru, “terkadang perempuan rela didua demi tidak kehilangan kekasihnya, dia tidak berani membuang semua kenangan. Apalagi sampai memory itu hilang darinya, semua kebiasaan luput dari keseharian. Terkadang kita bisa menerima sebuah kesalahan dan memberi kesempatan.”

Aku semakin geleng-geleng kepala dengan ucapan si Ayu.

“Memangnya si Rizky mengakui kesalahannya? Enggak, Yu! Dia happy sama pacar barunya dan enggak peduliin kamu. Inget itu. Lagi pula, aku yakin. Kalau yang kamu sayangkan adalah kenangan, bukan Rizky. Kamu hanya tidak siap jika kebersamaan bersama Rizky hilang.” Semakin tegas kuberlaga tahu di depan Ayu, karena memang fakta di lapangannya seperti itu. Rizky yang salah, dan Ayu yang kekeh.

“Semua masih bisa dibicarakan, Mit.” Ayu menatapku.

Aku sama sekali tidak suka dengan sikapnya, tatapan kosongnya, kehampaan yang sekarang juga tengah menyelimuti Ayu. Mana sosok Ayu yang sulit ditaklukkan oleh lelaki? Dia sepertinya bukanlah Ayu. Dia sudah terhipnotis dengan khayalannya sendiri yang sudah ditumbangkan oleh kebusukkan janji Rizky yang palsu itu.

Perempuan seringkali tersakiti oleh harapan-harapan mereka sendiri. Terlalu berekspektasi besar pada orang yang bahkan nunjukkin berharganya diri mereka saja tak bisa.

Hanyut dengan sangkaan-sangkaan, kalau pasangan mereka akan berubah. Bisa berubah nantinya jika didampingi dan terus dinasihati. Hingga perempuan lupa, kalau lelaki adalah Imamnya.

Masa perempuan harus tunjuk-tunjuk memerintah dan mengatur sedetail mungkin sifat sang lelakinya? Awalnya mungkin terkesan bahwa si lelaki itu seolah penurut. Baik.

Lama-lama, aku yakin. Toh ini juga terjadi pada Ayua. Perempuan akan lelah dan nantinya tampak menuntut. Maka si lelaki akan berdalih kalau si perempuannya posessif, banyak ngatur. Padahal di awal hubungan, bentuk aturan sang kekasih itu dipuji sebagai bentuk peduli. Sang lelaki tidak keberatan. Mengangguk saja, seperti suami takut istri.

Tapi beda cerita ketika sang lelaki menemukan orang baru, yang lebih menurutnya. Semua yang pernah disepakati di awal, akan dianggap sebagai bentuk kekurangan si perempuan. Dalihnya, ya … mengkamuflase diri, dan mengumbar kejelekkan mantan. Menjadikannya alasan untuk tidak diserang beragam tudingan. Semisal si Rizky, yang justru menyalahkan Ayu. Katanya, Ayu posessif. Jadi, jangan salahkan si Rizky jika lelaki itu pun bosan dan berpaling ke yang lebih baik. Bisa dikaitkan dengan lagu Syahrini "Kau yang Memilih Aku". Begitulah kisah Ayu dan Rizky. Sampai sekarang, aku memang belum percaya kalau dia adalah Rizky.

Bagaimana tidak percaya? Rizky baik. Aku adalah pendukung nomor satu mereka ke jenjang yang lebih serius. Aku yakin kalau Rizky bisa bahagiain Ayu. Tapi, faktanya salah. Si Rizky sudah memperlihatkan sisi primitif dirinya.

Dilihat dari sudut perhatian yang membuat luluh hati seorang perempuan. Dan semua perempuan sepakat, kalau lelaki perhatian, berarti lelaki itu tulus. Dan jika ada sikap lelakinya yang jelek, perempuan seolah tutup mata dan menganggap itu sebagai bentuk dari kekhilafan semata. Ayu sedang berada di fase itu. ayu malah menyalahkan dirinya sendiri. Ayu masih yakin kalau Rizky hanya khilaf. Ayu harus membuka lebar-lebar pintu maaf.

“Dan kamu?” Aku menunjuk wajah Ayu.

Belum sempat kulanjutkan ucapanku, Ayu bersiap pergi.

Secepat kilat dia melaju. “Aku pulang! Assalamu’alaikum,” serunya cempreng.

Aku pun tersenyum. Orang yang sedang patah hati memang sedikit tidak beres. Mood-nya maju mundur enggak jelas.

***

“Huaaaaa,” menguap.

Aku yang duduk di sampingnya melirik.

Dilihat dari laganya, sudah enggak beres nih. Aku pun menggeser posisi duduk. Menjauh darinya. Adikku—Nazwa, melihat gerak-gerikku. Aku bisa tahu dari sudut mata. Kurasa Nazwa juga paham.

Benar.

Sosok yang menguap itu, adalah Kakakku. Salwa mulai menatap. Dia tersenyum manis.

Kak Salwa terkekeh. “Laper nih, Mit,” katanya.

“Hemm.” Mataku membelalak. Sudah kuduga.

“Beliin nasi goreng di jalan depan ya. Ya, mau ya?” bujuk kak Salwa, “gue traktir lo dan Nazwa juga kok,” tambahnya.

Si bungsu—Nazwa terlihat girang. “Asik! Ayo kak Mita!”

Aku pun berdiri dari posisi dudukku. Kusodorkan tangan untuk meminta uang pada kak Salwa.

“Ya, siniin uangnya! Kalian sungguh merepotkan.” Nadaku kesal. Bukannya enggak mau gratisan, di luar sedang hujan gerimis. Dingin. Tapi, bukan kak Salwa namanya jika dia tidak menyuruh-nyuruh aku. Akibat seringnya dimanja, kak Salwa jadinya begitu. Malas ke mana-mana. Giliran berangkat sama pacarnya saja. Banjir jalanan pun diterobos dengan berani. Dengan embel-embel romantis and perjuangan, dia menyebutnya begitu.

Giliran pada adiknya saja, kalau ada maunya doang baik-baikkin aku. Memang ya. Si anak gede yang manja ini selalu beda. Sukanya merepotkan orang. Makanya aku tidak setuju kalau kak Salwa jadi Presiden. Dia terlalu Otoriter, Egois, dan Boros. Perutnya sudah seperti karet. Selalu saja lapar, apalagi saat menjelang malam. Kalau tidak diisi, perutnya suka bunyi. Dan akulah yang selalu menjadi pesuruhnya.

Kak Salwa merogoh saku celana pendeknya. Dia kemudian menyodorkan uang senilai serratus ribu.

“Nih! Gue kwetiau sama nasi goreng ya. Kalian terserah! Mau nasi goreng atau mau kwetiau, yang jelas jatahnya cuman satu bungkus. Oke?”

Aku dan Nazwa saling tatap. Kemudian kepala kami menggeleng.

“Pelittt!” teriak kami ke masing-masing telinga kak Salwa. Nazwa di bagian telinga kiri, dan aku di bagian telinga kanan.

Kak Salwa sontak menutup telinganya. Aku dan Nazwa pun bergegas pergi agar tidak kena serangan.

“Dasar, adik-adik nggak tahu diri,” teriak kak Salwa.

Nazwa terkekeh. Aku pun sama. Kami selalu senang sekali melihat reaksi kak Salwa jika kesal. Apalagi sambil berteriak-teriak seperti itu.

BRAKKK!

Pintu ditutup oleh Nazwa dengan keras. Terdengar Ibu berteriak di dapur. Dia menegur orang yang sudah menutup pintu dengan keras. Nazwa tertawa geli karena itu.

“Eh, tunggu!” teriak kak Nada lagi.

Aku yang sudah mengambil kunci motor yang kak Salwa simpan di dekat Tv tadi, dan sudah keluar rumah bersama Nazwa pun saling berpandangan.

“Samperin, gih!” kataku pada Nazwa. Bibir adikku itu mengerucut. Kutahu dia malas untuk masuk ke dalam lagi. Tapi Nazwa menurut. Namun, baru saja Nazwa akan membuka pintu, kak Salwa sudah keluar lebih dulu.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C11
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login