Download App

Chapter 26: Sisa Air Mata 2

Shara memanggul ransel sekolahnya cepat sebelum melangkah tergesa meninggalkan ruang ekskul biologi dan lingkungan hidup. Dia menambah kecepatan mengayuh langkah sambil merapatkan blazer gelap.

Hari ini dan dua minggu ke depan tak ada jalan sore ceria bersama sang tercinta. Kemerdekaan dua pekan Prada pastilah akan menimbun rindu dua sejoli yang tengah mabuk lautan asmara. Pak Mark Gunadi, salah satu staff keamanan keluarga Ken kini berdiri kokoh bak pilar kastil kuno abad pertengahan di halaman sekolah.

Mata lebar Shara bertemu pandang dengan sepasang iris hitam dari kejauhan. Dua pasang iris senada sejenak bagai saling berbicara dalam dada. Shara menghampirinya setelah pemuda jangkung itu melambai ringan.

Sans menyambut Shara bahagia. Seorang pria dewasa kepala empat tampak berdiri tegak di sisi kanan sang pewaris keluarga Ken.

Sans yang terbiasa meraih jemari Shara saat bertemu, mengubur niatnya ketika menerima tatapan tajam sang kekasih.

"Ayo, aku antar pulang!" ajak Sans.

Pengawal sementara Sans membungkuk sopan. "Mari Nona Shara! Saya akan mengantar anda bersama tuan muda!"

Shara menggeleng pelan seolah menyesal tak menerima niat baik keduanya.

Sans menaikkan sebelah alisnya. "Lalu?"

Shara menepuk bahu Sans pelan. "Jangan khawatir! Sopir pribadi ayah akan menjemputku."

Sans mengangguk menerima alasan sang kekasih. "Kalau begitu aku akan pulang dulu!"

Shara melingkarkan telunjuk dan ibu jarinya.

"Saya permisi Nona Shara!" pamit Pak Mark santun sebelum menambah jarak dengan lawan bicara yang jelita itu.

Shara membalas dengan anggukan.

Punggung Sans yang perlahan menjauh bersama sang pengawal, mendadak berbalik dan melempar senyum terbaiknya. Tak lupa mengembuskan kecupan jahil dan bentuk hati mungil dari dua jari.

Shara menjulurkan lidahnya usil disertai kedipan mata menggoda.

Sans menahan tawa dalam gelengan kepala.

Shara kembali melangkah menuju gerbang utama setelah Sans dan pengawal sementara berlalu menghampiri tempat parkir khusus barisan roda empat.

Shara yang sedikit mencuri pandang pada sosok Sans yang telah samar, mengabaikan apa yang ada di depan langkahnya. Hingga tubuhnya terpelanting setelah berbenturan dengan seseorang.

Suara keluhan dua gadis berpadu dalam udara. Shara berupaya bangkit meskipun tertatih. Beberapa tepukan kecil telapak tangan menyinggung blazer dan rok lipit seragam sekolahnya agar serpihan debu segera enyah.

Shara terperangah saat retinanya menangkap bayangan mungil adik kelas yang dikenalnya. Gadis lemah lembut itu tampak menyeringai menahan sakit pada permukaan bumi. Dia segera menghampiri dan menyediakan sandaran untuk si mungil agar kembali tegak.

Si gadis mungil menyinggungkan sepasang telapak tangan pucatnya sebelum membelai pelan rok panjangnya yang sedikit kusut.

"Terima kasih, Kak Shara," ucapnya kalem.

Shara mengangguk cepat penuh kecemasan. "Aku minta maaf sekali, ya! Tapi apa kakimu tidak apa-apa? Aku dengar kamu terkilir beberapa waktu lalu."

Bibir Hanna melengkung manis sambil menjejakkan alas kakinya pada permukaan rumput rapi. "Alhamdulillah. Kakiku sudah pulih sempurna, Kak. Lihat aku sudah bersepatu, kan?"

Shara membelai dadanya. "Syukurlah, Han!"

Hanna menyatukan kedua telapak tangannya. "Kalau begitu Hanna permisi pulang dulu, Kak!" pamitnya santun.

Shara mengangguk kecil.

Raga Hanna yang hampir berputar setengah lingkaran, tertahan cengkeraman lembut.

"Tunggu, Han!" cegah Shara yang berubah pikiran dan menolak membiarkan si mungil berlalu.

Hanna menoleh dengan dahi berkerut. "Kenapa, Kak?"

Shara meluruhkan jemarinya. "Kamu pulang dengan siapa? Elang?"

Hanna menggeleng. "Kak Elang ada latihan intensif setiap hari menjelang turnamen hari minggu besok, Kak. Aku pulang sendiri naik kendaraan umum."

Shara menjentikkan jemarinya. "Kita pulang bersama, yuk! Aku dijemput supir pribadi papa."

Tangan kanan Hanna bergerk dua arah. "Maaf, Kak! Aku tidak mau merepotkan Kak Shara."

Telunjuk lentik Shara bergoyang menyangkal keraguan Hanna. "Justru aku butuh teman yang bisa diajak bersenang-senang bersama."

Hanna membelalak panik. "Maaf, Kak! Saya tidak biasa bersenang-senang."

Shara terkikik kecil. "Memang kamu berpikir apa, Han? Aku hanya ingin mengajakmu shopping!"

Hanna menggaruk kepala berhelaian gelap yang terurai di balik punggungnya. "Maksud aku seperti itu, Kak. Hanya saja aku bisa menemani Kak Shara lain kali setelah beberapa minggu mengumpulkan uang dari bekerja sambilan."

Shara meraih bahu Hanna yang lebih rendah darinya. "Tenang saja. Kamu tidak perlu membawa uang sepeserpun. Aku traktir camilan!"

Hanna hanya bergeming terpasung rengkuhan lengan kakak kelasnya.

Teriakan nyaring suara berat seorang adam menggeser perhatian Hanna dari Shara. Hanna melepaskan bahunya dari rengkuhan Shara. Dua pasang mata itu beredar mencari sumber suara yang kian pekat.

Langkah lebar seorang pemuda yang masih terbungkus seragam lengkap menghampiri seseorang yang tercetak nyata pada retina dan jiwanya.

Rambut emas yang menantang gravitsi tampak silau diterpa pelita senja. Jas yang melapisi seragam putih tak lagi rapi membungkus raga tinggi.

Si pemuda meraih genggaman mungil seorang masa depan hatinya. "Hanna, aku dengar dari Kak Arco kalau hari ini kamu sudah mulai masuk kerja sambilan. Ayo, kita berangkat bersama sekarang!"

Hanna menahan genggaman Prada yang kuat. "Tapi ... tapi bukankah Kak Prada harus mengantar pulang Kak Sans?"

Bibir Prada terbahak lebar. Aura terang bagai berpendar dari dalam tubuhnya. Paras berkulit tan segar itu dihiasi rona merah muda. Entah mengapa dia semakin mempesona meskipun seragam yang membalut raganya tak tertata sebagaimana mestinya.

Hanna menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa, Kak Prada?"

Prada menyisir surai pirangnya dengan tiga jari. "Aku cuti. Selama dua minggu aku terbebas dari majikan gila itu. Jadi aku bebas menghabiskan hariku bersamamu."

Bibir Hanna melengkung malu-malu.

Prada mengeratkan jemarinya. "Ayo, kita berangkat sekarang! Aku sudah rindu bekerja bersama Hanna seperti dulu lagi."

Hanna menarik napas perlahan sebelum mengembuskan zat asam arang. "Tapi ... aku takut jika kita jalan bersama akan diketahui Kak Beautya dan pasukannya."

Tatapan Prada menghunus tegas iris abu-abu Hanna. "Jangan khawatir! Anak-anak pemandu sorak sudah selesai latihan sejak awal. Jadi tidak akan ada yang melihat kita."

Hanna meragu dalam tundukan kepala. Bola matanya tak sanggup melawan tajamnya iris biru Prada. "Tapi...."

Suara Prada melirih. "Apa kamu masih membenciku? Sebenarnya aku ingin menjelaskan semua kesalahpahaman kita dalam perjalanan ke lecker bakery."

"Apa itu masih perlu, Kak? Kita sudah tak ada hubungan apa-apa...."

Prada menyentak lengan Hanna mendakatinya. "Aku tidak peduli, Hanna! Aku tidak peduli meskipun kita sulit sekali untuk mendekat. Yang paling penting bagiku, kamu mengetahui kebenarannya."

Sorot dua pasang iris beda warna bagai tak ada jeda. Bahkan keduanya seolah dapat saling merasakan denyut nadi lawan bicara.

"Kebenaran tentang apa?"

"Kebenaran kalau aku menyu...."

Tragis sekali, kalimat panjang yang akan mempengaruhi masa depan Prada terpenggal di pertengahan oleh teriakan protes sesorang yang terabai di sana.

Prada mendadak bungkam dengan napas tertahan.

"Berhenti bertingkah seolah halaman sekolah ini hanya milik kalian berdua!" celetuk si gadis cantik rambut merah, marah.

Hanna menunduk menyembunyikan rasa segan pada parasnya. Niatnya melerai jalinan jemari hanya akan menjadi wacana sementara. Tangan kekar Prada menjerat semakin erat hingga sukar terberai.

Prada melongo. Sepasang kelopak mata berkedip naif.

Shara mengernyit garang. "Kenapa?"

Prada menggaruk rambutnya. "Ternyata ada orang, ya?"

Shara mengepalkan tangan kanannya. "Jadi sedari tadi kamu tidak melihat aku ada di sini?"

Prada menggeleng polos.

Shara melerai jalinan jemari dua sejoli dengan paksaan. Setelah berhasil merantangkan jarak antara keduanya, Shara segera menyembunyikan Hanna di balik punggungnya.

"Apa-apaan kamu, Shar?" protes Prada tak terima.

Shara melipat kedua lengannya. "Aku lebih dulu bertemu Hanna dan memintanya pulang bersamaku. Jangan suka menyerobot, dong!"

Prada mendecih. "Dasar! Punya majikan gila pacaran sama gadis sableng. Selalu membuat rakyat jelata seperti saya menderita! Setidaknya biarkanlah si malang ini bahagia."'

Dagu Shara menengadah. "Apa maksudmu?"

Prada memutar matanya bosan. "Maksudku Sans dan kamu memang mirip pastinya berjodoh."

Dada Shara terbusung congkak. "Itu sudah jelas. Tidak perlu pembahasan."

"Sama-sama stres!" ledek Prada penuh emosi.

Shara bergegas menyeret Hanna mengikuti langkahnya setelah menghadiahi Prada juluran lidah tanda awal perseteruan.

Prada menggeram amarah. "Hanna!" teriaknya

Hanna berpaling pada Prada dalam langkah tergesa sepasang tungkainya. Hanna menatap sendu sosok Prada yang bermuram durja. Ada rasa menyesal tak segera menyambut tawaran Prada. Padahal jauh di relung batin Hanna mendambakannya.

Sebelah lengan Hanna terjulur. "Kak Prada!" lirihnya memelas.

***

Hanna termenung di sudut ruangan yang sarat pajangan gaun mewah. Gadis mungil itu duduk bersandar di sisi luar ruang ganti butik lokal yang memiliki perancang mendunia. Panjang deretan angka yang tercetak pada barisan pakaian koleksinya mampu bersaing dengan nominal gaun rancangan eropa.

Bola mata Hanna beredar selaras dengan pergerakan tubuh Shara. Gadis semampai berambut merah itu begitu asyik dengan tumpukan gaun di lengannya. Seorang pelayan cantik butik tampak gesit menanggapi selera Shara yang tak terbaca.

Mata Shara tampak berbinar mendapati sebuah gaun elegan pada pertengahan barisan pakaian. Parasnya yang sumringah bagai awak kapal menemukan harta karun terpendam. Pandangannya berpindah pada penampakan Hanna yang duduk gelisah seorang diri setelah menekuri gaun pastel di genggamannya.

Shara tersenyum penuh makna sebelum memutuskan menghampiri kasir. Tak butuh antri panjang, sebuah kantong belanja elegan bertorehkan merk terkenal telah sampai pada genggaman.

Shara bersenandung riang dalam langkahnya menghampiri Hanna. Tanpa kata, tangan cekatan itu meraih pergelangan Hanna. Hanna yang terperangah tak dapat menolak gerakan tiba-tiba.

Hanna beranjak tanpa persiapan membuat sedikit sentilan di pinggangnya. Gadis mungil itu berusaha mengenyahkan nyeri dengan sedikit gerakan peregangan otot.

Shara menyodorkan sebuah tas belanja medium dalam pelukan Hanna. "Untuk kamu pakai dan tidak boleh menolak!"

Hanna menahan kantung belanja berbahan kertas itu ketika hampir mengecup permukaan lantai butik. Hanna menilik isi perut wadah belanjaan itu. Retinanya menangkap penampakan lipatan kain putih bersih.

"Buat apa, Kak?"

Shara menepuk bahu Hanna semangat. "Untuk dipakai Hanna yang cantik agar memberi kesan saat bertemu pangeran nanti."

Hanna menyorongkan kembali pada Shara. "Jangan, Kak!"

Shara menepis pelan penolakan Hanna. "Kamu terima atau aku tidak akan mau berbicara lagi denganmu."

Paras Hanna memberengut. "Jangan bilang seperti itu, Kak!" pupusnya kembali mendekap kantong belanja

Shara menjentikkan jarinya. "Kalau begitu sekarang saatnya ke butik sepatu!"

Belum usai dengan kekagetannya, Shara telah menyeret langkah Hanna kembali. Mereka bergegas dengan semangat penuh menjamah salah satu butik sepatu tersohor setelah meninggalkan butik pakaian.

Lima menit telah melintas bersama kegigihan Shara berburu sepatu wanita terkini. Hanna yang tak begitu tertarik dengan keramaian hanya mampu memutar pandangan bosan dari mulai ujung butik sepatu hingga ujung lainnya yang berseberangan.

Penampakan Shara yang terbelenggu beberapa karyawan butik sedikit menghalangi pandangan Hanna. Gadis mungil itu tersenyum samar sebelum melangkah tanpa deru menuju pintu keluar.

Hanna dapat menghirup aroma kelegaan setelah alas kakinya menapak tangga berjalan yang mengantarkannya menuju satu lantai di bawah.

"Maafkan aku, Kak Shara! Aku tidak ingin merepotkan Kak Shara dengan membelikanku bermacam-macam barang." gumamnya sendiri.

Hanna masih mendekap tas belanja dalam langkahnya membelah keramaian pusat perbelanjaan. Hingga tubuh tinggi menjulang menahan sepasang tungkainya yang tergesa.

"Anda tidak apa-apa? Berjalanlah pelan-pelan, Nona!" sapa suara pria dewasa.

Hanna menengadah menatap sang pria yang hampir menjadi korban tumbukan. Pria itu menahan lengan Hanna erat.

"Kak Manager Arco?"

Si pria tampan oriental tersenyum menawan. "Nona Hanna? Sedang apa di sini sendiri?"

"Kak Arco sendiri sedang apa?" tanya Hanna yang mengabaikan pertanyaan lawan bicara

Arco meluruhkan cengkeramannya. "Saya baru saja selesai meeting bersama klien. Sekarang saya akan segera kembali ke lecker bakery. Nona Hanna sendiri?"

Hanna menggaruk rambutnya. "Hanya ... hanya berjalan-jalan saja."

"Apa Anda tidak bersama Tuan Muda Hanry?"

Hanna menggeleng. "Aku ... aku ingin pulang sendiri karena akan mampir ke lecker bakery."

Arco meraih jemari Hanna. "Kalau begitu Nona ikut mobil saya!" ajaknya.

Mata Hanna membola kaget mendapati jemarinya digenggam begitu erat. "Baiklah, Kak Arco!"

Terdengar derap langkah sepatu semakin nyaring menghampiri keduanya. Pemuda berbalut pakaian sekolah itu meluncur gesit di antara dua tangan yang saling bersinggungan. Dia segera menjadi jurang pemisah antara keduanya.

Tangan kanan si pemuda pirang meraih Hanna dan sebelah lainnya menggenggam Arco.

Arco dan Hanna saling melirik kebingungan.

"Aku juga akan ke lecker bakery maka dari itu aku juga ikut gandengan!" celetuk si pirang cengengesan.

Arco menaikkan sebelah alisnya. "Astaga Tuan Prada! Kamu juga sedang apa di sini?"

***


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C26
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login