Download App

Chapter 32: Yakin Mengelak

Dua hari sebelum kompetisi memasak tingkat sekolah menengah, Marco memompa nyali menghampiri salah satu pangeran sekolah. Pemuda yang akan menjadi idola utama jika memiliki garis keturunan konglomerat. Dia bukan pangeran utama melainkan tangan kanan sang nomor satu. Seorang pemuda yang lebih menyerupai ksatria daripada keturunan penuh tata krama.

Marco menggiring sang ksatria menuju kantin sekolah melintasi jalan setapak taman tengah. Prada yang belum paham hanya mengikuti laju tungkai adik kelas nyentrik yang melangkah takut-takut di hadapannya.

"Sebenarnya ada apa, Mar?" tanya Prada yang gagal menahan rasa ingin tahunya.

Marco setia melangkah tanpa berpaling. "Hal yang penting, Kak!"

"Sepenting itukah?" selidik Prada curiga

Marco mengangguk di balik punggungnya. Prada hanya mampu menatap heran punggung tipis yang berbalut blazer gelap. Potongan rambut pendek si gadis bergoyang seirama tarian anting panjang dan derap sepatu pantofelnya.

Prada mendesah kesal berkali-kali. "Kamu takut ketahuan si ratu sorak kalau berdekatan denganku?"

Marconah menahan langkahnya tiba-tiba hingga Prada kelabakan dibuatnya. Beruntung, Prada sigap dan tak sampai membentur tubuh kurus kering di depannya.

Gigi Prada menggemeletuk kesal. "Kenapa berhenti mendadak?"

Marco berbalik setengah lingkaran. "Aku tidak takut pada gadis-gadis cantik itu, Kak. Aku hanya tidak ingin membuat masalah dan berakhir memukul seseorang."

Prada menggeleng-geleng. "Anarkis."

Marco membusungkan bahu. "Ya, begitulah." sahutnya bangga.

Denyut migrain seketika menyerbu sebelah kepala Prada. "Lalu kenapa kamu membawaku ke kantin tempat yang banyak orang? Jelas mereka ada di sana!"

Marco menggoyang telunjuk kanannya angkuh. "Sudah aku analisis! Para gadis cantik itu sedang giat berlatih untuk beberapa bulan ke depan karena akan ada pertandingan basket. Pastilah mereka juga diet dan akan menghindari kantin. Aku yakin mereka tidak akan membebani formasi paling bawah nantinya."

Prada tak kuasa menahan sebelah kepalanya yang menderita. Dua jari yang saling bersisian segera memijit pelan pelipisnya.

Marco terus mengoceh, "Mereka tidak suka aset mereka bersentuhan dengan spesies buruk rupa seperti kami, kan?"

Prada mendesah lelah. "Aset segala dibahas? Cewek itu merepotkan, sering repot sendiri dan suka membuat kerepotan."

Telunjuk Marco membidik mata Prada. "Salah satu aset sekolah itu termasuk Kak Prada. Cowok tampan yang tidak pernah tenang karena tidak semua cewek diijinkan berdekatan."

"Sudahlah, tidak perlu memikirkan hal tidak penting." timpal Prada.

"Jika Kak Prada tenang, kami kaum kekurangan kecantikan pasti juga akan tenang memandangmu dari sudut mana saja."

Iris biru Prada memicing. "Emang sejak kapan kamu naksir aku? Bukannya kamu pacaran sama Si gondrong?"

Marco membelalak. Seketika rona merah membakar parasnya. Punggungnya berputar kembali menghadap Prada sebelum menyambung langkah yang tertunda.

Prada mengikuti langkah Marco pelan. "Benar, kan? Kamu pasti ada apa-apanya dengan si om gimbal itu?"

Tampak bayangan gelengan kepala Marco pada retina Prada. Pemuda itu hanya mampu meningkatkan kejahatan bibirnya yang menyeringai.

"Kami tak memiliki hubungan apa-apa!" tegas Marco emosi.

Prada menyembunyikan sepasang tangan dalam saku celana. "Tapi tatapan kalian saat di rumah sakit mengatakan hal berbeda."

"Kak Prada berisik," gerutunya.

Marco menyumbat dua lubang telinganya dengan telunjuk. Bayangan Kantin sekolah yang belum ramai mulai tampak pada retina Marco. Gadis itu memacu langkahnya agar segera menggapai salah satu meja kosong di bagian tengah.

Prada meletakkan tubuhnya malas di hadapan Marco yang lebih dulu menempatkan posisi. Sebuah meja persegi memisahkan keduanya.

Prada menopang dagu proporsionalnya pada permukaaan dua telapak tangan. "Cepat katakan!"

"Dia meminta bantuanmu."

Prada menaikkan sebelah alisnya. "Dia?"

Marco melirihkan volume suara. "Kau akan paham. Dia akan kemari."

Volume suara Prada ikut menurun. "Apa yang dia inginkan?"

"Dia ingin kamu menolong kami." balas Marco tanpa basa-sasi.

Prada mengibaskan tangannya. "Salah satu di antara kalian pasti ada yang menolak."

Marco mengiyakan. "Maka dari itu tidak akan ada pemberitahuan apapun."

Prada menyipit. "Lalu apa alasan dia membatalkan diri? Aku rasa dia sudah tidak punya urusan lain."

Marco melirik jam tangannya. "Sebentar lagi dia datang. Semua yang menyangkut dia tanyakan langsung pada orangnya."

Prada mengetuk pelan meja di bawah sikunya dengan irama acak. "Lalu kapan waktunya?"

"Lusa."

Prada melotot. "Kamu gila?"

"Bukan kami tapi dia yang gila!" timpal Marco tak mau kalah.

Prada menyapu rambut dahi ke belekang. "Dia lagi. Dia lagi. Kalian benar-benar orang gila. Bagaimana aku bisa melalui sesuatu tanpa persiapan?"

Marco meraih genggaman tangan Prada yang tergeletak pada permukaan meja. Mata gelap si gadis maskulin berbinar memohon.

Prada melepas jemarinya cepat. "Jangan pegang-pegang!" geramnya.

Marco menarik tangannya. "Maaf, Kak! Aku hanya memohon bantuan saja. Tolong kami, ya?"

Prada membuang muka kecut.

Telunjuk Marco terulur pada sosok yang mengikis jarak dengan meja mereka. "Dia sudah datang!"

***

Hanna termenung sendu pada bangku halte bis. Kakinya berayun pelan seperti manusia pengangguran tanpa pekerjaan. Entah mengapa hatinya tak rela menyaksikan keakraban Prada dan Marco saat di kantin sekolah istirahat tadi. Hanna menyesal tak segera menerima pernyataan Prada yang tak hentinya berjuang. Sebenarnya Hanna tak berniat menolak. Hanna hanya masih ragu dengan ketulusan Prada.

Prada sedikit tak hirau ketika mereka berpapasan di pintu gerbang. Biasanya Prada tak pernah absen merayunya diam-diam ketika mereka bersua. Tapi kali ini sikap dingin Prada terasa berbeda.

Hanna termenung terlalu dalam hingga tak menyadari suara klakson kedatangan bis kota. Gadis itu setia bergeming bagai batu hingga kendaraan pengangkut masal itu berlalu.

Ketika menyadari bis telah berlari, Hanna hanya mampu menepuk dahi. Padahal dia bertekad melupakan rasa pada Prada. Namun kesal datang ketika sang pujaan berdekatan dengan seseorang. Hanna melempar pandangan pada Jalanan yang padat. Tindakannya menghilangkan resah dengan menikmati kepadatan jalan merupakan pilihan salah.

Matanya menyaksikan pria pujaannya tengah berkendara bersama seorang gadis tomboi sahabatnya.

Kesal menyelinap dalam hati Hanna tanpa bisa dihadang. Terbersit rasa menyerah dalam benaknya. Dia tak ingin berharap lagi pada sikap peduli Prada yang mendebarkan.

Hanna masih bergeming pada permukaan bangku halte. Dia enggan beranjak meskipun dua armada pengangkut masal telah melintasi hadapannya.

Bayang pemuda yang semakin memenuhi otaknya menjelma dalam dunia nyata. Si pirang yang hobi cengengesan menepikan kendaraannya pada tepi halte.

Si pemuda membuka kaca pelindung kepala. "Hanna, kenapa masih di sini?"

Hanna melempar tatapan dalam gelengan pelan.

Si mata biru membelai jok penumpang. "Ayo, aku antar!" ajaknya.

Hanna beranjak dengan kesal. Dia menggeleng tegas sebelum merentangkan jarak dengan tergesa.

Prada menuruni motor sportnya kemudian menyusul Hanna. Tangan kekarnya menggapai lengan mungil Hanna. Hanna yang tersentak berbalik badan menghadap Prada. Mereka beradu pandang sesaat hingga Hanna membuang muka.

Hanna menghempaskan tangan Prada.

Prada mengernyit heran. "Ada apa, Hanna?"

"Kenapa Kak Prada kembali lagi ke halte sekolah? Bukannya tadi sudah pergi dengan seseorang?" selidik Hanna.

Prada bergeming sejenak dalam lamunannya. Dia mengulum senyum saat memori menggelitik muncul dalam benaknya.

"Kamu cemburu, ya?" godanya.

Pipi Hanna menggembung. "Tidak!"

Bahu Prada menyinggung bahu mungil di sebelahnya. "Ayolah, jujur saja! Hanna cemburu pada Prada."

Hanna berjingkat menjauh. "Kak Prada jangan dekati aku lagi!"

Hanna menghalau jemari Prada yang akan meraih lengannya. Gadis mungil itu bergegas mengayun seribu langkah menghindari Prada. Sepasang tungkainya menapak tergesa sepanjang trotoar.

Prada enggan menyerah pada sikap aneh Hanna. Langkahnya yang lebar tak kesulitan menyusul sosok Hanna yang bagai mangsa kecil.

"Hanna, tunggu!"

Hanna mempercepat langkahnya.

"Hanna, berhenti!" teriak Prada kembali.

Hanna menggeleng dalam langkah gesitnya.

Prada memusatkan seluruh energinya pada kedua tungkainya. Ayunannya semakin menggila bagai kuda hilang kendali saat menyadari ujung trotoar yang terpisah jalan raya.

Hanna yang ceroboh terus memutar sendi kakinya tanpa waspada. Hampir saja tubuhnya tergelincir dan hanyut pada derasnya arus jalan raya. Beruntung tangan sigap Prada mampu menggapai lengan sang gadis. Prada merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapannya sebelum mendarat darurat pada tepi trotoar yang langsung berbatasan dengan jalan.

Kaki kanan Prada yang kurang beruntung terkilir setelah menyinggung kerasnya tepi trotoar. Tubuh tinggi kekar itu menyerah kalah setelah beradu dengan susunan paving rapi. Prada hanya mampu meringkuk tergeletak melindungi Hanna.

Hanna menggeser tubuhnya perlahan berusaha meluruhkan dua lengan kokoh yang menjaganya. Hanna bersimpuh di sisi raga Prada yang merintih lirih.

Mata Hanna berkaca-kaca. "Kak Prada, maafkan aku! Ini semua salahku."

Prada meringis nyeri. Kepalanya menggeleng kepayahan. Bibirnya bergetar hendak utarakan kalimat tapi suaranya terbelenggu kesakitan.

Hanna beranjak. "Tunggu, aku akan mencari bantuan!"

Hanna menemui satu per satu pedestrian yang tak jauh dari keberadaan mereka. Beberapa pedestrian yang ditemui Hanna berbondong-bondong menghampiri Prada yang berjuang melawan kesakitannya.

Beberapa pedestrian pria berupaya memapah tubuh Prada ketika seorang pria separuh baya tergopoh-gopoh menyeruak kerumunan.

Paras pria bersetelan jas kebingungan. "Apa yang terjadi?" tanyanya panik.

Hanna menjawab, "Teman saya jatuh terkilir, Pak!"

Si pria berjas berpaling pada Hanna. Seketika mata si bapak tampan melebar. "Kamu murid BMN yang kerja sambilan itu, kan?"

Hanna mengangguk cepat.

Si pria berjas melempar tatapan pada korban. "Jadi dia...." kalimatnya terjeda ketika bayangan rambut pirang jatuh pada retina si pria berjas.

Pria berjas bergegas meraih tubuh si pemuda pirang. "Astaga! Prada!" teriaknya histeris.

Pria berjas menepuk bahu para pedestrian pria yang menopang tubuh Prada. "Bapak-bapak, saya minta tolong bawa pemuda ini ke mobil saya! Dia anak asuh saya."

Para pedestrian pria mengangguk setuju. Meraka lekas menyusul pria berjas yang membimbing langkah di depan. Seorang sopir muda tampak tergesa menarik daun pintu mobil sebelum tubuh Prada menghuni bangku penumpang. Para pedestrian kembali melanjutkan perjalanan yang tertunda setelah mendapatkan ucapan terima kasih dari pria berjas.

Hanna menahan lengan pria berjas yang akan menempati bangku penumpang terdepan.

Pria berjas menoleh dengan kerutan di dahi.

"Ijinkan saya menemani Kak Prada, Pak!"

Pria berjas mendesah pendek sebelum mengangguk maklum.

***


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C32
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login