Download App

Chapter 2: 2. Clara Sesilia Anzanna

Gadis berwajah pucat, betubuh ringkih. Ia lagi-lagi terbagun malam-malam karena merasa badannya sedang tidak baik-baik saja. Entah sudah hari keberapa dia tidak bisa tidur seperti ini, membuatnya kesal sendiri.

Clara Sesilia Anzanna, gadis cerdas dengan berjuta mimpi, namun harus menyerahkan mimpinya sejak 1 tahun yang lalu.

Clara yang kerap di panggil Ara itu, turun dari kasur, berjalan menuju meja tempat dia meletakkan gelas dan ceret. Namun saat dia ingin minum, air di dalam ceret telah habis. Ara menghela napasnya berat. Dia mengambil ceret dan keluar dari kamar, berjalan menuju dapur untuk mengisi ceret.

Saat sedang mengisi air, Ara mendengar suara pintu rumah di buka, ia menoleh ke arah jam dinding, hampir pukul 2 dini hari. Ara meletakkan ceretnya lalu berjalan menuju pintu.

"Ayah?" panggil Ara melihat sang ayah yang sedang melepaskan sepatunya.

"Kenapa kamu bangun? Sana tidur lagi, masih jam 2 pagi ini," suruh Tama.

Ara berjalan mendekat, mengambil tas Tama.

"Ayah kenapa pulang kerja sampai larut begini, bukannya sudah Ara bilang ayah itu butuh istirahat jangan kerja mulu ayah. Lagian udara malam hari itu dingin ayah, nanti bisa sakit," omel Ara mengambil secangkir air hangat untuk Tama.

Tama tersenyum, menyuruh Ara untuk duduk di sampingnya, setelah itu dia mengelus kepala Ara dengan lembut lalu merangkulnya.

"Ayah baik-baik saja Ara. Ayah sudah berteman baik dengan udara malam jadi ayah tidak akan sakit. Beberapa hari ini juga ayah lagi banyak kerjaan yang engga bisa di tunda nak."

Ara terdiam sejenak, menatap Tama sang ayah. Dari manik mata Tama sudah terlihat jelas bahwa dia benar-benar lelah, matanya yang sudah sangat sayu. Karena tidak pernah mendapatkan waktu tidur yang cukup. Lelah yang Tama tahan 6 bulan ini sangat terlihat.

"Kalau boleh, Ara akan membantu ayah dengan kerja part time sehabis pulang sekolah, gimana?" tanya Ara menggenggam tangan Tama.

"Enggak! Ayah engga bolehin kamu kerja part time! Cukup sekolah saja Ara, yang ayah bolehkan, untuk kerja ayah tidak akan pernah izinkan kamu. Jangan melakukan hal yang tidak tidak Ara. Kamu itu butuh banyak istirahat bukan banyak kegiatan! Bukan tugas kamu untuk menafkahi ayah!" tolak Tama dengan tegas.

"Tapi yah..."

"Engga ada tapi tapian Ara, mencari uang itu tugas ayah. Tugas kamu hanyalah istirahat yang banyak! Udah masuk sana tidur, ayah juga mau bersih-bersih." Tama bangkit dari sofa melangkah menuju kamarnya, meninggalkan Ara.

Ara menghela napasnya panjang. Dadanya mulai terasa sesak dan matanya mulai berkaca-kaca, dia menahan untuk tidak menangis.

"Ayah, Ara minta maaf."

Hanya kata maaf yang bisa Ara ucapkan setiap harinya, rasa bersalah semakin hari semakin besar, apalagi melihat ayahnya yang selalu pulang larut malam demi menyelamatkan hidupnya yang ntah bisa hidup lebih lama atau tidak. Ara merasa dia adalah beban bagi ayahnya, terlahir cacat membuat ayah harus membanting tulang hingga lelah dan kehilangan berat badannya. Ara yakin tidak hanya tidur yang kurang ayah juga pasti makan hanya sesempatnya.

Ara selalu mencoba untuk bersyukur setiap saat, karena ayahnya selalu ada di sisinya, menjadi support system dirinya. Ayah adalah segalanya bagi Ara, hanya Ayah yang dia punya.

Lelaki yang luar biasa di titipkan oleh tuhan, yang memiliki kekuatan yang tak pernah ada habisnya. Selalu tersenyum dan bersabar di setiap cobaan yang dia dapatkan. Lelah dan pegal bukan segalanya bagi dirinya, yang paling penting dia harus bisa menyelamatkan anak semata wayangnya dan memberikan semua kemauan sang anak, karena kehidupan baginya hanyalah untuk anaknya.

****

Ara berdiri di depan rumah sakit yang sudah menjadi rumah keduanya. Beberapa menit yang lalu Tama sang ayah baru saja mengantarkannya untuk cuci darah terlebih dahulu sebelum pergi ke sekolah. Namun Tama tidak menemani Ara, dia hanya mengantar Ara sampai di depan rumah sakit. Ara menghela napasnya sambil tersenyum, Hari ini Ara merasa senang, akhirnya dia kembali bersekolah setelah sekian lama berhenti, lebih tepatnya dia mengambil home schooling selama 1 tahun sebelumnya, dia yang di beritakan pindah ke Amerika hanyalah alihan berita, agar tidak ada yang mengetahui Ara mengidap sakit yang parah. Sebenarnya dia tidak boleh bersekolah karena saat di sekolah Ara pasti banyak melakukan kegiatan, apalagi Ara termasuk gadis yang aktif sejak kecil. Namun setelah konsultasi sedikit dengan dokter dan sedikit membicarakan penyakit Ara kepada kepala sekolah, akhirnya ara di perbolehkan bersekolah namun tidak melakukan hal yang berat berat yang bisa membuatnya lelah, dan dia harus rajin cuci darah.

"Bagaimana jika aku tidak usah cuci darah hari ini?" ucap Ara membuka tasnya melihat uang yang di berikan oleh tama tadi cukup banyak. Dia berniat absen cuci darah hari ini untuk pertama kalinya. Ara keluar dari rumah sakit sebelum suster di rumah sakit mengenalinya. Dia berjalan menuju toko buku terdekat, Ara ingin membeli beberapa buku dan alat tulis baru untuk menambah semangatnya belajar.

Sekarang Ara sudah berada di toko buku terdekat, ini baru pertama kali setelah 1 tahun yang lalu dia selalu berada di rumah, hanya keluar saat mau kerumah sakit saja. Kali ini dia pergi sendiri untuk membeli buku. Ara tak berhenti tersenyum sambil mengambil beberapa buku lucu dan alat tulis yang lucu. Beginilah jika perempuan sudah menemukan barang-barang yang lucu dia akan langsung membelinya, tanpa berpikir panjang.

Setelah selesai memilih beberapa buku tulis dan alat tulis, Ara berjalan menuju rak buku kumpulan buku SBMPTN untuk masuk ke universitas. Sejak kelas 10 Ara sangat ingin masuk ke universitas impiannya, dia selalu membeli buku SBMPTN setiap tahun. Walaupun ada beberapa yang tidak dapat dia kerjakan dia selalu membeli buku tebal seperti kamus tersebut.

"Ai, Kamu jadi ambil Saintek?"

"Jadi, kan kita mau berjuang sama sama masuk kedokteran."

"Aahh... Iya aku lupa Ai, yaudah yuk langsung ke kasir aja, nanti malah telat lagi kita ke sekolahnya," ucap lelaki itu sambil tersenyum manis dan mengelus pucuk kepala gadis yang berada di sampingnya.

Ara terdiam, dia melihat sepasang sejoli itu hanya tersenyum sambil merasakan sesak di dada. Memiliki pacar yang punya cita-cita sejalan dengan dirinya, apa masih bisa Ara merasakan itu. Waktunya sepertinya tidak cukup dan tidak bisa merasakan hal indah itu. Hal yang banyak dilakukan anak muda untuk ambis bersama mengejar cita-cita bersama.

Ara memilih untuk segera ke kasir, dia tetap mengambil buku SBMPTN yang Saintek karena dia sekarang berada di jurusan Ipa. Dia ingin menjadi seorang dokter, sama seperti sepasang sejoli tadi, menjadi dokter adalah cita-cita terbesar Ara, dia ingin menyelamatkan nyawa banyak orang dan menjaga kesehatan Tama sang ayah. Namum balik lagi ke takdir tuhan. Apakah dia bisa di beri waktu untuk menjadi dokter? Hanya Tuhan lah yang tau.

Ara keluar dari toko buku, dia langsung menuju halte bus, untuk beristirahat sambil menunggu bus menuju sekolahnya. Napas Ara mulai sesak, padahal dia tidak berjalan jauh tapi napasnya sudah sangat tidak beraturan. Ara memejam kan matanya sambil mengatur napasnya.

"Kamu gimana sih! Kerja gitu aja tidak bisa, mencari investor saja tidak bisa, gimana saya mau gaji kamu kalau tidak ada yang mau investasi ke kita!"

Suara yang cukup kuat membuat Ara membuka matanya perlahan, dia menoleh ke samping melihat apa yang terjadi. Ara menyipitkan matanya, dia mengenal lelaki itu yang sedang berjalan menunduk di samping lelaki berjas hitam rapi.

"Ayah?" panggil Ara pelan.

"Maaf tuan, banyak perusahaan yang tidak mau berinvestasi ke perusahaan kita karena berita perselingkuhan tuan telah beredar dimana mana tu--"

"Jadi kamu menyalahkan saya?!"

"B-bukan begitu tuan maksud saya."

"Jadi apa maksud mu jika bukan menyalahkan ku barusan?! Kau jika masih ingin bekerja dengan ku cari investor segera! Atau tidak kau ku pecat, agar kau tidak bisa membayar pengobatan anak mu yang cacat itu!"

Ara langsung berdiri, lelaki itu adalah ayahnya. Ayahnya sedang dimarahi oleh atasanya. Jadi selama ini ayahnya pulang larut malam karena sibuk mengembangkan perusahaan dan mencari inverstor. Hati Ara terasa tertusuk-tusuk, kedua matanya berkaca-kaca melihat ayahnya di bentak-bentak di depan orang banyak yang sedang lewat.

Tin... Tinn...

Bus menuju sekolah ara sudah datang. Ara yang ingin mendekat, namun tertahan. Ayahnya tidak tau kalau dia absen dari cuci darah hari ini, jika ayah tau pasti ayah akan sedih dan kecewa.

"Maafin Ara yah..." ucap Ara lirih lalu masuk kedalam bus. Di sepanjang jalan Ara menyesal karena absen cuci darah, dia benar-benar anak tidak tau diri. Ara menangis terisak dia dalam bus, hingga pengunjung bus menatap Ara sambil mengerutkan kening mereka.

*****

Ara bediri di depan gerbang sekolahnya, tatapannya kosong. Pelahan dia meremas kantung kresek menahan agar tidak menangis lagi. Saat merasa sudah tenang, Ara memasuki kawasan sekolah, dia menghela napasnya panjang sambil tersenyum. Dia merindukan teman-teman dan guru-guru di sekolah ini. Sebelum masuk kekawasan sekolah lebih dalam, Ara memasukan kantung belanjaannya kedalam tasnya, lalu menarik lengan bajunya. Ia menatap lekat pergelangan tangan kirinya yang terlihat banyak bekas suntikan disana. Luka yang sudah menemaninya hingga kini.

"Pliss jangan kambuh, kambuh lagi ya. Beri waktu Ara sampee Ara dapatin apa yang Ara mau dan bahagiain ayah. Pliss beri Ara waktu 100 hari, jadikan 100 hari itu menjadi 100 hari yang istimewa, yah..." Ara menunduk, dia lagi-lagi menangis, dengan cepat dia mengelapnya lalu berjalan menuju ruang kepala sekolah.

Setelah selesai dari ruang kepala sekolah, Ara di antarkan ke kelasnya, dia mendapatkan kelas unggulan di jurusan ipa. Memang tidak bisa di pungkiri kepintaran Ara masih tetap sama, walaupun dia 1 tahun home schooling dia tetap mendapatkan nilai yang hampir sempurna seperti kelas 10 dulu. Ara sepertinya akan tetap menjadi gadis kesanyangan SMA Budi Darma.

Tringgg...

Bel berbunyi mengingatkan Ara dengan 2 tahun yang lalu, dimana saat bel istirahat berbunyi semua siswa siswi berbondong-bondong menuju kantin. Ara belum bisa mengenali teman-teman lamanya, banyak sudah yang terlihat berbeda membuat Ara hanya bisa tersenyum di sepanjang koridor menuju kantin.

Setelah sampai di kantin Ara berjalan menuju stan minuman untuk memesan jus jeruk kesukaannya 2 tahun yang lalu, mungkin kali ini dia hanya menyicipinya 1 sendok atau 5 sendok paling banyak.

Saat menunggu antrian dia mengeluarkan ponselnya dari saku roknya, untuk menghubungi sang ayah, karena dia sudah berada di sekolah. Namum niatnya itu di urungkannya, dia tidak ingin mengganggu sang ayah.

"OOHH, CEWEK IBLIS YANG NGEHUKUM GUE LARI 50 KELILING GARA-GARA TELAMBAT 2 MENIT ITU KAN? YANG WAJAHNYA JUDES ITU, KAN?"

Suara teriakan itu mengejutkan Ara, Ara langsung menoleh mencari sumber suara. Kedua mata Ara menemukan dua cowok yang tengah duduk di salah satu meja di ujung kantin. Satu cowok sedang menutupi wajahnya dengan piring gorengan, dan yang satu lagi sedang menepuk-nepuk mulutnya.

Ara menyipitkan matanya, ia merasa dua lelaki itu tidak asing, seperti pernah melihat namun dimana, Ara lupa. Inilah penyakit Ara, Ara sangat pelupa.

"Aksara bukan sih, itu?" tanya Ara pada dirinya sendiri, dia mengingat salah satu lelaki yang duduk di meja ujung itu, lelaki yang masih merutuki mulutnya itu masih tetap sama seperti 2 tahun yang lalu. Tingkah absurbnya yang selalu membuat onar masih sampai sekarang, membuat Ara tersenyum.

Ara berjalan mendekati meja ujung itu sambil membawa segelas jus jeruk yang baru saja dia pesan. Kali ini dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang tidak dia dapatkan 2 tahun yang lalu. Ara berjalan semakin dekat dengan senyum yang mengembang.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login