Download App

Chapter 24: Tanpa Gagang Pintu

"Syukurlah... Nyantai dong berarti? Yasudah, selesai makan nanti terserah kalian mau tidur apa engga. Bebas!" seru Ellera menegaskan.

"Eh, Esme tahun nanti udah lulus, ngga, sih?" celetuk Sellena.

"Iya, haha," jawab Esme dengan tertawa miring. Mulutnya penuh dengan makanan.

"Woww ... nggak kerasa, ya. Kita dah besarin ni anak sampe segede ini. Lihatlah ... bahkan lebih gede tubuh Esme loh dari kita," ledek Elend. Tapi emang benar sih ucapannya. Perawakan Esme memang sangat besar dan tinggi dari kakak-kakaknya. Kakak-kakaknya lebih bertubuh tinggi plus ramping.

"Hahaha ... udah-udah, kalian lanjut makan dulu," ujar Ellera berdiri dari tempat duduk lesehannya. Sepertinya ia akan meninggalkan ruang tengah itu.

"Mau kemana, Elle?" tanya Sellena penasaran.

"Buang air kecil. Dari tadi nahan pipis," terang Ellera menghentikan langkahnya kala temannya bertanya.

"Eh ada kamar mandi, ya? Tapi kenapa, Kak Elle malah keluar? Di luar toiletnya?" Esme celingukan mencari bayang-bayang Ellera yang sudah menghilang.

"Iya, dan gelap bangettt...." beber Sellena menjelaskan miris.

"Tapi kok berani? Bawa senter, 'kan? Tapi Ellera nggak bawa senter lo tadi," cemas Elend.

"Engga guys ... tenang aja. Ada flashlight hape kok haha. Udah biasa itu. Kata warga sekitar, bahkan mereka tidak pernah memakai penerang sama sekali. Udah biasa katanya," kata Sellena meringis.

"Hahh...? Bisa gitu, ya?" kaget Esme tidak menyangka.

"Bersyukur banget kita semua punya toilet pribadi. Tuhan ... maafin saya yang selama ini kurang bersyukur," lirih Elend melanjutkan makannya.

***

"Belum ada kabar apa-apa? Mama khawatir, Pa. Takut Elle nggak pulang kerumah. Melainkan mencari penginapan baru setelah praktek itu selesai," keluh kesah bu Ellersane. Ia tidak bisa bekerja dengan tenang saat putrinya tiada kabar akan kepulangannya. Hari-hari yang ia jalani sungguh berat, ditambah Prof Eleranda yang semakin hari semakin emosional terhadapnya, padahal Prof Eleranda sebelumnya begitu harmonis dengan bu Ellersane.

"Lihat saja nanti. Jangan harap aku akan memaafkan anakmu itu. Membuat semua orang cemas saja. Mau jadi apa dia? Dari awal salah, tapi tidak meminta maaf. Malah membuat masalah lagi dan lagi. Ini sebabnya aku marah-marah. Bukankah tindakanku sebagai seorang ayah itu sudah benar? Jelas dong marah-marah tidak jelas. Orang anaknya kaya gitu. Jadi untuk saat ini, jangan salahkan aku." memekik keras, membuat bu Ellersane tersentak sambil tersedu-sedu. Membayangkan bagaimana putrinya bisa seperti itu.

"Bisanya cuma nangis kau ini. Sepertinya aku tidak bisa hanya tinggal diam saja. Aku mendadak tidak bisa fokus bekerja karena ulah anak itu. Sekarang aku harus bertindak, sebelum anak itu semakin bertindak lebih jauh," semburnya lagi. Prof Eleranda benar-benar telah naik pitam. Ia segera bertindak dengan mendatangi kampus yang pemiliknya merupakan temannya sendiri, pak Ragiel.

"Paa...." lirih bu Ellersane mencoba menghentikan langkah suaminya. Namun Prof Eleranda tetap pada pendiriannya, yaitu tetap akan mendatangi pak Ragiel.

"Pa ... hentikan, Paa ... ini semua salah putri kita. Tidak ada sangkut pautnya sama kampus, Pa. Mama mohon jangan membuat masalah." Meskipun tidak berhasil, namun bu Ellersane tetap membuntuti suaminya sampai ke ruang tengah.

Dokkk ... Dokkk ... Dokkk ...

Tiba-tiba ketukan keras menggema di balik pintu utama kediaman Prof Eleranda.

Dokkk ... Dokkk ... Dokkk ...

Jeglek!

Pintu pun terbuka, bu Ellersane yang membukanya. "Apa yang Bu Selleny lakukan kemari?" tanya bu Ellersane sedikit penasaran—mengangkat satu alisnya.

"Bu Ellersane. Setelah di pikir-pikir, sepertinya saya tidak bisa hanya berdiam diri tenang di rumah. Seakan-akan semuanya baik-baik saja. Ohh ... tentu tidak bisa, Bu Ellersane" sergah bu Selleny. Selaku ibu kandung Sellena.

"Masuklah terlebih dahulu," suruh Prof Eleranda. Ia tidak jadi keluar karena kedatangan orang tua dari teman putrinya yang sangat mengejutkan.

***

Setelah semua duduk di ruang tengah. Bu Ellersane mempersilahkan bu Selleny yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu.

"Bu Ellersane ... Prof Eleranda ..." panggil bu Selleny lirih. Membuang muka sedikit.

"Iya, Bu Selleny. Bicaralah," suruh bu Ellersane mempersilahkan.

Prof Eleranda menjatuhkan punggungnya perlahan di sofa glamor miliknya. Ia menyimak obrolan dengan mengangkat satu kaki diatas kaki lainnya, dengan mengetukkan kuku-kukunya di gagang sofa antik kayu miliknya. Sehingga menciptakan bunyi Tukk ... Tukk ... Tukk ...

"Jadi begini, Anda pastinya memahami betul situasi hati saya saat ini. Selaku ibu kandung dari Sellena—yang saat ini pergi dengan Ellera, putri Anda. Jujur saja, saya senang karena pertemanan mereka yang terbilang sangat dekat dan membuat semua anak-anak diluaran sana iri, karena jalinan kasih hubungan pertemanan mereka sangat kuat. Akan tetapi, kenapa putri Anda tiba-tiba menjerumuskan putri saya?" Kata akhir yang dilontarkan oleh bu Selleny terlihat sangat tinggi.

Kemudian bu Ellersane dan Prof Eleranda saling tatap seketika. Ada apa dengan nada bicara bu Selleny?

"Menjerumuskan dalam arti?" Prof Eleranda mengangkat tubuhnya yang sedari tadi bersender di sofa.

"Sepertinya Ellera sudah mengakali putri saya untuk ikut dengannya. Saya mendapat laporan dari mentor mereka kemarin malam! Katanya, Ellera enggan diajak pindah ke tempat yang layak. Meski sudah saya suruh untuk pindah ke pemukiman rumah warga yang bagus. Saya di tolak mentah-mentah oleh putri saya. Karena Ellera, putri Anda! Elle telah menjerumuskan putri saya. Di kasih tempat tidur layak kok di tolak. Akibatnya putri saya juga ikut-ikutan." sewot bu Selleny.

Bukankah ini terlalu berlebihan? Hanya karena putrinya tidur di tempat semacam gubuk?

Bu Ellersane kesal balik ke bu Selleny. "Letak kesalahan putri saya dimana, ya?" tanya bu Ellersane dengan nada bicara yang tidak enak di dengar.

"Anda masih bertanya letak kesalahan putri Anda? Sekarang begini aja deh, Bu Elle. Bayangkan saja, saya selaku ibu kandungnya Sellena. Dari dulu, saya sama sekali tidak pernah membiarkan putri saya sampai terkena gigitan nyamuk. Saya berusaha keras agar putri saya tidak kedinginan! Saya dan suami saya mati-matian bekerja untuk menghidupi putri saya! Kehidupan putri saya selama ini sangat berkecukupan. Begitu pula dengan kehidupan putri Anda. Kenapa putri Anda membiarkan putri saya di gigit nyamuk seperti itu?" bentaknya lagi. Dan masalah masih seputar nyamuk.

"Nyamuk? Memangnya Anda tahu, jika putri Anda di gigit nyamuk sekarang?" sembur balik bu Ellersane tidak terima putrinya di cap telah menjerumuskan.

"Lah, kan memang benar. Seandainya saja putri Anda tidak menolak tawaran saya, pasti kedua anak kita tidak di gigit nyamuk! Astagaa ... ini benar-benar membuat saya semakin marah. Emosi saya, Bu Ellersane!" bu Selleny tampak sedang meradang larut dalam suasana.

Sedangkan di sisi lain, Prof Eleranda bingung dengan topik pembicaraan wanita-wanita itu. Kenapa harus perihal nyamuk? Sampai menimbulkan berdebatan seperti ini? Bukannya mencari solusi yang tepat agar keduanya pulang dengan selamat.

"Sudah-sudah...." pekik Prof Eleranda. Ia berdiri dari tempat duduk, dan mencoba keluar meninggalkan tamunya begitu saja. Ia tetap pada pendiriannya, yaitu menemui Ragiel untuk protes.

***

"Halo, Kak. Kenapa telepon malam-malam gini? Gimana-gimana?"

"Esme ... kamu beneran, 'kan? Udah ijin sama mama kamu?" Reiley tidak bisa tidur dengan nyenyak saat teringat Esme berada diluar sana. Apalagi mentalnya masih belum kuat menerjang gelapnya malam di pedalaman seperti itu. Takut terjadi apa-apa.

"Hahaha... Yaampun, Kak. Ini baru mau tidur, kukira ada apa tadi. Tenang aja. Nggak akan ada apa-apa kok. Udah dulu, ya. Ngantuk banget soalnya," ringis kecil Esme. Menenangkan Reiley.

Titt ... Titt ...

Esme mematikan teleponnya begitu saja. Baru kali ini ia tidak sopan dengan Reiley.

"Hah? Ada apa sebenarnya? Dia baik-baik saja, kan?" cemas Reiley, mencoba menghubungi temannya yang berada disana satu persatu. "Ya Tuhan... Semoga tidak terjadi apa-apa dengan mereka semua."

Reiley mencoba menghubungi Sellena. Namun tidak di jawab. Tak mau menyerah, Reiley juga menghubungi Elend orang yang paling bertanggung jawab disana. Karena Elend lah yang mengusulkan untuk menjemput mereka. Namun tetap sama, itu benar-benar tiada jawaban. Kali ini Reiley memberanikan diri untuk menghubungi Ellera. Meski tangannya gemetar saat ingin menekan tombol nomor Ellera. Akan tetapi Reiley tetap memencetnya. Ia tidak punya pilihan lain, ia tetap memberanikan diri—namun bagaimana bisa tetap sama? Tidak ada satupun yang menjawab panggilannya.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C24
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login