Download App

Chapter 3: 1.3. The Big Three

Gadis itu mendekati mereka berdua dengan gugup. Diikuti seorang laki-laki dengan seragam sekolah yang sama dengan Ian dan Lunar. Wajah laki-laki itu terasa familiar.

"Eeemmm... Maaf kakak." gadis itu menunduk sambil menggenggam kedua tangannya.

"Tolong maafkan saya. Saya kurang hati-hati saat membawa makanan dan menabrak kakak." Gadis itu memejamkan matanya. Entah mengapa ia terlihat takut.

"Tidak. Tidak apa-apa, itu tidak sengaja. Lagian untuk gadis kecil sepertimu pasti susah untuk melihat ke depan karena tertutup tubuh orang dewasa." Ian mengelus kepala gadis kecil itu.

"Apa kamu yakin? Adikku baru saya mengotori seragam sekolahmu. Aku akan mengganti biaya seragam sekolahmu." Suara laki-laki terdengar familiar di telinga Lunar.

Edward Moris. Siswa blasteran yang mendapatkan peringkat pertama di sekolah mereka. Lunar pernah melihatnya pertama kali saat ketua OSIS memberinya hadiah karena mendapatkan nilai sempurna. Bagaimana mungkin semua nilai akademik miliknya seratus tanpa terkecuali satupun.

Bahkan nilai seratus akademik Lunar bisa dihitung dengan jari, begitu juga dengan Ian.

Matanya coklat terang dengan rambut hitam legap, namun struktur wajahnya seperti orang eropa.

"Tidak perlu. Nanti bisa dibersihkan dengan pemutih. Warnanya tidak akan terlalu terlihat karena sudah aku bersihkan dengan air." Ian melambaikan tangannya, menolak Edward yang menawarkan untuk mengganti biaya seragam sekolahnya.

Edward menatap adiknya dengan dingin. Gadis kecil itu ketakutan melihat kakaknya dan bersembunyi di balik tubuh Ian.

"Jangan menatap adikmu seperti itu. ia jadi ketakutan, kan." Ian mengelus gadis kecil yang bersembunyi di belakangnya dan tersenyum.

Edward hanya menghela napas, melihat adik kecilnya bersembunyi seakan dirinya adalah orang yang berbahaya.

"Hah... Charlotte. Kemarilah, jangan membuat mereka salah paham." Edward mengulurkan tangannya meminta agar Charlotte menghampiri Edward. Namun Charlotte enggan mendekat dan tetap bersembunyi di belakang Ian.

"Tidak mau!! Kakak pasti akan mengatakan hal ini pada ibu!!" Charlotte berteriak dengan lantang. Edward hanya menggelengkan kepalanya.

"Aku selalu mengatakan hal seperti ini, jika orang yang bersangkutan meminta ganti rugi. Karena semua uang dipegang ibu." Jelas Edward

"Yaah... Bagaimanapun juga ibu akan selalu bertanya apa saja yang terjadi hari ini." Edward mengangkat kedua bahu, menandakan bahwa ia tidak bisa berbohong dengan ibunya. Charlotte menggigit bibirnya.

"Kalau begitu carikan aku mainan yang berguna!!!" Teriak Charlotte.

"Mainan??" Ucap Ian dan Lunar bersamaan.

"Hah... Ibu tidak mencari mainan yang berguna. Ibu hanya ingin tahu seberapa kreatif otakmu dalam mengubah mainan yang tidak berguna menjadi berguna. Itu hukuman untukmu, kenapa harus aku yang pusing." Edward menghela napas panjang, sudah pasrah menjelaskan kepada Charlotte.

_Mengubah mainan yang tidak berguna menjadi berguna? Sekarang aku mengerti kenapa otaknya begitu encer_ Batin Lunar.

"Memangnya mudah mencarinya?! Mengubahnya memang mudah tapi mencari or-" Charlotte terdiam. Edward menatap dingin adiknya.

"Charlotte. Itu sudah menjadi hukuman yang selalu ibu berikan kalau membuat masalah, bukan? Lagi pula setiap tahun keluarga besar selalu membuat sesuatu yang sangat diluar dugaan, bahkan sampai membuat sesuatu yang berbahaya dan dihancurkan." Ucap Edward penuh penekanan.

"Apa mau aku bantu mencarinya, dik? Kalau hanya sekedar mencari mainan untuk itu mudah." Ucap Ian. Charlotte tersenyum girang saat Ian menawarkan untuk membantunya mencari mainan.

"Sungguh?! Kakak akan membantu Charlotte??!" Mata Charlotte berbinar-binar.

"Tentu. Dan juga tidak baik membiarkan gadis kecil berkeliaran-"

"Tidak boleh. Orang yang bukan anggota keluarga atau kerabat dekat tidak boleh membantu. Itu sudah menjadi aturan." Sela Edward. Ian kebingungan dengan maksud ucapannya.

"Tapi adikmu masih sangat kecil. Apa kamu akan membiarkan adikmu berkeliaran mencari mainan sendirian?" Tanya Ian.

"Tentu tidak. Saat ia mencari akan ditemani oleh pengasuhnya. Hanya saja ia tidak boleh memberi saran dan hanya perlu menemani dan membayar saja." Jelas Edward. Lunar memperhatikan Charlotte. Mata Charlotte menatap tajam ke arah Edward. Lunar tersadar, Charlotte yang selalu ketakutan dengan tatapan Edward, sekarang menatap Edward dengan marah.

_Sepertinya Charlotte tidak takut dengan kakaknya. Atau hanya perasaanku saja?_ Batin Lunar.

Lunar memperhatikan Edward. Mata mereka bertemu. Entah sejak Edward memperhatikannya. Tanpa sadar Lunar langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain saat Edward terus memperhatikannya.

Edward melewati Ian, wajahnya masih saja datar. Ia sedikit membungkuk dan melihat wajah Lunar dari dekat. Lunar masih saja mengalihkan pandangannya dari Edward.

"Kamu... Lunar Mahendrata, kan?" Ucap Edward. Lunar tersentak saat Edward bertanya.

"Iya... Benar." Jawab Lunar terbata-bata.

"Kenapa kamu berkeringat? Apa baru dihukum karena sudah bolos latihan?" Tanya Edward.

"... Tidak. Itu tidak ben- Tunggu?! Kamu tahu darimana kalau aku tidak mengikuti latihan?" Tanya Lunar.

Edward menatap mata coklat gelap Lunar. Ia sedikit memiringkan kepalanya, merasa heran dengan pertanyaan yang dilontarkan Lunar padanya.

"Apa perlu alasan bagaimana aku tahu?" Tanya Edward dengan heran. Lunar kembali mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Tidak, bukan begitu. Hanya saja aku merasa sedikit aneh." Jawab Lunar sedikit gugup. Tidak tahu kenapa, setiap Lunar merasa gugup satu tangannya selalu menggaruk kepalanya. Edward masih saja menatap lekat Lunar.

"Kita tidak dekat. Tapi kenapa kamu bisa tahu kalau hari aku ada latihan?" Tanya Lunar. Edward tersenyum dan menghela napas. Ia merasa ingin tertawa saat Lunar mengatakan itu.

"Kau merasa aku seperti menguntit?" Tanya Edward. Ia menggelengkan kepalanya dan kembali menatap Lunar.

"Untuk beberapa alasan, setiap hari aku selalu berkeliling di sekolah. Memperhatikan setiap siswa dan kegiatan non-akademik setelah pulang sekolah. Jadi aku bisa tahu jadwal latihanmu di sekolah." Jawab Edward. Wajah Lunar langsung memerah. Merasa malu karena menanyakan pertanyaan yang konyol. Bagaimana bisa ia berpikir bahwa Edward memperhatikannya sampai mengetahui jadwalnya.

"Kau yang tidak pernah memperhatikan sekitar. Sebagai anggota OSIS, aku selalu memperhatikan kegiatan di luar jam pelajaran secara bergantian dengan anggota lain." Edward tersenyum. Saat tersenyum, Lunar merasa Edward sedikit berbeda dengan dirinya yang berbicara dengan Charlotte. Sikapnya terlihat lebih lembut pada Lunar daripada saat dengan Charlotte.

"Ngomong-ngomong. Apa kalian masih ingin bermain?" Tanya Edward.

"Yaa... Aku masih ingin. Tapi tidak dengan rollercoaster." Jawan Lunar.

"Heemmm?? Kamu takut ketinggian?" Tanya Edward.

"Tidak. Aku hanya tidak terbiasa dengan kecepatannya." Suara Lunar bergetar. Edward memiringkan kepalanya.

"Begitu ya. Kupikir kau adalah anak yang sempurna." Ledek Edward.

"Apa maksudnya sempurna?" Tanya Lunar heran. Belum pernah ada yang mengatakan bahwa Lunar adalah anak yang sempurna sebelumnya. Bahkan kedua orangtuanya ataupun para asisten rumah tangga. Karena semuanya tahu, tidak ada yang sempurna di dunia ini.

"Kau tidak berpikir bahwa kau sempurna?" tanya Edward lagi. Mengapa ia terus menanyakan hal yang sudah pasti.

"Kenapa kamu menganggap aku sempurna? Kalau aku sempurna, mungkin nilai akademik milikku akan lebih tinggi darimu. Lagian aku tidak ahli dalam segala hal." Lunar menghela napas. Edward masih saja tersenyum pada Lunar. Entah apa alasannya.

"Yaa... Mungkin itu hanya anggapanku saja. Kalau begitu kita mencoba permainan lainnya. Yaa... Kalau pulang sekarang, waktu yang diberikan untuk mencari mainan akan lebih sedikit." Edward kembali menatap Charlotte yang masih bersembunyi di belakang Ian. Tatapan matanya kembali mengeras seperti patung. Tidak ada kelembutan dari tatapan matanya.

"Cih... Brengsek." Gumam Charlotte. Ian terkejut, ia tidak mengira gadis kecil yang usianya sekitar 10 tahun mengucapkan kata 'brengsek'

Charlotte menatap Ian yang menunduk ke arahnya, dan tersenyum.

_Sepertinya anak ini tidak ingin ada yang mengetahui bahwa dia anak yang cukup kasar_ Batin Ian.

* * *

Pukul 04:00 petang.

Waktu latihan sudah selesai. Itu berarti waktu untuk bermain juga sudah selesai. Lunar harus segera pulang, syukurlah hari ini ibunya mengizinkan Lunar untuk pulang bersama dengan Ian sehingga supir keluarganya tidak menunggu di depan sekolah.

"Ian. Ayo kita pulang. Aku tidak mau ibu menanyakan banyak hal karena aku pulang terlambat." Lunar berdiri dan membuang gelas soda yang sudah habis.

"Bicara soal soda, rasanya sedikit aneh di lidahku. Semoga perutku baik-baik saja." Lunar menyentuh mulutnya. Lidahnya terasa sedikit aneh setelah meminum soda.

"Yaa... Untuk awalannya memang aneh. Kamu tidak suka, ya." Ian hanya menghela napas.

"Heem... Aku tidak pernah bilang tidak enak, loh. Kenapa kamu berpikir aku tidak suka?" Ucap Lunar.

"Kalau begitu apa kamu suka?" Tanya Ian lagi. Walau sudah tahu jawaban yang akan Lunar ambigu, dan nada suara yang sedikit membuat Ian merinding.

"Aku tidak pernah bilang kalau aku suka loh. Apa kamu berpikir kamu tahu apa yang aku suka?" Nada suara Lunar terdengar sedikit mengoda. Walau Lunar merasa merinding sendiri saat mengucapkannya, dan berakhir tertawa sendiri. Membuat aktingnya gagal. _Terlihat tidak bersalah karena pernah menolak Ian, bukan?_ Batin Lunar.

"Berhenti menggunakan nada suara seperti itu. Aku benar-benar merasa kamu seperti orang lain." Kesal Ian. Sikap yang tidak seperti dirinya sendiri. Akting yang hanya untuk menipu orang, atau senyum palsu untuk formalitas yang selalu orang dewasa lakukan untuk menjaga hubungan dalam berbisnis. Membuat Ian muak, begitu juga dengan Lunar. Karena itu mereka tidak terlalu suka berakting.

"Yaa... itu memang menyebalkan. Tapi kamu juga harus berlatih berakting. Karena kalian adalah penerus perusahan." Edward menyodorkan es krim stroberi pada Lunar. Lunar hanya menatap es krim itu saja.

"Ini untukmu." Edward mendekatkan bibirnya ke telinga Lunar.

"Kau suka rasa stroberi, bukan? Tapi sayangnya kau tidak bisa terus menerus membeli makanan dengan rasa stroberi. Bukan, tapi makanan yang kurang sehat, kau tidak diizinkan oleh ibumu." Bisik Edward. Lunar terkejut dan mundur beberapa langkah dari Edward.

"Bagaimana kamu bisa tahu?" Tanya Lunar. Edward hanya tersenyum.

"Kak Ian. Bagaimana sifat kakakku saat di sekolah? Apakah kakak adalah murid yang nakal?" Tanya Charlotte sambil memberikan es krim coklat. Sepertinya Charlotte sangat ingin mendengar keburukan tentang Edward.

"Terimakasih, ya. Ehhmmm... Bagaimana ya. Sepertinya kamu akan kecewa dengan jawabanku. Tapi Edward tidak pernah membuat masalah." Ian tersenyum seperti malaikat.

"Bagaimana mungkin anak yang seperti iblis di rumah, bersikap baik di sekolah." Ucap Charlotte. Ia terus saja berdebat dengan Ian, memastikan bahwa Edward adalah murid yang bermasalah.

"Sepertinya Charlotte sangat membencimu ya." Ucap Lunar. Mereka berdua berjalan sedikit menjauh dari Charlotte dan Ian.

"Itu hal yang biasa. Karena Charlotte sangat suka membuat masalah, dan aku sering melaporkan semua masalah yang ia buat." Edward menyodorkan es krimnya lagi ke Lunar dan diterima olehnya.

"Apa kamu anak pertama?" tanya Lunar.

"Tidak. Bukan anak pertama, tapi anak kesayangan." Jawab Edward. "Karena orang tuaku juga adalah pebisnis seperti orang tua kalian. Kau pasti tahu, tuntutan orang tua pada anak, bukan?" Tanya Edward. Nada suaranya terdengar sedikit bergetar. Lunar juga bisa mengerti perasaan Edward yang selalu mendapat tuntutan.

Reputasi yang baik, kepintaran dalam akademik, kecerdasan dalam menilai situasi, memiliki mana yang lebih penting, dan tentu saja keahlian dalam memimpin sebuah perusahaan.

"Ya, aku mengerti. Aku bisa berada di Indonesia ini, bisa di bilang juga sebuah keberuntungan. Atau juga tidak." Ucap Lunar. "Ngomong-ngomong kamu belum menjawab. Bagaimana kamu bisa tahu, aku suka rasa stroberi?" Tanya Lunar. Edward hanya menghela napas dan tersenyum. Tanya perlu mendengar apa yang dikatakan Edward, Lunar tersadar ia menanyakan hal konyol lagi.

"Hah... benar. Itu bukan hal yang harus ditanyakan kalau anggota OSIS melihatku membeli makanan rasa stroberi." Lunar menepuk dahinya. Tapi ia baru sadar, 'makanan yang kurang sehat, kau tidak diizinkan oleh ibumu' Pertanyaan ini masih terpikirkan olehnya.

"Ah, darimana kamu tahu ibuku tidak mengizinkan memakan makanan yang kurang sehat?" Tanya Lunar. Ini adalah hal yang hanya diketahui oleh orang rumah. Bagaimana bisa Edward tahu hal itu. Atau sekedar tebakan?

"Karena bibiku seperti itu juga." Jawab Edward dengan santai.

"Ya... Sepertinya kita hidup dengan keluarga yang hampir mirip ya." Ucap Lunar. Wajahnya terlihat sedikit sedih.

"Lunar. Ayo kita pulang." Panggilan Ian dari kejauhan, diikuti Charlotte dengan wajah yang kesal melihat Edward.

"Sepertinya sudah saatnya pulang." Edward memperhatikan jam tangan yang ia kenakan.

"Itu benar. Ibu pasti mencariku." Lunar kembali menatap Edward yang masih fokus pada jamnya. "Kamu selalu memperhatikan setiap murid ya." Ucap Lunar. Edward mendongak dan tersenyum.

"Benar. Aku suka memperhatikan orang-orang baik." Jawab Edward.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login