Download App

Chapter 3: Chapter 02

Pintu telah ditutup rapat oleh Issac. Dia berjalan menuju ruang kelas. Diajar oleh ksatria sungguhan. Akan tetapi, Issac tidak tertarik. Dia melewati setiap sisi dalam gedung. Ada banyak sekali tiang yang menyatu. Memiliki pola berdiri tegak. Mendengar kicauan burung bertengger di pohon. Beberapa siswa sedang berdiskusi di atas pohon. Merasakan kenyamanan yang begitu kentara. Sampai-sampai, mereka mengabaikan orang sekitarnya.

Kedua bola mata lirikan tajam ke gedung di samping Issac. Mengambil buku di sanggahan tiang, dekat dengan sinar matahari. Issac mengecek airnya merembes ke dalam tulisan tersebut atau tidak. Jemarinya menyentuh permukaan kertas. Ketika bersentuhan, masih terasa basah. Tetapi itu tidak menjadi masalah. Issac memejamkan kedua matanya. Membalikkan tiap halaman yang ada. Permukaan kertas semakin lengket. Sebagian terkena tumpahan dari air comberan.

Helaan napas berat. Menggesek setiap permukaan yang sudah terlanjur basah dan lengket. Seandainya saja Issac belajar menggunakan elemen sihirnya. Akan tetapi, waktu dan tempat tidak mengizinkannya. Sampai Issac harus ke perpustakaan pas jam istirahat. Itu pun hanya sampai lima menit. Sisanya, kepahitan dan kemalangan terus menanti dalam kehidupan Issac.

Tiap koridor yang dilewati Issac mulai terbuka. Jendela yang sebelumnya tidak transparan, mulai menyinari sinar matahari ke arah laki-laki berambut perak. Issac bergerak ke kanan. Terhindar dari sinar cahaya matahari. Selama dia berjalan, laki-laki berambut perak memikirkan perkataan yang diucapkan oleh Tristan kepadanya.

~o0o~

Setiap halaman yang Tristan Carr bacakan, dia selalu mengecek nilai ujian dari Issac. Angka dan huruf terus berkutat menunjukkan hasil kurang memuaskan. Terutama hampir semua bidang kecuali dua mata pelajaran. Yaitu mistikologi atau mitologi dan sejarah yang diciptakan oleh Dewa Ila.

Dengusan dari rongga hidung. Membuka tiap halaman yang ada di sana. Menyentuh permukaan kertas dan tebal. Dua peri bersamanya, menyalakan sebuah lilin. Tiupan angin kencang dari belakang Tristan, telah mengaburkan pandangan mata Issac. Dia berada di sebuah ruangan yang tidak diketahui olehnya.

Tempat kosong tanpa penghuni kecuali Issac, Tristan dan segerombolan peri, menyebar ke tiap sudut ruangan yang ada. Menunjukkan hasil nilai kepada pria berambut perak. Tristan mengenakan kacamata lensa sebelah kiri. Suara gerigi pada sisi sebelah kanan.

Kedipan mata oleh Tristan sejumlah dua kali. Kedipan tersebut membuat sekelilingnya rusak dan tanpa tujuan. Sebuah lingkaran menghiasi yang ada di sekitarnya. Titik poin pada sebuah lingkaran, tersebar hingga mencakup tiga buah. Di bagian tengah, ada titik poin berkedip secara terus menerus. Tristan mengambil secarik kertas. Memegangnya tepat di bagian tengah. Seketika, kertas itu berubah menjadi sebuah angka dan tulisan dari salah satu guru bersangkutan. Kedua bola mata Tristan membaca cepat. Kemudian, beliau berdeham.

"Issac, apa kau pernah berpikir bahwa sejarah dan mistikologi itu merupakan pelajaran minor yang pernah kuketahui?" tanya Tristan.

"Memangnya ada yang salah dengan itu? Apakah saya pernah memberikan suatu masalah terhadap anda?" tanya balik Issac.

Tristan bergumam panjang. Beliau tidak ingin berpikir pada Issac mengenai apa yang barusan dia saksikan bersifat konfidental alias rahasia.

"Kau pikir aku tidak tahu? Setiap mata pelajaran yang diberikan guru, kau selalu diam dan tidak memberikan respon yang bagus. Bukan itu saja. Ketika Patrick, guru alkimia mengajukan pertanyaan kepadamu, dengan mudahnya kau berkata, 'saya tidak tahu.' Terus begitu sampai orang-orang menertawakanmu. Aku bertanya-tanya apakah keputusanku untuk membawamu ke sekolah merupakan keputusan yang tepat," ucap Tristan terheran-heran.

Issac hanya merespon berupa mengangkat kedua bahunya. Bingung harus menjawab terhadap perkataan Tristan. Dia duduk dengan jemari-jemari dimainkan, meremasnya sekeras mungkin. Kedua bola matanya berkedip cepat. Tarikan napas cepat tanpa dirasakan di sekitarnya.

Para peri mengepakkan sayapnya. Mengecek kondisi kesehatan yang dialami Issac. Dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tidak ada hal keanehan yang terjadi. Mereka pun mundur ke belakang kepala Tristan. Mendekatkan telinga pada beliau. Membisikkan sesuatu hingga merespon berupa menurunkan kertas dan kacamata di atas meja. Tristan menoleh pada para peri, menyunggingkan senyum tipis. Cahaya bersinar terang, partikelnya menyebar di atas meja. Mengakibatkan Tristan merasakan efek sihir dalam dirinya. Beliau mengambil suatu benda di laci bagian tengah. Tangan kiri dengan cepat membuka penutup tabung kecil dalam keadaan tersegel. Dua jemarinya dibuka, tongkat kecil terbuat dari kapas beliau sentuh ke telapak tangan kanan. Sebanyak tiga kali Tristan lakukan hingga puas. Lalu, beliau menyimpannya ke dalam tabung berukuran kecil. Menunjukkan hasil pada Issac.

"Coba jawab pertanyaan bapak. Apa kau tahu tabung itu isinya apa?" tanya Tristan.

"Serbuk peri bukan?" jawab Issac.

"Benar. Tapi serbuk ini berasal dari Nightjelly, sebuah bunga sebagai material untuk menjadikan obat luka bakar. Jika kita ramu dengan baik, maka akan menghasilkan bahan yang bagus dan tidak ternilai. Sayangnya, serbuk ini memiliki masalah."

Tristan langsung mengocok-kocok serbuk di dalam tabung. Tangan kirinya terus mengocok hingga keluarlah berbusa. Partikel kaca mulai pecah. Mengenai permukaan kayunya. Semakin lama, semakin ke dalam. Issac mengerutkan kening.

"Serbuk itu berubah menjadi zat berbahaya. Dan dapat melepuh pada permukaan apa saja. Besi, kayu, kaca dan lain-lain. Jika dosisnya terlalu banyak atau menggunakan ini sebagai bahan peledak, tubuh kita akan mati. Dan itu merupakan sesuatu yang ilegal dan tidak diperbolehkan di sekolah."

"Oleh karena itulah, anda menyuruh saya untuk membuat ramuan selama pelajaran Pak Patrick?"

"Bukan hanya Patrick saja. Semua guru harus kau pahami betul karakternya seperti apa. Jangan sampai melewatkan sebuah ilmu tanpa melakukan proses percobaan. Carilah sesuatu yang mungkin berguna dalam kehidupanmu. Tidak harus menjadi seorang ilmuwan, ksatria, penyihir atau lainnya. Selama punya mimpi, kejar dan raih itu sampai ujung langit," kata Tristan.

Perkataan itu tidak mampu menggerakkan hati Issac. Tetapi setidaknya, laki-laki berambut perak menjaga sisi kemanusiaan dengan baik. Langkah pertama Issac sudah tempuh. Kedua matanya terkejut bukan kepalang.

"Entah kenapa, saya merasa tersia-siakan mendengar ucapan anda Profesor Tristan," gumam Issac.

Tawaan renyah dari Tristan. Beliau tidak menyangka mendapatkan julukan Profesor. Padahal dirinya belum menempuh ujian untuk menjadi pengajar tingkat tinggi. Di atas Issac, terlihat atap langit berputar. Puluhan ribu bintang bersinar. Ke tiap titik poin di sekitarnya.

Akhirnya, sesi konsultasi berakhir. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.55 siang hari. Issac menarik napas dalam-dalam. Tubuhnya gemetar beserta bulu kuduknya berdiri tegap. Lima peri membawakan minuman air putih.

"Terima kasih," ucap Issac menyunggingkan senyum ke arah mereka setelah dibawakan.

Tristan mendongak ke atas. Menuliskan sesuatu di bawah kertas. Dalam bahasa Epuni, beliau telah selesai melakukannya. Menandai sebuah tulisan bahwa Issac akan diberikan kesempatan untuk bisa tes masuk selama 6 bulan. Jika tidak, dia akan dikeluarkan dari sekolah akademi Daponia.

Dua pintu dari sisi berlawanan telah dibuka, mempersilakan Issac untuk meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun. Dan pemuda berambut perak menerima penutup berupa hormat dan membawa tongkat ke dalam sakunya. Decitan pintu ke belakang. Menandakan bahwa pintu telah ditutup.

~o0o~

Perjalanan menuju ruang kelas tidak membutuhkan waktu lama. Selama dia bisa mengetahui satu ruangan itu sudah lebih dari cukup. Nyatanya tidak demikian fakta yang ada.

Seorang gadis berambut pirang ditampar berkali-kali oleh tiga perempuan seusianya. Ketiga perempuan memiliki kepangan rambut yang dikuncir pada ketiga sisi. Perempuan kedua bertubuh besar dan ke mana-mana selalu membawa tongkat hitam melengkung pada bagian tengah. Dicengkram erat ke arah gadis berambut pirang. Sedangkan ketiga memiliki rambut putih, tetapi kedua matanya berambut hijau dan terdapat bekas wajah komedo pada hidungnya. Memiliki ketinggian mencapai 160 sentimeter. Menjambak rambutnya tanpa sebab.

"Pecundang, cepat serahkan uang 100 Mogal kepada kami. Jika tidak, kau akan tahu akibatnya."

"Kumohon … aku tidak punya uang lagi untuk beli makan," isak gadis berambut pirang berlutut. "apapun akan kulakukan asalkan tidak mengambil uangku."

"Berisik!" sebuah tamparan keras mendarat ke pipi samping kanan gadis berambut pirang.

Dia mengerang kesakitan. Air mata pecah membasahi pipinya. Kedua kakinya lemas, tidak mampu berdiri. Perempuan ketiga menghampirinya. Menjambak lebih keras dari sebelumnya, disertai tatapan tajam dan mengekspresikan jijik terhadap dia. Isak tangis tidak berhenti begitu saja. Kedua lengan dan anggota gerak lainnya pasrah dengan perlakuan oleh perempuan ketiga.

"Ayo Nona Sapphire, kita harus pergi. Semakin lama ada di sini, akan memicu hal yang tidak diinginkan."

Anggukan kepala dari perempuan ketiga bernama Sapphire. Lirikan tajam pada gadis berambut pirang. Didorongnya sekuat tenaga hingga jaraknya melebar. Jemari-jemari Sapphire mengisyaratkan mereka untuk menjauh dari dia. Langkah derapan kaki secara acak tanpa menoleh sedikit pun. Kemudian dia berbalik lagi, mempercepat langkah kakinya menuju gadis berambut pirang. Sapphire mencengkram pipinya erat. Melotot tajam sambil melihat wajah menjijikkannya. Bibirnya mendekati lubang telinga gadis berambut pirang.

"Besok temui aku jam 4 pagi di halaman sekolah. Dan bawa barang berhargamu pada kami. Jika tidak, siap-siap saja kau akan kuhancurkan saat itu juga! Apa bisa dimengerti?"

Gadis berambut pirang mengangguk cepat dan berkali-kali. Sapphire melemparkan kartu identitas buatan untuknya. Tertulis Joddie Hopkins dan Taylor Stone. Perempuan pertama dan kedua yang dimaksud Sapphire. Selain itu, perempuan dengan tinggi 160 sentimeter menatap pada sosok jubah warna hitam untuk pergi. Dan dia mengiyakan isyaratnya. Akhirnya, ketiganya pergi meninggalkan gadis berambut pirang. Menjauh dan menjauh tanpa menoleh ke belakang. Suara isakan tangis tidak digubris olehnya. Melangkahkan kedua kaki mereka beserta berekspresi dingin.

Di sisi lain, Issac bersembunyi di balik sela-sela pintu. Mendengarkan dan mengintip peristiwa tersebut dengan seksama. Kemudian, dia bersembunyi di balik bayangan. Dilewati oleh Sapphire beserta gangnya. Hanya ada obor perapian yang menyala secara tiba-tiba. Issac berniat untuk tidak interupsi pertemuan mereka. Yang jadi masalahnya adalah obor yang menyala secara tidak langsung.

Telapak tangan dia menyentuh bagian kerucutnya. Warna menghitam disertai panas di dalamnya. Karena penasaran, Issac berbalik arah. Menuju sebuah jalan kegelapan. Tidak ketinggalan, pemuda berambut perak memegang obor. Telapak tangan kiri mencengkramnya, memastikan sekuat tenaga untuk menahan panas yang ditimbulkan. Suara sunyi mulai begitu terasa dan mencekam. Selangkah demi selangkah Issac gerak. Sepatunya bergesek pelan. Melirik sekitarnya kala ruangan terbatas.

"Halo … apa ada orang?" gumam Issac.

Tentu saja itu keputusan terbodoh yang terlintas dalam pikiran Issac. Tetapi mau bagaimana lagi. Laki-laki berambut perak tidak ingin bernasib sama seperti dirinya. Saat dia hendak mencari tahu, yang didapat adalah cacian dan pelemparan batu terhadap Issac. Sejak itulah, dia tidak memiliki keberanian untuk ke sana.

Namun, situasi kali ini berbeda. Issac memberanikan diri untuk merubah. Sedikit demi sedikit. Issac mengeluarkan tongkat sihirnya. Telapak tangan kanan meraba-raba langit. Tetapi tidak ada perubahan. Akhirnya, Issac terus berjalan dengan hati-hati.

Hingga dia berdiri sebuah pintu berbentuk segi empat. Memiliki ornamen aneh pada gapura. Akar pohon menutupi tulisan bahasa Epuni. Gapura itu berdiri kokoh. Di saat Issac menginjakkan kakinya dekat dengan pintu, gapura itu mulai mengerucut secara tidak langsung. Pada bagian tengah, cincin berukuran besar terbuat dari logam besi yang tidak diketahui. Terasa berat dan susah untuk diayunkan. Begitu juga dengan kayu itu. Permukaannya lebih tebal dari pohon biasa. Issac menarik napas dalam-dalam. Dia mendorong pintu tersebut. Betapa kagetnya Issac melihat sebuah pemandangan yang menakjubkan sekaligus mengerikan secara bergantian.

~o0o~

Sementara itu, dari kejauhan seroang laki-laki berseragam sedang bersandar ke dinding samping. Menyunggingkan senyuman saat ada sebuah pintu keluar. Menunjukkan lima siswa menjerit ketakutan. Hanya dia yang dapat mendengar suara jeritan yang melengking masuk ke lubang telinganya. Name tag tertulis Reynold.

"Ada siswa yang masuk ke dalam dungeon misterius ya? Menarik! Kira-kira dia kuat apa tidak ya?" gumam Reynold melepaskan diri dari senderan dinding.

Mengabaikan suara teriakan histeris meminta tolong, Reynold berjalan menuju ruang kelas. Berpura-pura tidak mendengar suara apapun kecuali beberapa siswa yang sibuk berbincang. Salah satu siswa baru saja keluar dari portal tersebut, menjerit minta tolong dengan penuh terlunta-lunta.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login