Download App

Chapter 2: Dia Disini

''Udah ketemu Dindanya?'' tanya pemuda di area lapangan yang sedang bersiap untuk pulang.

''Iya, udah ketemu ini anaknya,'' jawab Mahendra sembari mengangkat sedikit tangannya yang memegang pegelangan tangan Dinda.

''Oh ya udah, soalnya kemarin warga di himbau soal larangan keluar sehabis maghrib,'' Mahendra mengangkat alisnya sedikit.

''Ada orang meninggal ya, Bang?''

''Iya, itu anaknya pak Salim yang koma sehabis kecelakaan, kemarin malam meninggal.''

"Si Rian toh?" Mahendra bertanya dengan wajah terkejut.

"Iya, Rian, kalian satu kelas kan dulu?"

Para pemuda itu terdiam melihat Mahendra termenung, mereka mengira lelaki itu sedang bersedih dengan kematian sahabatnya.

"Mas, mas kenapa?" tanya Dinda sembari menarik-narik kaos Mahendra.

"Aku pulang dulu ya, Bang." Tiba-tiba Mahendr bangun dari lamunannya dan melangkah cepat menuju rumah, meninggalkan para pemuda di belakang yang kebingungan dengan tingkah anehnya.

"Aduh mas, jangan tarik-tarik, tangan Dinda sakit." rengek anak yang membawa seikat melati di tangannya, matanya sudah berkaca-kaca ingin menangis.

Dengan wajah linglung, Mahendra berjongkok dan menggendong Dinda, langkahnya tak melambat sedetikpun, seperti hitungan mundur kematian tengah berputar dalam kepalanya.

"Ini bu, Dindanya," Mahendra memasuki pelataran rumah, dan menyerahkan Dinda ke pelukan Ibunya yang sedang menyapu pelataran.

"Eh, eh, ya Allah, berat banget kamu Nda," bu Asih menurukan Dinda dan melihat putra sulungnya masuk ke dalam rumah dengan kecepatan tinggi.

"Mahe, kamu liat gunting–" pak Broto menghentikan ucapannya saat melihat Mahesa tak mengehentikan langkahnya.

''Anakmu kenapa lagi itu Buk?'' tanya pak Broto yang di jawab gelengan kepala.

''Mas kenapa Nda?'' tak mendapat jawaban dari istrinya, ia bertanya pada Dinda.

''Ta-tadi mas ngobrol sama yang ada di lapangan, katanya mas Rian meninggal.'' jawab gadis manis itu dengan tergagap.

''Itu bener pak?''

''Mahe, kamu ngagetin bapak aja.'' pak Broto mengelus dada saat melihat Mahendra sudah ada di belakangnya.

''Rian beneran sudah meninggal?'' tanya Mahendra sekali lagi.

''Iya, kemarin malam jam sembilan, jasadnya langsung dimakamin. Memang kenapa?''

Mahendra merapatkan bibirnya menjadi garis tipis. Saat ini, ia merinding sekujur tubuh, lehernya menjadi berat dan panas.

"Tadi aku lihat Rian di lapangan pak, pas cari Dinda."

Pak Broto terlihat terkejut dan bu Asih segera mengampiri anaknya setelah menyimpan sapu lidinya.

"Mas mandi dulu, nanti ibuk buatin teh panas."

Mahendra menuruti kata-kata bu Asih dan masuk ke dalam untuk mandi. Desa yang ditinggali Mahesa masih mempercayai hal-hal klenik, termasuk tentang jiwa yang masih di sekitaran daerahnya sebelum tujuh hari. Itu sebabnya, setiap ada orang yang meninggal karena kecelakaan, warga tidak boleh keluar saat maghrib menjelang, kecuali untuk kegiatan ronda dan pergi ke acara penting.

Mahendra keluar dari kamar mandi, ia mengeringkan rambutnya yang basah dan merasakan kalau lehernya tidak berat lagi.

"Sini Mas, ibu buatin teh panas." Dinda melambai dari dapur, gadis itu juga terlihat basah rambutnya sehabis mandi.

"Ibu mana?"

"Ngga tau, katanya tadi mau keluar sebentar, gitu." Dinda menunduk dan mencabuti kelopak bunga melati di tangannya, dengan bau semerbak yang tajam, ruangan itu seketika menjadi sedikit seram.

"Buang aja Nda, baunya ngga enak," ujar Mahendra sembari mengerutkan hidungnya.

"Ngga mau." Dinda menjawab dengan suara nyaring khas anak-anak. Akhirnya Mahendra membiarkan Dinda bermain sendiri, sedangkan ia meminum pelan-pelan teh nya. Mahendra merasakan tubuhnya sekarang mulai panas, matanya berat ingin tidur.

"Bapak pergi juga?" Mahendra bertanya lagi untuk menghilangkan suntuknya.

"Bapak pergi dzikiran ke tempatnya pakde Salim."

Selesai Dinda berkata demikian, Mahendra mendengar suara pintu depan dibuka, ia memundurkan sedikit kepalanya untuk mengintip, Ibunya datang.

"Ibu dari mana?" tanya Mahendra, namun bu Asih mengindahkan pertanyaannya. Wanita setengah baya itu duduk dan mengeluarkan kain putih dari sakunya.

"Ini pegang Mas."

"Ini apa Bu?" Mahendra mengamati, itu adalah kain mori, ada wewangian berbau tipis seperti minyak Arab.

"Ini yang dikasih eyang, rajah.".

"Ibu tadi dari rumahnya eyang?"

"Iya Mas. Pokoknya simpan saja kain ini di dompetmu, jangan sampai ketinggalan," bu Asih berdiri dan menuntaskan perkataannya, "jangan macam-macam ya mas Mahe, kamu itu ketempelan. Sudah, Ibu mau cuci baju dulu."

Setelah bu Asih berlalu, Mahendra masih tertegun dengan kain mori di tangannya, ia tak habis pikir Ibunya akan seperti ini, jauh-jauh ke rumah Eyang hanya untuk meminta hal seperti ini.

Eyang Sumi adalah nama nenek dari pihak Ibunya, Eyang saat ini sudah berusia 113 tahun. Namun anehnya, tubuh ringkih itu masih sehat, hanya saja Eyang Sumi suka melantur saat berbicara.

Tidak ada yang tau rahasia Eyang Sumi bisa hidup sehat sampai saat ini. Orang tua itu kadang hanya melamun seharian di pintu belakang rumah dengan sirih dimulutnya, yang membuat rumah pakde Mahendra selaku orang yang menjaga Eyang Sumi, agak kotor dengan ludah merah di mana-mana.

Uniknya, Eyang Sumi adalah sosok yang ditua-kan dan di segani, masyarakat sering meminta nasihat kehidupan, maupun benda-benda untuk memagari diri.

"Mas, rajah itu apa?" Mahendra menoleh ke arah Dinda yang sekarang menatapnya dengan antusias.

"Jimat Nda, di dalemnya ada Arab gundul sama aksara Jawa."

"Aksara Jawa apa mas?" Dinda lanjut bertanya, dan Mahendra hanya bisa menghela nafas pelan.

"Tanya Ibu aja, mas mau ke depan." Ia berdiri dan berlalu ke serambi depan rumah, menutup satu persatu jendela yang terbuat dari kayu, walaupun sudah agak enakan, tengkuk Mahesa masih merinding sampai saat ini. Ia masih tidak percaya dengan kabar meninggal sahabatnya itu, kemana saja dia?

Mahendra mulai menutup bingkai pertama, namun ekor matanya melihat siluet kehitaman di jalan depan rumah, ia segera ber istigfar dalam hati, berdoa agar bayangan itu segera pergi.

Dia bergeser ke bingkai kedua, dan bayangan hitam itu seakan mengikutinya, posisi bayangan itu sekarang ada di halaman, dan Mahendra segera menutup jendela.

Mahendra berjalan menuju dua jendela di sisi lain, ia melewati pintu yang ada di tengah dengan kepala menunduk, berharap bayangan itu tidak semakin mendekat.

Ia berhenti di bingkai ketiga, dan Mahendra jelas melihat badan lelaki tanpa memakai alas kaki tepat di depan rumahnya. Tangannya yang hendak membuka pintu mendadak bergetar tak terkendali dan kepalanya pusing.

Mahendra menutup jendela dan menguatkan diri bahwa itu hanyalah imajinasinya, ia bergeser ke jendela terakhir, menutupnya dengan cepat dan ekor matanya melihat bayangan itu terbang menuju pintu yang terbuka.

Badan Mahendra menggigil, ia melirik ke arah pintu dengan jantung berdebar tak karuan, tidak ada apapun disana. Ia hendak berteriak memanggil bu Asih, namun tak ada suara yang keluar dari bibirnya, seperti pita suaranya terlah terkunci sempurna.

"Astagfirullahalazim, astagfirullahalazim ...," ia bergumam sembari mengusap dada, keringat menetes deras di punggungnya.

"Astagfirullahalazim," Mahendra berjengit kaget saat mendengar ada yang menyahut kalimatnya, ia tau persis bahwa suara itu berasal dari balik jendela di depannya.

"IBUU!" Mahendra berteriak sekuat tenaga dan mengambil langkah seribu ke dalam rumah. Bu Asih yang panik mendengar teriakan putranya langsung lari ke arah Mahendra yang tengah berjongkok di depan kamarnya dengan kepala di dalam lutut, ia tak menghiraukan busa sabun yang masih menempel di tangan.

"Kenapa teriak-teriak Mas?" tanya bu Asih, ia mendekati putranya, dan merasakan bahwa tubuh Mahendra bergetar dan berkeringat dingin.

"Ada orang Bu, di luar ada orang," jawab Mahendra terbata-bata sembari menunjuk ke arah pintu. Bu Asih berjalan ke depan dan melihat keluar halaman, lalu menutup pintu.

"Ndak ada apa-apa kok Mas." bu Asih berjalan menuju Mahendra lagi, dan pria itu tengah di peluk Dinda yang menangis karena terkejut.

Bu Asih melanjutkan langkahnya ke belakang, ingin mengambil air minum, lalu matanya menangkap kelopak melati yang tadi dimainkan Dinda berceceran dimana-mana, hingga menimbulkan bau yang menyengat, bu Asih pikir, ini adalah penyebab Mahendra di hantui.

"Semoga bapak cepet balik."

13/12/2021


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login