Download App

Chapter 19: Fitnah

Setelah kurang tiga hari Jovanca mengurung diri di kamarnya, hari ini akhirnya gadis bertubuh kurus itu memilih untuk kembali berangkat ke sekolah. Seperti biasa, Gavin yang akan mengantarnya karena hubungannya dengan Rivaldi masih belum benar-benar kembali seperti dulu. Rivaldi saat ini lebih perhatian kepada Veronika dan kepada Arina, Mamahnya.

Pukul enam pagi, Jovanca sudah siap dengan seragam sekolah kebanggaannya. Dia berkaca tepat di hadapan sebuah kaca besar yang berada di kamarnya. Melihat tubuhnya semakin hari semakin mengurus. Wajahnya juga terlihat pucat, Jovanca memoleskan sedikit liptint ke bibirnya agar kelihatan lebih segar. Setelah siap, barulah dia turun dan memasuki ruang makan.

Arya, Sarah dan Gavin menatap kedatangan Jovanca dengan senyuman yang mengembang di wajah mereka masing-masing. Sosok yang mereka rindukan bisa kembali semangat seperti dahulu. Tapi, Sarah merasa jika Jovanca masih menyimpan kesedihannya. Terbukti dari wajahnya yang belum begitu bahagia. Mungkin itu yang dinamakan firasat seorang Ibu, tahu apapun isi hati Anaknya.

"Sayang, selamat pagi. Sini duduk deket bunda." Sarah menepuk-nepuk kursi yang ada tepat di sebelah kanannya.

Jovanca mengangguk, kemudian duduk di sebelah Sarah. "Pagi juga bunda," sapa Jovanca balik.

Dua helai roti sudah berada tepat di hadapan Jovanca, roti tersebut berisi selai cokelat dicampur susu kental manis. Sarah begitu perhatian dan menyayangi Jovanca seperti anaknya sendiri. Dia beruntung mempunyai anak seperti Jovanca, baik hati, senang membantunya. Walaupun anak tiri itu tidak masalah bagi Sarah.

"Hari ini aku anter kamu ke sekolah lagi kan, Vanca?" tanya Gavin disela-sela makannya.

Jovanca menganggukkan kepalanya lagi, kemudian menjawab, "Iya, kalo bukan kamu yang antar aku. Siapa lagi?"

Gavin menyengir, lalu kembali melahap rotinya. Mereka berempat melakukan sarapan pagi dalam keheningan. Lima belas menit kemudian, akhirnya sarapan pagi keempatnya selesai dilaksanakan. Jam terus berputar dan kini menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit.

Karena takut telat, Jovanca memutuskan untuk berangkat ke sekolah lebih awal. Ponselnya terus-menerus bergetar, banyak pesan dari grup kelasnya yang membuat dia merasa kurang nyaman. Bahkan ada beberapa teman sekelasnya yang memberikan pesan sekaligus banyak, perasaan Jovanca jadi tidak enak.

"Ayah, bunda. Aku berangkat sekarang ya." Jovanca menyalami punggung tangan Sarah dan Arya bergantian, diikuti oleh Gavin.

Arya tersenyum. "Hati-hati ya di jalan," nasihatnya, dibalas anggukan kepala oleh Jovanca dan Gavin.

Setelah berpamitan kepada Arya dan Sarah, keduanya segera meninggalkan ruang makan dan mulai memasuki garasi. Keduanya masuk ke dalam mobil, lalu Gavin langsung melajukan kendaraan beroda empat tersebut meninggalkan kediamannya. Perjalanan yang mereka tempuh hanya memakan waktu kurang lebih tiga belas menit saja.

Sesampainya di sekolah, cepat-cepat Jovanca berlari menuju kelasnya. Aneh, di kelas cukup ramai, banyak murid dari tingkatan kelas juga jurusan lain berkumpul di kelasnya. Jovanca menerobos kerumunan yang membuat jalannya terhalang.

"Ya ampun, Jess!" pekik Jovanca.

Jovanca kaget saat melihat Jessica terduduk di lantai kelas yang dingin, dan dengan secepat kilat menghampiri sahabat satu-satunya itu. Kondisi Jessica sangat tidak baik, bajunya basah, bau, dan kotor. Sepertinya telah terjadi pembullyan kepada Jessica.

Jessica menatap Jovanca yang saat ini sedang duduk tepat di sebelah kirinya. "Vanca, aku kecewa sama kamu! Kenapa kamu sebarin rahasia besar keluarga aku?! Gara-gara kamu, aku jadi bahan bullyan di sekolah!" bentaknya.

"M-maksud kamu? Aku gak ada sebarin rahasia itu, Jess. Aku yakin pasti ada yang fitnah aku," ucap Jovanca dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya.

Tidak akan ada kata maaf lagi yang bisa Jessica berikan untuk Jovanca, dia sudah benar-benar kecewa. Tidak mungkin ada orang lain yang menyebarkan rahasia besar keluarganya, karena yang tahu rahasia itu hanyalah Jovanca. Jessica menyesal sudah percaya kepada gadis jahat berwajah polos.

Satu tamparan mendarat tepat di pipi kanan Jovanca. "Mulai hari ini, aku gak mau lagi jadi sahabat kamu!" teriaknya, lalu meninggalkan ruang kelas. Membiarkan Jovanca menangis dalam diam.

***

Pelajaran hari ini sudah berakhir, tepat pukul dua belas siang karena para guru SMA Merpati akan melaksanakan rapat terlebih dahulu untuk pelaksanaan ulangan akhir semester bagi para murid SMA Merpati. Hal ini menjadi kebahagiaan bagi para murid, karena mereka dapat bertemu dengan kasur kesayangan lebih cepat dari biasanya.

Sama halnya seperti Jovanca, siang ini rencananya dia akan datang ke mampir Rivaldi untuk menemui kekasihnya itu, sudah sangat lama mereka berdua tidak jalan bersama, Jovanca rindu saat-saat itu. Jovanca terlebih dahulu membereskan alat belajarnya dan memasukannya ke dalam tas, setelah selesai barulah dia mulai melangkahkan kedua kakinya keluar dari kelas.

Jovanca menggunakan taksi online untuk pergi ke Universitas Indonesia Raya, tempat di mana Rivaldi melanjutkan pendidikannya. Waktu yang ditempuh tidak lama, hanya memakan waktu kurang lebih lima belas menit saja agar bisa sampai di tempat tujuan. Tapi, baru saja Jovanca sampai di tempat tujuannya dia sudah langsung dibuat kaget. Rivaldi dan Gavin sedang adu jotos di tengah-tengah lapangan dan tidak ada yang memisahkan.

"Berhenti!" Jovanca berlari menengahi Rivaldi dan Gavin yang ada di tengah lapangan, kini ketiga remaja itu menjadi pusat perhatian para mahasiswa/mahasiswi di kampus.

Kening Gavin berkerut menatap Jovanca. "K-kamu? Kenapa ada di sini, Vanca?" tanyanya dengan sedikit terbata.

Bukan jawaban yang keluar dari mulut Jovanca yang Gavin dapatkan, melainkan satu tamparan di pipi kanannya. Neyra, selaku kekasih Gavin saat ini tentu saja dia tidak terima. Dia membalasnya dengan memberikan satu tamparan juga di pipi kanan Jovanca.

"Jangan asal ngomong kamu! Aku udah lihat sendiri pake mata kepala aku, kalau di sini itu Gavin yang salah! Aku tahu gimana Valdi!" bentak Jovanca.

Neyra melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Rivaldi dengan tatapan sinisnya. Lelaki seperti Rivaldi itu tidak pantas mendapat wanita baik hati seperti Jovanca. Bisa-bisanya Jovanca memberi ijin Rivaldi untuk menikah dengan wanita lain yang statusnya adalah Kakak tirinya sendiri.

Sementara Rivaldi, menatap Jovanca datar, lalu berkata, "Lain kali jangan datang ke sini, gue gak butuh perhatian dari lo."

"Bentar, kenapa kamu jadi kayak gini sih? Tujuan aku datang ke sini baik loh, mau ajak kamu jalan." Jovanca menatap Rivaldi penuh tanya.

Sayang sekali, Rivaldi sudah tidak bisa percaya lagi kepada Jovanca. Dia sudah termakan oleh perkataan buruk Arina semalam, dan sudah mulai jatuh hati kepada Veronika. Niat baik Jovanca hilang seketika saat mendengarkan panggilan dari Rivaldi berubah kepadanya, menjadi 'gue-lo'.

"Jangan so suci lo, mulai detik ini gue minta putus! Jangan pernah deketin gue lagi, apa lagi datang ke rumah!" teriaknya.

Di saat seperti ini, Jovanca masih bisa tersenyum. Dia tidak akan menyerah begitu saja, banyak cara yang bisa dia lakukan agar membuat Rivaldinya kembali seperti dahulu. Meski membutuhkan waktu yang cukup lama pastinya, tapi itu tak masalah. Karena segala sesuatu membutuhkan proses.

"Terserah kamu mau bilang apa, intinya aku gak akan menyerah dan tetap bertahan. Meskipun kamu menyakiti aku berkali-kali." Lalu, Jovanca meninggalkan area kampus dengan air matanya yang mulai jatuh satu-persatu membasahi kedua pipinya.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C19
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login