Download App

Chapter 7: Mampus

Arash geleng geleng kepala setelah beberapa saat. Tak bisa ia mengerti atas pola pikir Sasya yang sebenarnya. Lelaki itu benar-benar tak tahu apa yang ada di pikiran Sasya saat itu yang malah memberikan jaket milik El padanya. Bumi dan Diko sendiri sudah tertawa kencang atas penjelasan El tadi. Hanya El dan Arash yang enggan tertawa untuk itu.

Bumi terkekeh pelan lantas menepuk bahu Arash beberapa kali, "Tapi dipikir-pikir adek lo pinter juga. Lagian salah El sendiri yang naro jaketnya di tas adek lo, Rash. Daripada balikin ya dia kasih ke lo aja. Lagian, itu kan salah El sendiri."

Diko tertawa semakin kencang. Lelaki itu tampak menoyor pelan kepala El yang membuat El sendiri mendengus sebal di tempatnya.

"Lagian lo ye, bisa-bisanya lo masukin itu jaket. Biar apa coba? Modus lo ya biar ketemu itu adeknya Arash lagi?" tanya Diko dengan diiringi tawanya dengan Bumi.

El mendengus sebal sekali lagi, temannya memang tak ada yang benar, "Ya gue pikir dengan gue masukin itu jaketnya ke tasnya, dia balikin ke gue dan bisa gue tagih untuk ganti kerusakan motor gue. Tapi melenceng dari perkiraan gue."

Bumi terkekeh lagi, "Dunia emang sesempit daun kelor ya. Pas banget gitu ternyata yang nabrak motor lo tuh adeknya sahabat lo sendiri."

Arash menghela napas berat mendengar itu. Sasya harus ditegur, sudah jadi rahasia umum kalau Sasya bar bar sekali kalau sudah naik motor. Lelaki itu memusatkan atensinya pada sosok di depannya. Pada sosok sang sahabat yang ternyata jadi korban kebar-bar an Sasya.

"Kerusakan motor lo berapa, El?" tanya Arash pada lelaki di depannya.

El menatap Arash lama, "Lampu belakang motor gue pecah, kemarin nanya nanya sih sekitar lima ratus ribu," jawabnya jujur.

Arash mengusap wajahnya kasar. Dia punya sebenarnya, hanya saja ... uangnya sudah ia siapkan khusus untuk terapi jalan Bundanya.

"Ntar gue ganti ya," ujar Arash merasa tak enak.

El sendiri berdehem. Ia jelas tahu kondisi ekonomi keluarga Arash. Sebab lelaki itu cukup terbuka dengan sahabat sahabatnya. Lelaki yang dulunya bahkan tak kekurangan itu, sudah berubah. Arash bahkan hanya akan membeli secangkir kopi kalau mereka nongkrong.

Maka selanjutnya, tentunya El menggelengkan kepalanya dengan pelan, "Enggak usah, Rash. Kaya sama siapa aja lo. Tapi gue mau ketemu adek lo lagi dong, gue rada gedek sebenernya sama dia. Nyebelin banget adek lo," ujarnya dengan pelan.

Arash menatap El tak enak, "Lo beneran, El? Gue ada sebenernya, cuma buat terapinya Bunda. Gue bisa nyicil, kok, El. Beneran," jawabnya dengan pelan.

El menghela napasnya dengan berat, lantas menggelengkan kepalanya dengan kuat, "Gue marah kalau lo ganti rugi."

Bumi menepuk pelan bahu Arash, "Nggak usah, kali, Rash. Lagian duitnya El tuh tujuh turunan masih lancar, lo tenang aja."

Arash terkekeh pelan, lelaki itu lantas mengucapkan terima kasih pada sahabat sahabatnya.

"Rash, gue pengen ketemu adek lo." El mengutarakan permintaannya tadi.

Arash menolehkan kepalanya ke arah El lagi. Alisnya yang tebal tampak terangkat sedikit.

"Mau ngapain memangnya?" tanya Arash pelan.

El menghela napasnya dengan pelan, "Enggak apa-apa, sih. Gue sebel aja, pengen maki maki dikit boleh? Lagian itu adek lo nggak ngerasa bersalah sama sekali waktu nabrak motor gue," ujarnya dengan pelan.

Arash menganggukkan kepalanya dengan pelan, "Ntar pulang kampus ke rumah gue, kebetulan hari ini cafe tutup, jadi gue libur," jawabnya.

Sementara Bumi dan Diko sendiri saling tatap sembari saling melempar senyum penuh arti. Bumi lebih dulu memutuskan tatapan keduanya dan menatap El masih dengan senyum manis lelaki itu.

"El," ujarnya memanggil membuat El menolehkan kepala ke arahnya dengan pandangan penuh tanya.

"Kenapa?" tanya El.

"Sejak kapan lo niat ketemu cewek buat maki maki? Nggak ada maksud lain kan? Atau lo tertarik sama ini adeknya Arash?" tanya Bumi menebak-nebak.

Arash sendiri mendelik, ia menoyor pelan kepala Bumi, "Jangan ngadi-ngadi deh," jawabnya sebal.

***

Sasya masih bingung bukan main. Gadis itu sejak tadi masih duduk di motornya dan menimang nimang apakah ia akan pulang sekarang atau menginap. Sastra dan Naka sendiri senantiasa menanti Sasya sejak tadi. Keduanya sudah duduk di motor mereka masing-masing.

"Sya, ini parkiran sekolah udah sepi, lo mau mikir sampai kapan, guys?" Naka pada akhirnya membuka suara saking jenuhnya pada sosok Sasya ini. Satu satunya sahabat yang paling menyusahkan.

Sasya menghela napasnya dengan berat. Ia menolehkan kepala ke arah Naka dan Sasya.

"Ya gue kan nggak minta ditungguin sama kalian? Kalau mau pulang ya pulang," ujar Sasya sebal.

Naka mendelik, dan segera menyalakan motornya, "Temen lo yang satu ini emang paling ga tau diri, Sas. Gue duluan, mau mandiin kucing gue, " ujarnya.

"Good bye, setan," ujar Naka saat melewati Sasya.

Sasya sendiri mendengus sebal dan mengacungkan jari tengahnya pada Naka yang dibalas ejekan oleh Naka sendiri. Sastra yang sejak tadi mengamati geleng-geleng kepala di tempatnya.

"Sasya, ga mau pulang? Gue anterin deh ke rumah lo, kalau perlu gue main sampe Bang Arash pulang juga," kata Sastra memang yang paling pengertian.

Sasya terdiam sebentar sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya dengan pelan, "Nggak usah dah, Sas. Lagian ntar orang tua lo nyariin."

Bukannya apa, Sasya ini kalau dipikir pikir sudah sering sekali merepotkan Sastra. Ia pasti masih punya rasa tau diri. Lagian mendengar kabar jikalau hubungan kedua orang Sastra sedang tak baik-baik aja, Sasya tahu seperti apa rasanya. Selama ini, Sastra selalu berpura pura kuat di hadapannya.

Sastra menatap Sasya ragu, "Beneran, nih? Lagian gue juga suntuk di rumah, udah lama juga nggak ketemu Bunda, Sya," katanya.

Sasya terdiam sebentar. Benar juga. Sastra pasti suntuk dan butuh hiburan. Gadis itu tak lama segera menganggukkan kepalanya dengan pelan.

"Boleh, deh. Ayo cepetan, deh." Sasya segera melajukan motornya lebih dulu.

Sastra sendiri mengikutinya dari belakang dengan senyum tipis di balik helm fullface yang ia pakai. Cukup lama keduanya di perjalanan, sampai akhirnya tiba di rumah Sasya. Sasya segera turun dari motornya, Sastra pun begitu. Namun, belum juga masuk, dahi Sasya mengernyit tatkala melihat ada empat motor di teras rumahnya termasuk dengan motor milik abangnya.

"Rame bener, ada siapa, Sya?" Tanya Sastra pada sang sahabat.

Sasya menoleh dan menggelengkan kepalanya, "Masuk aja, deh, ayo."

Gadis itu merangkul lengan Sastra, keduanya beriringan masuk ke dalam.

"Assalamualaikum, Bun--" ucapan Sasya terhenti tatkala melihat empat lelaki di ruang tamu.

Salah satunya ya Arash. Dan salah satunya yang lain, Sasya ingat ... dia.

"Mampus gue."


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C7
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login