Download App

Chapter 9: Keluh Kesah

Sasya dan Sastra tidak ke kamar Bunda, mereka hanya pindah ke taman kecil yang ada belakang rumahnya. Di saat itu juga, Sasya menumpahkan air matanya di bahu Sastra. Gadis itu terisak kencang, membuat sebagian hari Sastra ikut terasa nyeri.

"Keluarin aja semuanya, Sya." Sastra berujar begitu, sembari mengusap punggung Sasya pelan.

Cukup lama, sampai akhirnya Sasya menarik diri sembari mengusap air matanya dengan kasar. Gadis itu benci lemah. Pura pura kuat di depan semuanya, tapi kalau sudah di hadapan Sastra dan Naka, entah kenapa rasanya semua meledak dan ia tak bisa menahan hal itu.

Sasya menghela napasnya dengan berat. Menarik napas berulang kali sebelum akhirnya menghembuskan napasnya dengan pelan.

"Maaf bikin baju lo basah, Tra," ujar Sasya sembari menarik ingusnya.

Sastra terkekeh dengan pelan, lelaki itu mengusap air mata Sasya dengan lembut, "Enggak apa-apa. Lo mau nangis di pundak siapa lagi kalau bukan gue?" tanyanya mencoba mencairkan suasana.

Sasya tertawa pelan, gadis itu menganggukkan kepalanya pelan. Benar. Sejak kecil, Sastra dan Sasya sudah berteman baik. Naka juga sih, tapi kalau menangis, Sasya merasa paling nyaman menangis di bahu Sastra. Lelaki itu paling mengertinya, bahkan lebih dari Arash sendiri.

Sebelumnya, waktu jenjang SMP, Sasya memang sengaja sekolah terpisah dengan kedua sahabatnya. Alasannya karena saat jenjang SD, ia tak punya teman seperti SMA ini. Bodohnya, Sasya mau mau saja saat Sastra dan Naka memaksanya untuk sekolah di sekolah yang sama saat SMA. Jadi mungkin saja nasib Sasya di masa putih abu-abu ini hanya bersama dua orang itu.

"Makasih ya, Sas. Dari dulu lo yang paling bisa ngertiin gue, nenangin gue," ujar Sasya dengan cengiran khasnya.

Sastra tersenyum tipis, lelaki itu menganggukkan kepalanya lantas menepuk pelan puncak kepala Sasya.

"Jangan pernah berhenti buat nangis ke gue, ya, Sya." Sastra mengulas senyum tipis di akhir kalimatnya.

Sasya sendiri menganggukkan kepalanya dengan pelan. Gadis itu lantas bangkit membuat Sastra ikut bangkit juga.

"Lo juga, kalau ada masalah harusnya cerita ke gue juga. Masa ke Naka aja? Itu nggak adil banget gue rasa," omel Sasya sebal karena Sastra sejak dulu selalu menutupi rasa sakitnya jika di depannya.

Sastra terkekeh lantas menganggukkan kepalanya dengan pelan, "Gue mau ketemu Bunda dong, Sya. Udah lama nggak ketemu bunda lo," ujarnya dengan pelan.

Sasya menganggukkan kepalanya pelan. Lantas gadis itu meminta Sastra untuk segera mengikutinya dari belakang. Gadis itu meminta Sastra untuk duduk di ruang tengah. Sasya sendiri berjalan pelan menuju sang Bunda yang tampak menatap kosong ke depan.

"Bunda," ujar suara Sasya parau. Ketara sekali jika gadis itu habis menangis.

Falisa menolehkan kepala berdasarkan sumber suara yang ia dengar dengan senyum manis, "Sasya udah pulang, Nak? Tadi di sekolah nggak kenapa-napa kan?" tanya Falisa.

Sasya mengigit bibir bawahnya, melihat kekhawatiran Falisa, entah kenapa kata kata Arash tadi terngiang di kepala. Benar, selama ini Sasya hanya menyusahkan Bundanya. Sepertinya.

"Baik-baik aja Bunda. Sasya kan ... banyak temen. Bunda, Sastra mau ketemu Bunda, katanya kangen." Sasya sebisa mungkin menjaga suaranya agar tidak terdengar parau.

Falisa menganggukkan kepala dengan senyum manis, "Naka ikut juga?" tanyanya dengan pelan.

Sasya terkekeh pelan, "Enggak, Bunda. Lagian Naka masih nyebelin, Bunda jangan ketemu dulu," ujarnya sembari mendorong kursi roda sang Bunda keluar dari sana.

Gadis itu membawa Falisa ke ruang tengah, tempat di mana Sastra berada.

"Bunda!" Sastra berseru riang.

Lelaki itu segera duduk di karpet, duduk di depan kursi roda Bunda sahabatnya. Sasya yang melihat hal itu tersenyum lantas mendudukkan diri di sofa. Sastra memang sudah sedekat itu dengan bundanya. Keduanya sudah seperti anak dan ibu. Naka pun juga begitu. Begitu pun sebaliknya, ketiganya sudah akrab dengan para orang tua masing-masing.

"Sastra? Apa kabar, Nak?" Tanya Falisa dengan penuh lembut.

Tangan wanita itu terangkat, meraba wajah Sastra.

"Bunda," ujar Sastra pelan.

Falisa mengusap rambut sahabat putrinya, "Kenapa? Sasya nakalin kamu ya?" tanyanya.

Sasya mendelik, "Ih, Bunda, Sasya mah anak baik," katanya.

Sastra terkekeh pelan sebelum akhirnya matanya menyorot Bunda dengan sendu, "Mama sama Papa mau cerai, Bunda."

Sasya tersentak kaget di tempatnya. Gadis itu menoleh ke arah Sastra. Ia bisa melihat lelaki itu menatap Bundanya dengan mata memerah. Dan Sasya tahu kalau Sastra juga sama-sama sedang terluka. Tapi ... kenapa lelaki itu tak bercerita padanya lebih dulu.

"Kok lo nggak bilang ke gue, Sas?" ujar Sasya lirih. Ia paling benci pada kata cerai sejak kata itu terjadi pada kedua orang tuanya.

Sastra mengusap wajahnya kasar, "Ini gue bilang juga sama lo, Sya," jawabnya.

Lelaki itu lantas kembali menatap sosok Bunda yang termenung.

"Sastra udah coba bicarain sama kedua orang tua Sastra?" tanya Falisa dengan pelan.

Sastra menganggukkan kepalanya, "Mereka nggak ada yang mau bawa Sastra, Bunda," ujarnya dengan parau.

Sasya buru-buru menghampiri Sastra. Gadis itu duduk lesehan di samping Sastra.

"Yang bener aja? Ayo samperin bokap nyokap lo," ujar Sasya dengan menggebu-gebu.

Ia tahu rasanya, ia tahu rasa sakitnya. Dan yang Sastra rasakan pasti berkali-kali lipat karena ... bahkan lelaki itu mau ditinggalkan sendirian.

Falisa sendiri sudah menangis, wanita paruh baya itu terisak di tempatnya membuat Sasya ikut terisak juga.

Sastra terkekeh pelan, "Kok malah kalian yang nangis?" tanyanya.

Falisa mengusap air matanya, "Kamu tinggal sama kakak kamu berarti?" tanyanya.

Sastra menggelengkan kepala pelan, "Kakak dipaksa ikut sama Mama," ujarnya lirih.

"Bunda mau peluk Sastra." Falisa berkata demikian, membuat Sastra segera memeluk Bunda sang sahabat.

Lelaki itu terisak kencang, Sastra benar-benar hancur di pelukan Bunda Sasya.

"Sakit, Bunda," ujar Sastra dengan lirih.

Falisa memejamkan matanya, ia mengusap punggung Sastra pelan, "Sastra jangan sedih, ya, Bunda tau ini berat. Tapi kan masih ada Bunda, Sasya, Naka, oh iya orang tuanya Naka juga. Nanti Bunda mau coba ngomong sama Mama kamu baik-baik ya."

"Nanti, kalau Sastra kesepian, Sastra bisa main ke sini. Kalau Sastra mah curhat, bisa curhat sama Bunda."

Dan Sasya, untuk pertama kalinya melihat Sastra ... menangis sekencang itu dalam dekapan Bundanya. Yang artinya, Sastra benar-benar hancur. Lelaki itu sudah tak kuat memendamnya sampai kini menangis dalam pelukan Bundanya.

Sasya mengusap air matanya yang terus turun, "Sastra, kenapa lo selalu mendem semuanya?" tanyanya dengan lirih.

Sastra sendiri segera melepas pelukannya saat merasa sudah begitu lama. Lelaki itu mengusap air matanya dengan kasar dan terkekeh pelan.

"Malu banget, cengeng banget ya Sastra, Bun." Sastra tertawa hambar di akhir kalimatnya.

Sasya tanpa kata langsung memeluk Sastra, dan kembali menangis. Kali ini bukan menangisi hidupnya, tapi takdir Sastra yang pernah Sasya alami.

Perceraian kedua orang tua.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C9
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login