Download App

Chapter 17: Bersama Mentari

Mentari benar-benar sangat ramah. Dan wanita itu menyelematkan Zara dari tugas cuci motornya hari ini. Malahan, kini El yang tampak menyuci motornya sendiri dengan perasaan dongkolnya. Dan Sasya ... malah diajak ngeteh ngeteh manis di bangku teras depan sembari menonton El. Tak lupa Sasya pasang wajah mengejeknya tatkala El menatap ke arahnya. Ini benar-benar menyenangkan. Sebab sekarang El-lah yang menjadi babunya.

"Semangat Kak El!" Sasya berteriak dengan menyelipkan nada ejekan di dalamnya. Membuat El yang berdiri tak jauh darinya mendengus sebal beberapa kali.

Gadis itu terkekeh pelan di tempatnya. Rada geli juga ternyata memanggil El dengan sebutan Kak. Tapi kan ... ia masih tahu diri, ia harus bersikap baik dengan El di depan mentari. Siapa tahu wanita paruh baya itu mau mengangkatnya jadi anak angkat kan?

Bercanda. Jangan serius amat.

"Bang Arash gimana kabarnya, Sya? Udah lama Tante nggak liat abangmu," ujar Mentari membuat Sasya segera menolehkan kepalanya.

Sasya berdehem, ia tersenyum tipis, "Bang Arash sibuk kerja sama kuliah, Tante."

Dapat Sasya lihat wajah terkejut milik Mentari. Sebelum akhirnya wanita itu membuka suara, menyahuti perkataannya.

"Loh? Abangmu ngapain kerja? Orang tua kalian mampu loh Sya setahu Tante," jawab Mentari dengan wajah bingung.

Dan Sasya tebak, wanita itu tidak tahu tentang apa yang terjadi pada keluarganya. Mungkin El tak bercerita karena menghargai privasi sang sahabat. Sasya berdehem pelan dan menggaruk kepalanya dengan bingung.

Selanjutnya gadis itu tampak tersenyum dengan tipis, "Em ... Bang Arash pengen mandiri aja, Tante. Eh, em Tante dari mana tadi?" jawabnya dengan nada penuh canggung.

Mentari berdehem dengan pelan, wanita paruh baya itu tersenyum tipis, "Tante tadi arisan, terus langsung aja minta anterin temen Tante," jawab Mentari yang paham jika Sasya alias gadis di depannya mencoba mengalihkan pembicaraannya.

"Ohhh, emm ... Tante, saya boleh pulang sekarang? Kasian kayanya Bunda sendirian di rumah." Sasya berujar sembari melihat jam tangan yang melingkar di tangannya.

Sosok Mentari menganggukkan kepalanya dengan paham, "Boleh dong, yah walaupun Tante masih pengen nanya banyak tentang kamu."

Sasya tersenyum canggung, lantas segera bangkit dari duduknya dan mencium punggung tangan Mentari sebagaimana mestinya jika berpamitan dengan orang yang jauh lebih tua.

"Tante, makasih ya," ujar Sasya setelah itu.

Kemudian, Sasya berjalan mendekat ke arah motornya. Ia mendudukkan diri di jok motor sembari tertawa pelan menatap El.

"Ini mah senjata makan tuan namanya ya, El?" tanya Sasya pelan. Tak mau jika Mentari mendengarnya.

El mendengus sinis, lelaki itu menggosok motornya dengan sabun dengan penuh perasaan kesalnya.

"Besok besok lo juga masih bisa nyuci ini terus kan?" El membalasnya dengan tanya.

Sasya hanya mengedikkan bahunya, ia memakai helmnya. Gadis itu berhenti sejenak.

"El, besok gue mulai kerja ya? Abis nyuci motor langsung ke restaurant lo boleh?" ujar Sasya bertanya.

El menatap Sasya sebentar sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya pelan, "Jangan telat yang penting. Gue nggak suka sama orang yang suka telat."

Sasya mengangkat satu alisnya, "Sok banget mentang mentang ntar mau jadi bos gue," nyinyirnya pelan.

El tersenyum penuh arti, lelaki itu menatap Sasya dengan tatapan santainya, "Kalau begitu, lo harus nurut sama gue kedepannya karena gue ini bos Lo."

Sasya mendengus sebal untuk itu. Tapi mau tak mau, ke depannya ia harus menurut dengan El juga. Sebab lelaki itu ... adalah bosnya dari detik ini.

***

Sasya merentangkan tangannya lebar dengan mulut yang menguap lebar. Gadis itu menoleh ke sana ke mari. Dan matanya terhenti pada jam dinding berbentuk doraemon di kamarnya. Sasya tersentak kaget.

"Mampus, hari ini kan hari pertama gue kerja anjir," seru Sasya kaget.

Gadis itu lantas kembali menutup mulutnya tak ingin Arshaka atau sang Ibunda mengetahui rahasianya yang bahkan belum ia mulai.

"Gawat." Sasya segera melempar selimut. Gadis itu bangkit dari duduknya hanya untuk membersihkan diri ke kamar mandi.

Memang harusnya ia berangkat jam sembilan pagi sesuai kesepakatannya dengan El lewat media pesan. Berhubung hari ini hari Sabtu alias sekolahnya libur. Jadi, Sasya akan bekerja sehabis mencuci motor El jikalau hari sekolah. Dan akan bekerja pukul jam sembilan pagi jikalau weekend alias Sabtu. Untuk minggunya, El memberinya libur. Dan Sasya akui ia harus banyak berterima kasih pada lelaki itu.

"Haduh, El nggak bakalan langsung pecat gue bahkan sebelum gue mulai kan ya??" Sasya bermonolog pada dirinya sendiri setelah keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap.

"Mau ngapain lo? Biasanya mandi juga sore kalau libur begini." Sasya tersentak kaget, ia menoleh dan mendapati Arash menatapnya penuh dengan kecurigaan.

Sasya berdehem, gadis itu menyengir lebar, "Enggak apa-apa, Abang. Sasya tuh mau main sama Sastra sama Naka. Boleh ya, Bang?" pintanya dengan senyum lebar.

Arash berdehem sembari mendudukkan diri di meja makan, "Boleh aja, asal jangan malem malem pulangnya. Ntar malem Abang kerja, nanti Bunda sendirian di rumah."

Sasya tersenyum sumringah, gadis itu menganggukkan kepalanya kuat, "Iya ... Nanti Sasya nggak akan sampe malam kok."

Arash menganggukkan kepala, ia menatap sosok Sasya yang tampak berjalan mendekat ke arahnya dan mendudukkan diri di depannya, "Mau gue anter?" tanyanya.

Sasya gelagapan sendiri, gadis itu lantas menyengir dengan lebar dan segera menggelengkan kepalanya dengan kuat, "Enggak usah, Bang. Sasya nanti pergi aja sendiri kaya biasa. Lagian motor Sasya kan ad--"

"Motor lo di bengkel." Arash buru-buru menyela perkataan Sasya membuat sang lawan bicara membulatkan matanya lebar.

"Kok bisa? Padahal semalem baik baik aja!" Sasya berseru penuh protes. Sebab kalau begini bagaimana ia bisa ke restoran milik El itu?

Arash sendiri menyengir lebar sembari mengusap tengkuknya pelan, "Maaf, Dek. Tadi gue pake buat beli telur ke warung depan. Eh di jalan malahan bocor gara gara ada paku." Arash berujar menjelaskan.

Bahu Sasya merosot turun, gadis itu mencebikkan bibirnya dengan penuh rasa kesal, "Kalau gitu gimana dong aku ke res--rumah Makanya?" tanyanya dengan penuh sebal.

Arash tersenyum tipis, "Abang anter jemput, ya."

Mau tak mau akhirnya Sasya menganggukkan kepalanya dengan pelan, "Bunda masih tidur kah?" tanyanya saat dirasa sejak tadi tak melihat sang Bunda.

Arash menjawab hal itu dengan gelengan kepalanya yang pelan, "Bunda berjemur di depan. Ngobrol-ngobrol sama Om Toni."

Sasya mendelik sebal. Gadis itu memang paling tak suka dengan Om Toni itu. Sebab lelaki yang bilang sebagai sahabat lama Bundanya itu gencar sekali mendekati sang Bunda setelah wanita itu resmi bercerai dengan Ayahnya. Menyebalkan. Sasya risih melihat lelaki itu dengan terang-terangan menatap Bundanya dengan penuh rasa suka.

"Ngapain sih itu om-om kesini. Ganggu pemandangan aja." Sasya berujar dengan nada kesalnya.

Karena lapar, gadis itu memilih untuk segera menyantap nasi dengan lauk ayam di depannya. Matanya berbinar, "Tumben nih sarapan pake ayam?" tanyanya.

Arash geleng-geleng kepala, "Dari orang yang baru aja kamu caci tuh," jawabnya.

Sasya mendelik sebal, dan meletakkan daging ayam itu ke piring dengan kasar, "Kenapa bis-"

"ARASH, ADA NAK EL!"


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C17
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login