Download App

Chapter 22: Hampir Ketahuan

Sasya menghela napasnya untuk kesekian kali. Gadis itu masih di sini, malah sedang ikut mencuci piring dengan yang lainnya. Saat Irene mematikan sambungan ponselnya dengan El, gadis itu langsung menarik Sasya ke dapur dan menyimpan ponsel Sasya untuk sementara katanya.

Namun, sudah kepalang tanggung, daripada ribut dan yang lain merasa tak adil karena ia diam di sana tanpa membantu membereskan semuanya, Sasya memilih mengikuti saja perintah Irene untuk mencuci piring. Hanya saja, hatinya tetap resah, takut kalau kalau Arash sudah tiba di rumah.

"Mas, masih banyak ya yang kotornya?" Sasya mengajukan pertanyaan pada sosok laki laki di sebelahnya. Sosok laki laki yang tampak berumur dua puluh tahunan ke atas itu.

"Masih, Neng, kenapa?" tanyanya bingung.

Sasya menyengir dan menggelengkan kepalanya dengan pelan, "enggak papa, Mas, nanya aja."

Sosok mas mas tadi hanya ber-oh ria. Percakapan hanya sampai di sana. Setelah itu Sasya memilih untuk fokus kepada cucian piringnya agar cepat selesai. Dan ia akan bisa pulang setelah itu.

"Dimana Sasya?" Sayup sayup Sasya mendengar suara itu menyebut-nyebut namanya. Gadis itu mengernyit dahi, lantas berdehem dengan pelan. Ia memilih untuk segera mencuci tangannya sebentar dan pamit berjalan ke depan untuk memastikan apakah benar ada yang memanggil namanya atau tidak.

"Sasya lagi cuci piring, Pak. Dia--"

"Siapa kamu sampai suruh dia cuci piring?"

Sasya tersentak, ia melihat sosok jangkung yang tak asing tentunya sedang berdebat dengan Irene. Maka dari itu, Sasya segera berlari mendekati keduanya.

"Eh, em El ... maksudnya Pak El enggak perlu marah marah sama Mbak Irene. Dia kan emang bener-"

"Irene, tolong besok besok lagi kalau gadis ini mau pulang, jangan ditahan. Dia kerja diam-diam soalnya, kakaknya tidak tau. Jadi, kalau dia mau pulang, jangan ditahan. Biarkan saja." El memberi pesan kepada Irene sebelum lelaki itu menarik tangan Sasya dan berjalan keluar kafe.

"El, lo berlebihan sampe marahin Mbak Irene sebegitunya. Dia nggak salah, El. Lagian--"

"Lo nggak tau ya kalau tadi setelah nelpon lo gue nelpon Abang lo? Dan dia tadi udah siap siap mau pulang." El memotong ucapan Sasya lebih dulu.

Sasya kaget, matanya membola, maka lebih dulu gadis itu lari melepaskan tangan El dari pergelangannya dan masuk lebih dulu ke mobil sahabat kakaknya. El sendiri dibuat sebal.

"Ayo, El, cepet nih, nggak keburu!" Seru Sasya dari dalam.

El mendengus sebal, namun tak urung ia berlari mendekati mobil dan memasuki mobilnya.

***

"Aduh, El, ini gimana, gue ngumpet dimana ini? Kenapa kebetulan banget Bang Arash baru aja sampe." Sasya menggigit bibir bawahnya. Gadis itu juga sudah menundukkan kepala agar Arash tak melihatnya. Namun, ia ketar ketir kalau sampai Arash masuk dulu.

"Lo mau nunggu abang lo masuk apa gimana?" tanya El kebingungan.

Sasya menggelengkan kepalanya dengan kuat, "jangan dong, tapi caranya gimana Ell," rengeknya dengan jantung yang berdegup kencang.

El menghela napasnya berat, "Gue keluar dan bakal tarik Abang lo buat ngobrol sebentar. Nanti lo cari celah sendiri buat masuk ya. Jangan lakuin hal bodoh."

Sasya menganggukkan kepalanya dengan kuat. Ia mengintip sedikit saat El keluar dan memanggil Arash. Sehingga Arash menyebrangi jalan dan menghampiri di mana mobil El berada. Tapi, bagaimana caranya Sasya bisa keluar? pasti kelihatan kan? Nama El ia rutuki karena lelaki itu malah memanggil Arash di dekat mobil.

"Gimana anjir El setan." Maki Sasya dalam hati.

"Ah, gue nih sebenarnya ada yang pengen gue omongin sama lo Rash. Makanya gue malem malem kesini. Lo bisa nggak Rash?" suara El bisa Sasya dengar.

"Ngomongin apa? di sini aja, gue takut Bunda sama Adek gue kelaperan, mereka belum makan soalnya."

Sasya menggigit bibirnya, ia mengintip lagi dan matanya sedikit berbinar saat melihat El merangkul Arash dan membuat keduanya membelakangi mobil. Maka Sasya segera keluar dari mobil dan menutup pintu dengan pelan. Lantas gadis itu berjalan mindik mindik menuju rumahnya, dan memilih untuk segera bersembunyi di balik pagar dengan menghela napas lega berulang kali.

"Astaga, gue bakal sering jantungan banget ya kayanya akhir-akhir ini."

Gadis itu melirik ke belakang, saat keduanya masih di posisi yang sama, maka Sasya segera berlari dan masuk ke dalam rumah. Ada untungnya juga sebenarnya halaman rumahnya ini kecil.

Sasya menarik napas panjang berulang kali, gadis itu memegang dadanya sendiri.

"Siapa?"

Sasya tersentak kaget, gadis itu melihat sang Bunda. Ia menarik napas panjang guna mengatur napasnya.

"Eh Bunda, ini Sasya, Bun." Sasya berujar begitu.

Dahi sang Bunda mengernyit, "Kamu baru pulang ya?" tanyanya bingung.

Sasya mendelik, lantas gadis itu menggelengkan kepala kuat. Dan sesaat merutuki kebodohannya karena pasti Bundanya tak akan melihatnya.

"Nggak, Bun. Orang daritadi Sasya di kamar ngerjain tugas. Tapi maaf ya, tadi Sasya lihat emm Bunda masih sibuk dengerin musik gitu, jadi Sasya nggak mau ganggu." Untung saja, Sasya mengingat kebiasaan Bundanya yang akan menghidupkan radio dan mendengarkan musik.

"Oh ya? tapi Bunda tadi nggak dengerin musik, Dek."

Mampus. Mampus banget. Sasya berdiri kaku, gadis itu berdehem dengan tertawa paksa.

"Duh, Bunda udah lupa deh kayanya. Orang tadi Sasya liat ngerjain musik kok. Beneran. Pokoknya tadi Bunda ada di samping radio. Ya Sasya kira dengerin musik?"

"Oh iya, kamu salah paham aja tadi pasti. Bunda emang di samping radio, cuma lagi merenung aja nunggu kamu pulang. Eh kamunya ga nyapa Bunda sama sekali."

Sasya tersenyum tipis, dan mengucap syukur berulang kali dalam hati, "Iya, maaf ya Bunda cantik. Kalau gitu aku ke dalam sebentar ya. Mau nugas lagi, Bun. Tugasnya banyak bener."

Maka setelah mengatakan itu, Sasya segera berlari masuk ke dalam kamar dan menutupnya. Gadis itu menghela napas lega untuk kesekian kalinya dan segera mengganti bajunya. Tidak mandi, ia takut nanti malah lama dan membuat Arash curiga. Jadi ia hanya berganti baju, mencuci muka, sikat gigi dengan kilat, dan menyisir rambutnya, serta memakai minyak agar wangi.

"Haduh, kalau gue gini tiap hari bisa-bisa mati muda." Sasya mengusap kasar wajahnya.

Gadis itu langsung bangun saat pintu kamarnya di ketuk. Yang pasti Arash lah pelakunya. Ia segera membukanya dan memberikan senyum termanisnya.

"Hai Abang ganteng!" sapa Sasya yang membuat Arash mengernyit dahi.

"Makan tuh, abang bawain nasi ayam geprek, berhubung hari ini Abang gajian." Arash mengulas senyum tipis pada sang adik.

Sasya menatap sang kakak yang jauh lebih tinggi darinya, "Abang ikut makan juga yaa?" pintanya.

Arash tentu menolak, lelaki itu menggelengkan kepalanya dengan kuat, "Abang udah makan di sana, Sas--"

"Nggak usah bohong, ayo kita makan seporsi berdua, kayanya enak." Sasya segera menarik paksa abangnya menuju meja makan.

Ia hanya tak ingin ... Arash tidur dengan perut kelaparan lagi.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C22
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login