Download App

Chapter 12: D U A B E L A S

Saat ini Indira tengah berbaring di ranjang, melepas lelah dan penat sepanjang hari. Setelah resepsi sore tadi, Mahesa dan Indira masih harus menemui beberapa tamu relasi dari papa. Baru, ketika jam menunjuk pukul tujuh, Indira dan Mahesa bisa beristirahat.

“Kamu udah selesai bersih-bersih?” tanya Mahesa yang baru saja kembali dari mengambil air minum.

Indira menurunkan ponselnya dan mengangguk. “Di luar masih banyak tamu?”

“Enggak, tinggal dua om kamu yang katanya masih mau ngobrol sama papa,” jawab Mahesa, seraya meletakkan segelas air di nakas, lalu tanpa menatap Indira hendak segera berlalu masuk ke kamar mandi.

“Mahesa,” panggil Indira, membuat Mahesa urung ke kamar mandi. “Lo baik-baik aja?”

Mahesa mengangguk. “Kenapa?”

“Enggak. Sejak awal acara, lo kelihatan aneh. Apa terjadi sesuatu?”

Mahesa menggeleng cepat. “Enggak. Perasaan kamu aja.”

“Dengar Mahesa, gue udah mikir ini dari kemarin. Kalau lo bisa menawarkan diri sebagai teman ngobrol gue, gue pun bisa menawarkan hal yang sama.”

Lagi-lagi Mahesa hanya mengangguk. “Aku baik-baik saja.”

“Oh. Ok,” jawab Indira. “Kalau gitu aku mau tidur dulu,” putus Indira akhirnya. Menyudahi pembicaraan yang dia tahu tidak akan ada akhirnya, karena jelas ekspresi dan diamnya Mahesa sama seperti saat pria itu berada di makam ibunya tempo hari. Entah apa yang membebaninya, sampai bisa membuat Mahesa yang biasanya banyak omong, tiba-tiba diam seribu bahasa.

Indira belum benar-benar terlelap saat beberapa menit kemudian dia merasakan kasur yang ditidurinya bergerak—Mahesa sedang berbaring di sebelah Indira.

“Indira.”

“Hem?”

“Kamu belum tidur?”

“Hampir.”

Hening untuk beberapa saat. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Kenapa?” tanya Indira akhirnya.

“Apa kamu yakin sandiwara ini bisa bertahan sampai tiga tahun?”

“Kenapa lo tiba-tiba pesimis gitu?”

Indira mengubah posisi tidurnya, kini punggung Mahesa menjadi pemandangan malamnya.

“Enggak. Aku cuma penasaran aja.”

“Apa lo juga sama merasa bersalahnya seperti gue kemarin?”

Kali ini Mahesa memutar tubuhnya, berhadapan dengan Indira.

“Kita melakukan ini semua demi orang tua kita, kan? Aku menerima lamaranmu, untuk kesembuhan bapak. Sedangkan kamu melakukan ini semua demi kebahagiaan papa dan mama. Kamu enggak mau mengecewakan mereka, kan?” tanya Mahesa—yang lebih mirip seperti kalimat untuk menyakinkan Indira dan dirinya sendiri.

“Tapi pada akhirnya nanti, mereka semua akan sama kecewannya.”

“Enggak. Di akhir nanti, mereka hanya akan kecewa sama aku. Sampai saat itu tiba, kita hanya perlu berusaha dan bertahan.”

Indira mengalihkan tatapannya pada langit-langit kamarnya. Kemudian mengangkat tangan kirinya, kini ditatapnya lekat benda berkilau di jari manisnya. Perlahan dia menarik cincin itu, melepaskannya, dan memberikannya pada Mahesa.

“Lo yang simpen.”

“Itu milik kamu sampai tiga tahun ke depan.”

“Tapi—”

“Cincin itu adalah pesan ibu buat menantunya. Ibu ingin menantunya memakai cincin pernikahan turun temurun yang diwariskan oleh keluarga bapak. Dulu, ibu mendapatkannya juga dari nenekku.”

“Tapi kita kan cuma pura-pura, Sa.”

“Meski pura-pura, status kamu tetap istriku. Menantu bapak dan ibu. Jadi …” Mahesa mengambil cincin di tangan Indira, kemudian memakaikannya kembali ke jari manisnya. “Pakai aja. Kalau kamu merasa keberatan, kamu simpen bareng perhiasaan kamu yang lainnya.”

Indira kembali memperhatikan benda berkilau di jarinya. Kemudian beralih kembali menatap Mahesa. Meminta pria yang berbaring di sebelahnya ini saja sudah merupakan suatu hal berat bagi Indira. Kini ditambah pula dengan cincin emas milik keluarga Mahesa yang menjadi bukti bahwa Indira adalah milik Mahesa.

***

Keesokan harinya setelah sarapan, Mahesa dan Indira memutuskan untuk kembali ke apartemen. Meski papa dan mama sempat menolak keinginan Indira untuk tinggal di apartemen, tapi mendengar alasan bahwa Indira dan suaminya ingin belajar hidup mandiri, membuat papa dan mama mengalah.

Sesampainya di apartemen, Mahesa langsung menggeret masuk kopernya dan juga koper Indira. Kemudian ke dapur untuk menuang jus sebagai pelepas dahaga—siang ini sungguh terik!

“Koper kamu mau aku masukin ke kamar sekalian?”

“Ehm, enggak usah. Nanti gue masukin sendiri.”

“Ok. Lalu untuk kamarku?”

Indira menepuk keningnya. Dirinya benar-benar lupa, kalau di apartemen ini hanya ada satu kamar tidur, sedangkan kamar yang berukuran lebih kecil dari kamarnya, dan berada di dekat dapur sudah dijadikannya gudang peralatan kebersihan!

“Sa! Gue lupa! Harusnya kemarin ada orang dateng beresin kamar yang di dekat dapur buat lo!” kabar Indira penuh sesal. “Tapi gara-gara gue terlalu mabok, mungkin gue enggak denger orangnya dateng.”

Mahesa tersenyum mendengar penjelasan Indira. Dia tidak akan menyalahkan istrinya.

“Enggak apa-apa. Nanti aku beresin sendiri. Sementara, aku bisa tidur di sofa.”

“Sofa? Badan kamu apa enggak capek? Mana sofanya pendek gitu!”

“Enggak apa-apa.”

“Tapi—bentar! Gue ada ide!”

Indira bergegas mencari ponselnya di dalam tas, lalu menekan nomer telepon Olive. Setelah tiga kali nada sambung, Indira bisa mendengar suara serak Olive yang pasti baru bangun tidur.

“Live! Tolongin gue, ya, please. Pesenin bed buat—halo? Halo?” Indira menatap bingung layar ponselnya. “Kok dimatiin, sih?” kesal Indira, seraya mencoba kembali menghubungi Olive, tapi ponselnya sudah dimatikan.

“Kenapa?”

“Dimatiin sama Olive. Padahal kan gue mau minta dia beli bed buat lo tidur sementara.”

“Aku beneran enggak apa-apa kok tidur di sofa.”

“Guenya yang apa-apa. Kalau lo sampai sakit, bisa-bisa papa sama mama marahin gue. Tau sendiri, sekarang lo itu mantu kesayangan sekaligus satu-satunya papa sama mama. Enggak lihat tuh makanan banyak gitu dibungkusin buat siapa?”

Mahesa menahan senyum mendengar kekesalan Indira tentang orang tuanya. “Terus gimana sekarang?”

“Ehm, kita beli aja yuk!”

“Beli?”

“Iya, sekalian ntar buat ngisi kamar lo yang baru. O iya, kemarin juga lo pengen punya panci baru, kan?”

Belum sempat Mahesa menjawab, Indira sudah menarik tangan Mahesa untuk melaju menuju sebuah toko perlengkapan rumah. Sesampainya di sana—lagi-lagi—tanpa persetujuan Mahesa, istrinya langsung memilih apapun barang yang sekiranya berguna untuk Mahesa.

“Indira, enggak usah beli ini,” tolak Mahesa sambil menunjuk ranjang berukuran besar. “Beli kasurnya aja, nanti bisa ditaruh di bawah aja kasurnya.”

Indira menimbang sejenak, tapi akhirnya setuju dengan usulan Mahesa. Setelah itu mereka menuju kebutuhan peralatan dapur.

“Kamu mau pindahan?”

“Hah? Enggak,” bingung Indira sambil menunjuk sebuah microwave. “Lo mau ini, enggak? Takutnya ntar pas masak apa gitu, lo butuh buat angetin sesuatu. Soalnya di apartemen enggak ada.”

“Kamu ini beneran enggak pernah masak di dapur apartemen, ya?”

Indira menatap bingung Mahesa.

“Ada microwave baru dan masih belum dipakai. Ada di bagian rak atas, dekat tempat cuci piring,” ujar Mahesa sembari menghela napas. “Beli kasur aja. Lainnya udah ada di apartemen.”

“Tapi gue mau beliin lo, Sa.”

Mahesa kembali menghela napas. “Semua yang kamu kasih sampai saat ini, udah lebih dari cukup. Yuk!” sahut Mahesa, lalu mengajak Indira ke kasir, sebelum istrinya kembali memilih barang-barang.

“Dira.”

Indira menoleh ke bagian antrian kasir di sebelahnya. Ada Lia yang juga sedang mengantri untuk membayar belanjaannya.

“Eh, beli apaan?”

“Ini, beliin mama selimut sama takaran kue. Tau sendiri, kan kalau nyokap demen banget bikin kue.”

“Wah iya! Lama juga gue enggak dapet kiriman kue dari tante Anin.”

“Entar gue bilangin mama buat kirim ke lo.”

“Eh, enggak usah. Ngerepotin, lagian gue cuma bercanda.”

“Enggak, kok. Lo sendiri beli apaan?”

“Oh ini, gue—”

“Aku tunggu di depan sana, ya,” potong Mahesa tiba-tiba, lalu tanpa menunggu persetujuan Indira, Mahesa langsung pergi.

“Lho, Sa. Ini Lia, yang kemarin design baju kita. Eh, ya udah kalau lo maunya gitu,” jawab Indira akhirnya saat melihat Mahesa pergi. “Eh, sampai lupa sama lo, ini gue beli kasur.”

“Kasur? Emang di apartemen lo enggak ada kasur?”

Indira memaki dirinya dalam hati. Dia baru sadar kalau jawabannya tentu saja akan terdengar aneh. Apalagi bagi Lia yang sudah tahu setiap sudut apartemennya.

“Kurang gede,” jawab Indira akhirnya, sambil berharap Lia percaya dan tidak lagi mengajukan pertanyaan.

Beruntung petugas kasir langsung melayani Indira, dan dia selesai lebih dulu. Bukan bermaksud tidak sopan pada Lia yang sudah membuat pernikahannya menjadi indah, tapi Indira harus buru-buru menyusul Mahesa—karena suaminya itu tidak ditemukan di manapun!

Indira segera menelepon ponsel Mahesa, tapi sampai panggilan ketiga, suaminya itu tidak menjawab. Indira hendak ke pusat informasi dan memanggil Mahesa, tapi tiba-tiba saja seseorang mencekal tangannya. Indira menoleh dan mendapati orang yang paling tidak ingin dilihatnya sedang mencengkeram lengannya.

“Apa kabar, Indira?”

***


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C12
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login