Download App
5.58% The Kingdom Of Zen William / Chapter 21: 21.Tinggal Penyesalan

Chapter 21: 21.Tinggal Penyesalan

Zen melakukan penyamaran, ia berhasil keluar dari istana tanpa dicurigai oleh siapa pun.

Pasca pertengkarannya kemarin, Thruv dan Zen belum sempat berdamai. Bahkan keduanya tidak saling bertemu beberapa hari ini.

Setelah hampir dua jam, Zen akhirnya sampai pada tempat tujuan. Pria itu menatap lamat gubuk yang tampak tidak terurus. Halamannya kotor juga terlihat sangat berantakan.

Zen mendekat lalu mengetuk pintunya secara perlahan. Namun, hingga beberapa saat ia masih tidak mendapatkan jawaban sama sekali.

"Sofia! Kau di dalam?" teriak Zen sembari mengetuk pintu usang di hadapannya berkali-kali.

Karena tidak mendapatkan jawaban hingga sekian lama, Zen mencoba mendorong sedikit pintu itu. Dan benar saja, terbuka. Pintu di hadapannya sama sekali tidak terkunci.

"Sofia?" panggil Zen pelan sembari melihat ke segala arah untuk mencari keberadaan sang istri di dalam.

"Ayah! Ibu!" Zen berjalan ke arah kamar tidur, bukan bermaksud lancang, hanya saja ia perlu memeriksa keadaan di sana.

"Sofiaku! Kau di mana?" Zen mulai frustrasi, ia sama sekali tidak menemukan tanda-tanda kehidupan di dalam rumah kecil yang pernah ia tinggali.

Pria berparas tampan itu berlari keluar, mungkin saja keluarga Sofia tengah bekerja. Ia berniat untuk pergi ke tengah hutan tempatnya dan Sofia bertemu.

Beru saja ia menutup pintu, ada sepasang suami istri dan anaknya menghampiri Zen.

"Tuan, Anda sedang mencari siapa?" tanya wanita paruh baya yang tengah sibuk menggendong buah hatinya.

Zen sedikit terkejut, namun pria itu segera menetralkan raut wajahnya. "Maaf, saya sedang mencari Sofia. Apakah mereka berada sedang bepergian? Rumah ini tampak kosong."

"Kedua orang tua Sofia sudah meninggal. Sedangkan Sofia sendiri, dia juga sudah tiada."

Perkataan wanita paruh baya itu membuat nyawa Zen seakan menghilang dari raganya. "Apa maksud Anda? Sofia, wanita yang tengah hamil besar, itu yang saya maksud."

"Dua hari yang lalu, dia terjun dari jembatan. Dia hidup sendirian, dan memilih untuk mengakhiri hidupnya," jawab wanita yang kini menatap Zen sedikit aneh, pasalnya ia seperti pernah melihat wajah pria itu.

"Suaminya tiba-tiba pergi saat dia hamil. Ayahnya menyusul, lalu beberapa hari yang lalu ibunya. Mereka baru saja terkena musibah, Sofia diperkosa oleh beberapa orang yang tiba-tiba masuk ke dalam rumahnya saat malam hari."

Telapak tangan Zen terkepal, ia mulai mengutuk dirinya sendiri. Apa yang sudah ia lakukan pada istrinya? Harusnya ia datang lebih awal, apa yang harus ia lakukan untuk menebus semua dosanya pada Sofia.

Tanpa sadar Zen terduduk di bawah, tubuhnya kelu hatinya ngilu. Pria itu menekan dadanya kuat, menghalau sakit yang begitu nyeri.

"Di mana jembatan itu, tempatnya di mana?" tanya Zen lirih, air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan lagi.

"Yang aliran sungainya deras dan katanya dihuni buaya, di sebelah pohon besar yang banyak dibicarakan orang-orang."

Zen langsung berdiri, berlari sekuat tenaga untuk menemui kekasih hatinya di sana. Mungkin raganya sudah tak dapat ia jumpai, namun aromanya mungkin saja masih tertinggal.

"Sofiaku!" jerit Zen dalam batinnya.

Dia telah berdosa, mengorbankan satu hati demi sebuah takhta yang tak akan dia bawa mati. Kini cintanya telah pergi, pergi meninggalkan Zen sendiri dengan penyesalan yang menyelimuti hati.

Sesampainya di tempat terakhir Sofia menginjakkan kaki, Zen langsung bersimpuh. Pria tampan itu menatap ke bawah, airnya tampak mengalir tenang namun deras.

"Kamu masih di sana sayangku? Coba jawab pertanyaanku sekali saya, Sofia."

Penyesalan yang datang terasa percuma, raga kekasihnya tak dapat lagi Zen tatap. Aromanya juga tak tertinggal, hanya kenangannya yang masih setia bersemayam di hati Zen Williams.

"Seumur hidup saya, saya mengatakan jika saya menyesal telah dilahirkan sebagai seorang pangeran mahkota. Jika kelahiran dapat diulang kembali, saya ingin berdoa kepada Tuhan. Agar saya lahir di tengah keluarga biasa asalkan kisah saya tidak sepelik ini."

Zen terus menangis, dahinya ia tumpu kepada pembatas. Harusnya ia datang lebih awal pasca pertemuan mereka tempo hari. Ia tidak bisa membayangkan, bagaimana sakitnya Sofia saat itu. Wanita lemah lembut seperti Sofia tidak pantas untuk di sakiti seperti ini.

Zen memutuskan untuk pulang dengan tangan kosong, Sofia tak dapat ia bawa. Hanya penyesalan yang mampu ia genggam.

"Maafkan saya Sofia, kutuk saya sepuasnya di sana. Saya akan Terima seluruh takdir buruk di dunia ini. Maafkan saya."

***

Tubuh Thruv luruh, ia terduduk di sebelah pemakaman orang tua Sofia. Pria itu mengikuti Zen tanpa adiknya itu tahu.

Ia mendengar semua yang telah terjadi, "Harusnya saya tidak meninggalkanmu sendirian malam itu. Harusnya saya tetap mengawasimu dari kejauhan."

Thruv masih ingat betul, di sinilah terakhir kali keduanya saling berbicara. Di sinilah terakhir ia melihat Sofia yang tampak sangat kacau keadaannya.

"Jika ada seseorang yang patut disalahkan, itu adalah saya. Saya lebih berdosa daripada Zen sendiri. Harusnya saya tahu jika Sofia tengah kacau. Kenapa malam itu saya menyetujui untuk pergi?"

Tangis pilu Thruv teredam saat seseorang menyentuh pundaknya.

"Zen?"

Duagkhh!

Pukulan telak Thruv dapatkan, Zen memukul keras tepat di pipi pria itu.

"Kenapa tidak mengatakan padaku jika semua ini terjadi pada Sofia? Apa yang kau pikirkan? Ingin menjadi pahlawannya sendirian?" teriak Zen sembari mencengkeram leher kakaknya erat.

"Maafkan saya Zen, saya benar-benar tidak menyangka jika semuanya akan berakhir seperti ini!" jawab Thruv dengan suara serak kesakitan.

Zen menggeram rendah, ia tidak Terima dengan jawaban yang Thruv berikan. Ia memang mengaku salah, tetapi Thruv lebih salah lagi karena menyembunyikan  hal sepenting ini darinya.

"Sekarang saya harus bagaimana? Sofia pergi begitu saja, bahkan jasadnya juga tidak ada yang mencari. Dia tertidur di mana?" isak Zen dengan cengkeraman yang mulai mengendur.

Thruv hanya bisa diam, terduduk di sebelah malam orang tua Sofia dan diikuti oleh Zen. Sang pangeran mahkota memeluk batu nisan yang masih tampak baru. Mengucapkan seribu kata maaf yang sebenarnya sama sekali tak berguna.

"Maafkan saya, saya telah menyengsarakan hidup kalian. Hidup kalian hancur karena kehadiran saya! Andai saja saat itu saya bisa menekan sedikit ego yang saya miliki, semua ini pasti tidak akan pernah terjadi."

Thruv mengusap air matanya yang terus mengalir, ia merasa bersalah. Ia juga tidak tega melihat berapa hancurnya keadaan Zen William.

"Maafkan saya Sofia, saya gagal. Harusnya saya tidak meninggalkanmu malam itu. Harusnya saya egois untuk tetap berada di sisimu."

Kini, kedua pria itu meratap di samping gundukan tanah orang tua Sofia. Segala penyesalan, tangis dan air mata sudah tidak berguna. Sofia telah meninggalkan mereka berdua bersama rasa bersalah yang terus merasuki dada.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C21
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login