Download App

Chapter 2: "Tekad"

"Aaaaaa!"

Pekikan kencang dari puteri semata wayang Tirto dan Monica terdengar memekakan telinga, hingga kedua pasangan tersebut berhamburan mencari keberadaan anaknya di dalam kamar yang berada di lantai 2.

"Sayang!" Monica menatap Alanna panik, ia langsung berlari dan memeluk Alanna sementara Tirto ikut menenangkan puterinya juga.

"Kamu pasti mimpi buruk," gumam pria berusia 40 tahun tersebut.

"Nggak, nggak, ini semua pasti nggak nyata.."

Alanna menggeleng-gelengkan kepalanya, ia juga mencubit kulit tangannya sendiri seolah tidak percaya.

"Sayang, kenapa kamu cubit tangan kamu sendiri? Jangan kayak gini, kamu kenapa?" tanya Monica keheranan.

"Aku.. aku hidup lagi Ma.." Alanna terlihat senang namun bingung bersamaan.

Jawaban Alanna membuat Monica dan suaminya terheran-heran.

"Coba jelaskan sedikit sama Papah dan Mama, agar kami bisa paham ucapanmu Alanna."

"Jadi, tadi aku ada di rumah Raka, dan Raka sedang disiksa oleh dua orang cowok! Terus aku masuk kesana dan salah satu cowok yang mau bunuh Raka itu nembak aku tepat disini," Alanna mengarahkan telunjuknya ke arah dimana letak jantungnya berada. "Tepat disini pelurunya menancap, dan aku juga ikut mati bersama Raka di rumahnya!"

Merasa apa yang dikatakan Alanna semakin melantur, kedua pasangan suami istri ini memilih untuk memberi waktu istirahat pada puterinya agar ia tidak masuk sekolah dulu.

"Tunggu," Alanna mengambil ponselnya dari atas meja nakas. "Ini hari Minggu kan?! Kenapa di hp aku sekarang hari Rabu?!"

"Sayang, memang sekarang hari Rabu. Malam tadi kamu baru Papah jemput dari pesta ulang tahun Rayna, anak teman Papah, kamu ingat dia kan?"

Alanna mengangguk pelan. Untuk beberapa saat ia mulai meresapi dan mencerna alur mundur yang terjadi seperti kemustahilan.

Waktunya ternyata berputar ke masa dimana Alanna menghadiri ulang tahun Rayna, tapi ingatan dimana ia dan Raka dibunuh juga masih terekam dengan jelas di kepalanya.

"Kelas berapa aku sekarang Ma?"

"Kamu baru beres MOS bulan lalu."

Deg

Itu artinya waktu dari ia terbunuh dan ia hidup kembali, hanya berselang beberapa bulan saja, tidak sampai genap 1 tahun.

'Sial, mana gue gak tau kapan persisnya tanggal dan bulan apa gue mati! Harusnya gue perlu inget tanggal dan bulan juga bukan cuman harinya doang -'

"Sayang?"

Alanna menolehkan kepalanya ke arah Monica yang masih menatap ia cemas.

"Papah sudah nelpon sama Kepala Sekolah kamu dan juga Raka buat titipkan pesan kamu sakit ke Guru mata pelajaran hari ini."

Alanna tersentak, ia menggelengkan kepalanya, "Kenapa harus diijinkan?! Aku mau siap-siap ke sekolah sekarang juga!" katanya dengan bergegas untuk mengeluarkan pakaian sekolahnya dari dalam lemari.

"Alanna diam saja dulu di rumah! Kamu nggak Papah ijinkan buat pergi ke sekolah dalam keadaan begitu."

Merasa apa yang dikatakan Tirto ada benarnya, Monica ikut meminta agar puteri semata wayangnya ini mengikuti perkataan mereka berdua.

"Baiklah."

"Alanna, kami juga harus pergi untuk mengurus bisnis Papahmu. Kamu nggak apa-apa kan kalo Papah dan Mama tinggalkan kamu berdua sama Bi Ida di rumah?"

"Udah biasa kok Pah, bukan masalah," meski sebetulnya Alanna sangat ingin kedua orang tuanya tinggal untuk sehari saja selama ia tidak masuk sekolah, tapi tampaknya ia juga tidak boleh egois.

"Persediaan makanan sudah Mama siapkan untuk satu bulan."

"Satu bulan?"

"Iya sayang."

"Mama dan Papah akan pergi selama satu bulan penuh?"

Monica mengangguk dengan menatap Alanna sedih.

"Kami sudah pernah membicarakan soal ini sama kamu sebelumnya."

Alanna teringat jika pada waktu ia ditinggalkan 1 bulan, ia sedang dalam keadaan marah dan tidak peduli dengan kedua orang tuanya untuk sebuah alasan yang sudah ia lupa apa itu.

Ia yang pelupa sudah pasti tidak ingat untuk hal apa saja yang sudah pernah dilakukannya. Hanya satu hal yang akan Alanna pastikan untuk tetap mengingatnya, wajah 2 orang misterius yang membunuh Raka sekaligus menembak mati dirinya.

~¤~

Entah keberapa kalinya Alanna menengok dari jendela kamarnya untuk melihat ke arah rumah yang ditempati oleh tetangga berusia sebaya dengannya itu seorang diri.

Tidak lama kemudian, sebuah motor menepi tepat di depan gerbang dari rumah yang sedari tadi Alanna pantau, ternyata itu benar Raka yang baru pulang dari sekolah.

Tanpa pikir panjang Alanna bergegas menuju ke rumah tetangganya itu, ia menuruni setiap anak tangga dengan sedikit tergesa-gesa.

"Raka!" panggilnya. Persetan dengan status mereka sebagai Adik dan Kakak kelas di sekolah. Toh, Raka sendiri tahu jika Alanna tidak pernah memanggilnya dengan embel-embel apapun bahkan saat hari perkenalan mereka untuk pertama kalinya pada 8 bulan lalu sekalipun.

Cowok tersebut menolehkan kepalanya. Ia baru selesai membuka gembok gerbang rumahnya dan menatap Alanna dengan bingung.

"Apa?"

"Em.. sore Raka."

"..."

"Lo, baru pulang dari sekolah ya?"

"Menurut lo?"

"A-ah.. tadi Papah gue -"

"Udah," jawab Raka begitu singkat, ia bahkan segera memasukkan motornya ke dalam halaman rumah.

Tidak mau menyerah begitu saja, dengan tujuan utamanya ingin mengetahui siapa gerangan cowok yang membunuh dirinya juga, cewek tersebut ikut masuk dan berdiri tepat di belakang motor Raka.

"Apalagi?"

"Gue butuh lo."

"Gue gak butuh lo."

"Gue.. gue gak punya temen di rumah cuman ada Bi Ida doang."

"Hah?"

"I-iya gue serius kalo gue gak ada temen! Orang tua gue ninggalin gue sendiri untuk urusan bisnis. Dan gue juga lagi gak enak badan banget hari ini, jadi-"

"Urusan sama gue apa?"

Alanna terhenyak. Benar juga. Kenapa ia harus menjelaskan panjang lebar tentangnya sedangkan Raka pun sama sekali tidak mau mengetahuinya?

"Pokoknya lo harus nemenin gue sebagai tetangga yang baik!" Tegas Alanna menatap Raka dengan berani.

"Bukan kewajiban gue."

"Tapi -"

"Lo bukan tanggung jawab gue, bego banget si. Keluar sono dari rumah gue."

Walau dadanya berdegup kencang tapi Alanna sudah membulatkan tekadnya untuk memaksakan diri agar ia bisa mengorek informasi langsung pada korban pembunuhan seperti dirinya juga, sekaligus karena ia pun ingin mengubah alur takdir mereka agar tidak ada yang menjadi korban.

"Gak mau! Gue gak akan keluar dari sini sebelum lo temenin gue."

Tiba-tiba saja Raka terkekeh geli lalu raut wajahnya tampak mengejek. "Gue tau lo lagi sakit, tapi gue gak nyangka ternyata yang sakit itu kejiwaan lo."

Alanna menganga tak percaya dengan apa yang ia dengar. Yang benar saja, ia dikatakan sakit jiwa?! Bukankah itu sama arti dengan Raka mengatai ia gila?!

"Kalo pun gue ngomong sekarang lo gak akan ngerti dan lo gak akan percaya!"

"Ya udah gak usah ngomong. Buang-buang waktu gue aja lo."

"Lo yakin lo gak butuh gue? Gue peringatkan lo dari sekarang sebelum lo nyesel nantinya."

"Gue butuh lo? Ngarang."

"Iya," jawab Alanna tegas. "Lo butuh gue buat alur hidup lo ke depannya."

Hening.

Kali ini Raka menatap Alanna sedikit serius. Ia baru pindah ke rumah yang ditempatinya sekarang, belum genap 8 bulan. Dan selama itu Alanna selalu bersikap normal, layaknya tetangga pada umumnya, tidak terkesan norak atau tidak terkesan jutek.

"Apa? Lo mau ngomong soal apaan?"

Alanna menggeleng-gelengkan kepalanya karena ia tahu ini belum menjadi waktu yang tepat, atau bahkan ada kemungkinan jika ia tidak akan mengatakan hal apapun tentang masa mengerikan yang sudah ia dan Raka lewati sebelumnya.

"Meksipun gue pengen ngasih tau lo, tapi gue rasa respon yang lo kasih nanti bakalan sama kayak respon orang tua gue."

"Itu karena omongan lo gak logis, paham?"

Alanna mengepalkan kedua telapak tangannya. Ia cukup tempramental saat harus menghadapi orang yang berbicara asal seperti Raka sekarang. Memang pilihan yang tepat jika Alanna tidak pernah menyukai Raka sebelumnya.

Meskipun untuk sekarang atau ke depan masih terdapat kemungkinan jika hal itu akan berubah.

'Gak! Gue gak akan pernah suka sama cowok gila modelan si Raka ini.'

"Udah ya, gue mau masuk rumah sekarang. Jadi, lo balik gih. Mau gue kunci gerbangnya."

"Kunci aja, gue tetep disini."

"Gila lo."

"Nggak! Gue gak gila! Gue kayak gini demi kita berdua juga Ka! Tolong ngerti posisi gue sekarang," ucap Alanna melirih.

Raka diam tidak bergeming ia menatap Alanna bingung karena ekpresi yang diperlihatkan oleh tetangga depan rumahnya ini terlihat berbeda.

Seperti mereka tidak punya waktu dan kesempatan mungkin?

●●●


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login