Download App

Chapter 16: Beda

Fandi sedang mengobrol santai bersama Devika di teras rumah Fandi.

"Yang waktu lo bilang waktu kamping kemarin beneran, Dev?" tanya Fandi serius.

"Waktu gue bilang. Gue sebenarnya suka sama lo?"

"Hmm," gumam Fandi.

"Beneran. Tapi gue juga tahu kok kalau lo sebenarnya suka sama Fiona, kan?"

"Iya. Gue udah nembak dia. Tapi ditolak sama Fiona," ucapnya menghela napas.

"Gitu doang nyerah. Cemen amat jadi cowok," ujar Devika berdecih.

"Tapi kalau gue boleh tahu. Apasih alasan lo suka sama Fiona? soalnya seingat gue, awalnya kan kalian enggak akur apalagi waktu dia ngancem lo," tanya Devika lagi.

"Fiona tuh tipe cewek yang kalau sekalinya sayang, sayang banget. Kelihatan banget dia ngelindungin Fania. Jarang banget ada cewek kayak gitu," tutur Fandi.

Dengan segala kegalakan Fiona padanya, rupanya hal itu sama sekali tidak membuatnya mundur.

"Berarti lo suka sama dia tuh bukan karena dia cantik?" tanya Devika lagi.

"Cewek cantik tuh banyak banget, Dev. Kalau gue cuma lihat dari cantik pasti

ada lagi ada terus. Cari cewek yang beda," jelas Fandi menghipnotis Devika.

Entah bagaimana dia akan mampu melupakan perasaanya terhadap Fandi setelah ini. Mau bagaimana lagi? dia tidak mungkin memaksa Fandi memberikan harapan untuknya. Meski dia sangat ingin melakukan hal itu sekalipun.

***

Fiona dan Devika sedang membesuk Elea yang dirawat di rumah sakit. Menurut dokter, kondisi jantungnya semakin buruk dan mengharuskannya istirahat total selama beberapa hari ini. Tugas yang menumpuk, kegiatan fisik hingga Ervin membuatnya sedikit tertekan.

Fiona dan Devika berniat mengajak Elea untuk berjalan-jalan dengan kursi roda rumah sakit. Untuk sesaat menyegarkan pikiran dan mata dari aktivitas yang membosankan ─makan, tidur dan hanya menatap tembok yang sama setiap waktu.

"Gimana kondisi lo?" tanya Fiona seraya mendorong kursi roda perlahan.

"Baik. As you can see, Fiona."

"Kalau lo baik-baik aja enggak mungkin sampai lo masuk rumah sakit kayak gini, El," sahut Devika.

Drrrttt. Telepon Devika berdering.

"Eh gue ke sana dulu ya. Mau angkat telepon dulu nih," kata Devika sembari berjalan cepat kearah yang berlawanan.

Fiona dan Elea hanya merespon dengan mengangguk pelan.

Fiona mengajak Elea untuk duduk di kursi taman rumah sakit.

"Fi, lo lihat deh, gue udah lihat

keinginan gue sebelum gue udah enggak ada...," ujar Elea seraya menunjukan note book dari saku bajunya.

"Kalau lo lagi mau nangis, enggak apa-apa kok. Gue bisa jadi pendengar yang baik buat lo. Engak usah ditahan, El. Inget, itu sangat enggak baik buat kesehatan lo," ujar Fiona menatap mata sahabatnya begitu lekat.

Elea yang mendengar itu tidak tahan dan air mata mengalir deras dari sana. Fiona menutup wajah Elea dengan kemejanya.

"Nangis saja yang puas, El. Enggak akan ada yang tahu kok. Cuma gue yang denger," sambung Fiona lagi sembari mengelus lembut punggung Elea.

Setelah cukup puas menangis Elea mengembalikan kemeja Fiona.

"Udah? cepet amat," ledek Fiona.

Elea hanya mengangguk tidak lagi menjawab. Lalu hening kembali.

"El, coba sekarang lo kasih tahu gue satu permintaan yang emang lo pingin," sambung Fiona serius.

"Kalau harus satu, gue cuma mau terus hidup. Hidup seperti manusia biasa. Belajar, ngejar impian, jatuh cinta, menikah. Cuma itu kok."

"Kalau gitu, lo harus bisa ubah mindset. Lo harus yakin kalau lo pasti sembuh. Harus. Ok?" ujar Fiona mengangkat jari kelingkingnya didekat wajah El.

"Tapi faktanya enggak begitu─"

"Bisa, lo pasti bisa," pangkas Fiona memaksa jari kelingking Elea menyatu dengan jari kelingkingnya.

Elea memeluk Fiona menangis haru.

"Terima kasih, Fi. Terima kasih udah dateng buat gue. Mungkin buat lo ini enggak ada apa-apanya, tapi buat gue ini sangat berharga, Fi," ucapnya lagi tersedu-sedu.

Fiona membalas pelukan itu dengan mata berkaca-kaca.

"Sama-sama, El. Gue tahu lo cewek yang kuat kok," sahutnya seraya mengelus punggung Elea.

"Yaelah udah peluk-pelukan aja nih ya. Gue enggak diajak," celetuk Devika yang baru muncul.

"Lo lama!" sahut Fiona sembari menghapus jejak air mata dikedua pipinya.

"Yaudah balik keruangan yuk, kasihan Elea. Udah mau adzan juga nih," ajak Devika.

Wajah Elea nampak lebih cerah setelah mencertikan beban dalam benaknya. Secuil harapan seolah bertambah di sana.

"El, Mungkin sulit. Tapi sulit tetap hanya sebatas sulit bukan tidak mungkin," ujar Fiona lagi sebelum meninggalkan ruangan Elea.

"Gue beruntung banget punya sahabat kayak Devika sama Fiona. Mungkin mereka adalah cara Allah buat menguatkan gue yang lemah ini. Apapun itu terima kasih ya Allah," desis Elea tersenyum bahagia.

"Dah ah gue mau tidur!" ujar Elea sambil menarik selimut.

***

Fiona berniat berkunjung ke rumah Yasmin. Kakak kandung Yoseph yang pernah ditolongnya saat dijambret malam itu. Ia tidak enak hati karena sudah lama Yasmin memintanya untuk datang.

"Fan, lo jago make-up enggak?"

"Yaelah lo meragukan skill gue?"

"Kalau make over gue bisa enggak?" tanya Fiona lagi, Fania menoleh begitu terperanjat. Masih tidak percaya saudari kembarnya dengan mudahnya menawarkan diri untuk dirias. Biasanya saja setengah mati memintanya untuk dirias.

"Yaudah, ayo! sekarang kan?" tanya Fania antusias

"Kenapa jadi lo yang lebih semangat sih?" keluh Fiona.

"Bawel! Jadi apa enggak nih?"

"Yaudah, buruan."

Fania membongkar isi lemarinya lalu menemui Fiona lagi setelah membawa kotak berwarna merah dengan pita biru muda.

"Nih! lo cobain deh," kata Fania memperlihatkan dress simple berwarna baby pink.

"Yaudah gue coba dulu ya," ujar Fiona meninggalkan Fania yang sedang sibuk mengumpulkan make-up yang ingin ia pakai.

Setelah mengganti pakaian dia kembali muncul di hadapan Fania.

"Gimana, Fan? cocok enggak sama gue?" tanya Fiona yang muncul didepan Fania menggunkan dress pilihannya itu.

"Oh my god! Lo cantik banget, please," puji Fania kegirangan.

"Bagus, gue suka. Ini simple banget dan nggak terlalu feminim," tambah Fiona lagi.

Fania mendorong saudara kembarnya untuk duduk di kursi riasnya. Fania poles BB cream di wajah gadis itu, juga blusher cream agar lebih cepat meresap.

"Lo jangan dandanin gue kayak tante-tante ya? awas aja lo!" seru Fiona.

Dia menepis tangan saudaranya yang tengah asyik memainkan kuas make-up diwajah.

"Diem, ini gue tinggal kasih eyeliner sama liptint kok," balas Fania seraya tersenyum senang.

Setelah kurang lebih sepuluh menit Fiona dipersilakan melihat hasil kuas ajaib ditangan Fania.

"Taraaaaa! Gue seneng banget deh karena udah berhasil buat bebek buruk rupa menjadi angsa yang aesthetic!" puji Fania pada riasan wajah saudaranya.

"Maksud lo, gue buruk rupa, begitu Fan?"

"Shuuuut! gue lupa rambut lo harus dicatok dulu," tukas Fania seraya mengambil catokan lurus dari dalam laci mejanya.

Dia menggulung rambut Fiona kedalam lalu dilepas, hingga jadilah rambut keriting menjutai pada bagian bawah. Ia lakukan gerakan yang sama selama kurang lebih tiga puluh menit.

"Yaiy, kelar juga akhirnya!" tepuk tangan Fania.

"Nah, kayak gini lebih pas sisi tomboi gue enggak boleh hilang!" ujar Fiona setelah menambah topi schoolboy hat berwarna abu-abu.

***

"Mau gue temenin enggak?" tawar Fania.

"Enggak, biar orang-orang pada ngira kalau gue itu lo, ha ha ha," tolak Fiona.

"Fiona berangkat ya, Ma. Assalamu'alaikum," pamit Fiona.

"Wa'alaikumussalam," jawab Fania dan Bu Rani bersamaan.

Senyum Fania tidak luntur meski punggung Fiona telah tidak nampak sejak tadi.

"Kamu sebahagia itu lihat Fiona?" tanya bu Rani.

"Fania senang lihat Fiona mau make up lagi, Ma. Semoga dia bisa segera kembali ke Fiona yang kita kenal dulu ya, Ma," tutur Fania.

Bu Rani hanya menghela napas beratnya.

"Mama juga sedih banget waktu dia nolak agency waktu itu dan malah memilih menjadi gadis yang berbeda seperti sekarang. Mama berharap dia bakal kembali, tapi Mama enggak tega buat ngomong langsung ke Fio. Mama khawatir kenangan itu bikin dia sakit lagi," tutur Bu Rani.

"Jadi, itu yang bikin ayah bersikap kayak gini sama Fio ya, Ma?" tanya Fania kembali.

"Iya, Fan. Wajar banget kok ayah seperti itu. Ayah udah keluar duit banyak banget waktu itu, tapi enggak lama setelah itu, ayah diphk. Fiona juga enggak ada minta maaf sama sekali ke ayah hal itulah yang bikin ayah tambah marah," jelas Bu Rani mengingat kejadian beberapa tahun lalu.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C16
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login