Download App
12.68% TABUR TUAI

Chapter 17: Mulai Main Api

Seperti biasa setiap tengah malam, Eliza pasti akan melakukan panggilan video dengan Eric. Terdapat perbedaan waktu antara Jerman dan Indonesia, jam 1 dini hari di Jakarta, sama dengan jam 8 malam di Jerman.

"Gimana hari ini Ric? Banyak perkembangan?"

"Ya begitulah El .…"

"Begitu gimana sih?

"Ya gitu deh El, gak banyak kemajuan."

"Hemmm, kamu jadi balik ke Indonesia awal bulan depan?"

"Jadi El. Aku sudah putusin untuk pengobatan di Jakarta saja. Lagian biar dekat sama kamu juga, aku bawaannya kangen terus sama kamu."

"Hemmm, ada-ada saja deh."

"Memanng kenyataannya seperti itu El, ada di dekat kamu pasti aku lebih baik. Aku yakin itu. Di Jakarta juga penanganannya bagus kok."

"Ya sudah, tapi kamu janji ya kalau sudah di Jakarta harus ikut semua segala proses pengobatan."

"Iya sayang pasti."

"Ehmmm, Ric .…"

"Ya?"

"Aku .…" Eliza berhenti sesaat, mencoba merangkai kata-kata untuk disampaikan pada Eric.

"Kenapa El? Bicara saja."

"Ehmmm, jadi begini … aku ada rencana untuk buka praktik di rumah. Tapi biayaku terbatas, aku gak enak minta sama Bapak Ibu lagi. Kamu bisa bantuin aku gak? Aku pinjem deh …."

"Berapa butuhnya El?"

"Pastinya aku gak tahu, soalnya kan bisa dibilang aku mulai dari nol. Jadi butuh banyak gitu."

"100 cukup?"

"100 apa?"

"100 juta lah sayang … apa masih kurang?"

"Sepertinya cukup deh .…" jawab Eliza cepat, dia senang sekali Eric mau membantunya.

"Yakin itu cukup, peralatan kedokteran kan harganya gak murah sayang."

"Iya, tapi kan aku buka hanya praktik kecil saja. Aku rasa itu sudah cukup deh sayang."

"Ya sudah, tapi kalau nanti kurang kamu bilang saja ya."

"Iya Ric, makasih ya."

Eliza sangat lega, satu persoalan selesai. Eric memang sangat bisa diandalkan dalam setiap permasalahan yang dihadapi Eliza.

***

Komunikasi Eliza dan Dirga juga kian intens. Dari saling berkirim kabar melalui pesan, sekarang sudah sering teleponan berjam-jam. Obrolan mereka mengalir begitu saja, kadang membuat Eliza tertawa terpingkal-pingkal. Membuat Ibu Fadila bertanya-tanya, siapa yang menghubungi putrinya sampai bisa membuat Eliza sangat bahagia.

"Siapa sih El yang telepon kamu tadi siang?"

"Tadi siang?"

"Iya, yang kamu sampai ketawa-ketawa itu loh .…"

"Ooh, itu Mas Dirga Bu."

"Mas Dirga siapa? Kamu gak pernah cerita."

"Ehmmm, sepupu temanku waktu internship kemarin. Dia AKBP loh Bu, masih lajang lagi .…" Eliza menuturkan gambaran Dirga dengan penuh semangat.

"El, kamu gak lagi menduakan Eric kan?" tanya Ibu Fadila serius.

"Hah? Kok Ibu bilang gitu sih?"

"Ya Ibu takut kedekatan kamu sama Mas Dirga itu lebih dari sekedar teman. Hati-hati loh kamu .…"

"Enggaklah Bu, aku juga tahu batasan kok."

"Ya bagus, tapi bukannya kamu bilang Eric itu paling tidak suka kalau kamu dekat sama laki-laki lain di luar urusan pekerjaan?"

"Iya sih .…"

"Terus kenapa masih mencoba bermain apa El?"

"Kan hanya teman saja sih Bu, gak lebih."

"Apa untungnya si El membuat Eric merasa gak nyaman? Sudah tahu Eric gak suka, masih juga dilakukan."

Eliza diam, dia tidak punya jawaban lagi.

"Jangan mempermainkan hati orang loh El, hati itu pemberian Tuhan. Kalau kamu sakiti hati orang, itu artinya kamu menyakiti Sang Pencipta."

"Iya Bu … iya."

"Jangan iya saja, tapi benar-benar kamu pikirkan. Eric itu sudah sangat serius sama kamu, apalagi kondisinya saat ini sangat membutuhkan dukungan dari kamu. Jangan kamu tambah lagi pikirannya karena masalah-masalah tidak penting."

Eliza menghela nafasnya, "Iya Bu .…" Dia paling tidak suka kalau Ibu Fadilah mulai menyudutkan dirinya dalam masalah hubungannya dengan Eric.

***

Hari ini Eliza sudah mulai kuliah kembali, jadwal kuliah yang lumayan padat. Senin sampai jumat dari pagi sampai jam 3 sore. Memang sangat menguras tenaga dan pikirannya. Ruang praktik yang dirancangnya juga sudah rampung, dan mulai minggu depan praktik akan mulai berjalan. Bisa dipastikan Eliza akan sibuk setiap harinya, di luar dari akhir pekan.

Hari ini Eric akan sampai di Jakarta, Eliza harus bisa mengatur waktunya agar bisa menyempatkan bertemu dengan Eric. Karena Eric juga sangat ingin Eliza yang menjemputnya di bandara. Sekitar jam 5 sore Eliza sudah sampai di bandara, Eric sudah menunggu dari jam 3.

"Eric .…" teriak Eliza dari ujung koridor ketika sudah melihat Eric duduk di sana.

"El .…" balas Eric sambil melambaikan tangannya.

Tapi Eric tidak berdiri, dia masih duduk. Awalnya Eliza tidak memperhatikan dimana Eric duduk, tapi ketika Eliza mendekat dia baru sadar Eric duduk di kursi roda. "Separah ini?" batin Eliza. Eliza menatap Eric, sampai dia sangat canggung untuk memeluk Eric.

"Kamu baik-baik saja kan El?" tanya Eric tersenyum.

Eliza mengangguk, dia masih bingung dengan keadaan Eric. "Ric, kamu .…"

"Dia masih bisa jalan kok, tapi tadi pas turun dari pesawat dia seperti gak kuat saja, jadi kita pakai kursi roda," ujar Ibu Eric.

Eliza mengangguk kembali. Walaupun kenyataannya seperti itu, tetap saja Eliza merasa Eric itu sangat lemah.

"Ya sudah, ayo kita balik. Dari tadi Tante sudah minta kalau kalian bertemu di rumah saja, tapi Eric ngotot mau ketemu kamu di bandara. Maaf ya El, sudah repotin kamu."

"Gak apa-apa Tante."

Eliza ikut bersama Eric dan keluarganya, Eliza duduk di dekat Eric. Ketika Eliza menggenggam tangan Eric, dia merasakan tangan yang lemah dan dingin. Eliza tidak tahu lagi bagaimana mengatakan keadaan Eric saat ini.

"El, kok diam saja. Kamu kangen gak?"

"Kangenlah Ric … aku kangen kita seperti dulu lagi. Yang jalan berdua, makan berdua, kemana-mana berdua."

"Sekarang aku lemah ya?"

"Makanya kamu harus serius untuk pengobatan selanjutnya ya, biar cepat sembuh."

"Iya El."

Eliza menemani Eric untuk beberapa jam, sekedar melepas rindu. Sekitar puku 8 malam, Eliza pamit pulang. "Ric, aku balik ya. Sudah malam, besok juga aku harus kuliah."

"Oh ya sudah, mau diantar gak?"

"Gak usah, repotin Kak Mia saja nanti. Aku naik taksi saja."

"Ehmmm, atau kamu mau naik mobil? Itu ada mobil nganggur di garasi."

"Gak usah Ric, soalnya jalanan di Jakarta macet. Kalau aku harus nyetir butuh konsentrasi lagi, padahal aku memanfaatkan waktu di taksi itu sebagai jam istirahat," jawab Eliza menolak dengan halus tawaran Eric.

"Ya sudah kalau gitu, kamu hati-hati ya."

Eliza mengangguk dan pamit pulang pada orang tua Eric. Tubuhnya cukup lelah, pikirannya juga demikian. Melihat kondisi Eric yang tidak membaik membuat semangatnya menurun.

Eliza sampai di rumah sekitar pukul setengah 10, rumah sudah sepi. Untungnya Ibu Fadila masih bangun dan menunggu Eliza pulang.

"Kenapa malam sekali El pulangnya?"

"Iya Bu, tadi jemput Eric ke bandara. Terus masih temani dia sebentar."

"Ooh, dia jadi pulang toh?"

"Iya Bu."

"Pantesan kamu gak buka praktik hari ini, terus gimana kondisi Eric? Sudah membaik?"

"Ya gitu deh Bu, mungkin dia tadi terlalu lelah. Jadi kelihatan capek, belum juga perbedaan waktu antara Jerman dan Jakarta jadi wajar sih sedikit lemas."

"Ooh, ya kamu rajin-rajin hubungi dia, kunjungi dia. Kasih dia dukungan."

"Iya Bu."

Eliza tidak ingin banyak cerita mengenai Eric pada Ibunya. Karena dia tahu, Ibunya pasti akan banyak ceramah, dan menasehatinya agar bisa lebih mendukung pemulihan Eric.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C17
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login