Download App
28.57% Quinsa Adara

Chapter 2: Bab 2. Adara

Pasukan Antaksana memasuki kediaman Permaisuri bersamaan dengan keluarnya Sumi dan Panca dengan membawa Putri Raja. Antaksana memasuki kamar Permaisuri dengan menghilangkan kesopanannya.

Permaisuri dengan posisi berdiri memegang pedang tanpa memperdulikan rasa sakit yang menyerangnya sambil berusaha menstabilkan napasnya yang terengah. Antaksana tertawa melihat sambutan tersebut kemudian mendekat.

"Kau bukan lagi Permaisuri, kecuali jika kau menikah denganku," ujar Antaksana dengan nada dingin di akhiri tawa penuh kemenangan.

"Bajingan kau Antaksana! Bisa-bisanya berkhianat setelah semua kebaikan yang Raja lakukan padamu! Kau berani berkhianat?!!! Kau pikir aku Permaisuri yang lemah yang langsung menyerah begitu kau berkata seperti itu!" seru Permaisuri dengan penuh amarah.

Antaksana bertepuk tangan dan berhenti bersamaan dengan Antarqana yang sekarang terlihat dibawa oleh dua prajurit pasukan Antaksana. Pedang yang sebelumnya dipegang Permaisuri dengan gagah kini terjatuh begitu saja setelah ia melihat kondisi Raja yang tak berdaya.

Lelaki yang begitu ia cintai, lelaki yang berjanji hanya akan menikah dengan satu wanita yaitu dirinya, lelaki yang menjadi Ayah dari putrinya, lelaki yang selalu memanjakannya, sekarang terlihat lemah tak berdaya membuat Permaisuri kehilangan pegangannya.

"Hanya melihat kondisi Raja yang seperti ini saja, kau sudah seperti itu! Hahaha, mari saksikan ini!" seru Antaksana kemudian memberi kode pada prajurit yang memegang cambuk untuk mencambuk Antarqana.

Permaisuri yang melihat kode tersebut tanpa pikir panjang langsung berlari dan memeluk Raja, "Ahh!" pekikan sakit yang keluar dari bibir Permaisuri membuat Antarqana membuka matanya.

Antarqana menggelengkan kepala, "Hentikan! Hentikan jangan cambuk lagi!" pintanya dengan sangat memohon.

"Ahhhh!!!"

"Pergilah, Kantika. Aku mohon pergilah... Biarkan aku terluka setidaknya kau baik-baik saja," ujar Antarqana memohon pada Permaisuri.

Permaisuri menggelengkan kepalanya, "Tidak, Yang Mulia. Kau sudah terluka parah, setidaknya aku bisa merasakan rasa sakitmu dengan begini," ujarnya sambil meneteskan air mata karena rasa sakit yang begitu menderanya.

Sementara Permaisuri mendapatkan cambukan yang seharusnya mengenai Antarqana, di sini lain para pelayan dan Tabib tengah ditanyai perihal keberadaan anak Antarqana dan Permaisurinya.

Mereka yang sudah berjanji untuk bungkam soal Tuan Putrinya pun tetap bungkam, sekalipun diancam dengan kematian. Lebih baik mati daripada mengingkari janji, setidaknya mereka berjasa dalam keselamatan Tuan Putri mereka.

Antaksana yang marah karena tak mendapat jawaban atas pertanyaannya pun tanpa ragu menebas kepala tabib dan para pelayan itu dengan pedangnya. Antarqana yang melihat pembantaian terhadap para pelayannya itu tidak bisa melakukan apa-apa untuk melindunginya, karena kondisinya juga terlalu lemah untuk bangun.

"Bangunlah Permaisuriku. Aku tidak bisa melindungi pekerjaku, setidaknya aku bisa melindungimu dengan cara memintamu bangun. Cukup lihat saja kau sudah merasakan sakitnya, jadi tidak perlu tubuhmu yang indah itu untuk merasakan sakitnya," ujar Antarqana memohon agar Kantika, Permaisurinya itu bangun.

Kantika tetap enggan bangun dan memeluk Antarqana semakin erat, berharap ada sedikit kebaikan di hati adik iparnya itu untuk menghentikan pencambukan ini.

Tetapi, memang Antaksana sudah kesetanan. Bahkan berkali-kali pekikan kesakitan Kantika lontarkan, Antaksana justru terlihat menikmati pekikan tersebut.

Hingga akhirnya, kondisi Kantika yang sudah semakin lemah membuatnya terpejam kemudian terjatuh.

"Permaisuriku!" pekik Antarqana yang melihat Kantika terjatuh pingsan.

"Ahh!" Sementara prajurit itu masih terus mencambuknya tanpa belas kasihan.

"Hen--tikan!!! Kumohon Antaksana, jika kau menginginkan kerajaan ini maka ambillah. Tapi hentikan ini," pinta Antarqana dengan sangat memohon.

Antaksana mendekat dan menarik dagu Antarqana hingga menatapnya, "Panggil aku Yang Mulia dulu, Kakakku tersayang," ujarnya kemudian penuh tawa kemenangan.

Dengan cepat Antarqana mengangguk, "Yang Mulia, aku memohon untuk diampuni. Hentikan ini semua," kata Antarqana memohon.

Antaksana tertawa dengan puas setelah mendengarnya, merasa bangga atas kehebatannya yang berhasil mengalahkan Kakaknya sendiri dan merebut tahta yang selama ini ia idam-idamkan.

Setelahnya, dimasukkannyalah Antarqana serta Permaisuri nya juga para pendukung Antarqana ke dalam penjara bawah tanah yang dingin.

Lalu, Qalsar resmi dipimpin oleh Antaksana. Sejak hari itu hingga lima belas tahun kemudian bayi yang dilahirkan tepat di hari kekacauan itu kini telah tumbuh menjadi remaja yang cantik jelita seperti Ibunya.

Rambut yang panjang dihias dengan indah oleh wanita yang dipanggil Ibu olehnya, senyuman manis ia sunggingkan sembari mengucapkan terimakasih karena telah menghias rambutnya dengan indah.

"Adara, Ibu dan Ayah akan ke ladang. Kau tidak keberatan kan jika menjaga rumah seperti biasanya?" ujar Sumi yang sekarang sudah sedikit menua.

Adara yang tak lain adalah Quinsa Adara itu tersenyum manis, tetapi menggeleng membuat Sumi tersenyum heran dan tak paham.

"Kenapa menggeleng?" tanyanya kemudian.

"Untuk hari ini... Aku akan ikut dengan Ayah dan Ibu ke ladang, biarlah rumah kosong tanpa penjagaan karena aku ingin sekali membantu kalian di ladang," ujar Adara menjelaskan.

"Sayang... Kalau niatmu membantu, maka tidak perlu. Tak apa, putriku ini menjaga rumah saja ya seperti biasanya," ujar Sumi agar Adara tidak mengikutinya ke ladang.

Adara memasang wajah tak senang, dia sungguh ingin membantu Ayah dan Ibunya. Salahkah jika begitu?

"Ayolah, Bu. Aku benar-benar ingin membantu, aku tidak mau diejek teman-teman karena tidak pandai membantu orangtua," kata Adara memohon agar ia bisa ikut ke ladang.

Sumi menggeleng sambil tersenyum bersamaan dengan Panca yang datang dengan membawa cangkul dipundaknya. Panca menghampiri mereka.

"Ayo, Bu. Nanti matahari semakin naik," ujarnya mengajak Sumi.

"Lihatlah putri kita ini, merengek ingin ikut ke ladang. Bukankah ladang itu tempat yang panas," ujar Sumi membuat Panca meletakkan cangkulnya.

"Dengar, Adara. Daripada ikut dengan kami ke ladang, lebih baik kau pelajari apa yang tadi kau pelajari di sekolah. Agar kau pintar dan bisa mengubah kehidupan kita, bagaimana?" sahut Panca diakhiri dengan tanya.

Adara yang mendengarnya pun berpikir, kemudian beberapa detik setelahnya dia menganggukkan kepala setuju dengan perkataan lelaki yang ia panggil Ayah itu.

"Baiklah, kalau begitu aku akan belajar agar pintar lalu memasak untuk kalian makan jika pulang dari ladang. Bagaimana?" kata Adara di akhiri tanya.

Sumi terkejut mendengar ucapan Adara kemudian menggeleng, "Kau hanya perlu belajar, sayang. Untuk makanan, Ibu sudah menyiapkannya tadi. Jadi tidak perlu," ujar Sumi tersenyum kemudian mengecup kening Adara. Stelahnya ia pergi bersama suaminya ke ladang tempat mereka menghasilkan lembaran kertas untuk melanjutkan hidup.

Adara menatap kepergian Ayah, Ibunya dengan sendu. Sejak ia kecil sama sekali tidak diizinkan untuk melakukan apapun selain bermain dan bersekolah. Padahal, Adara sangat ingin membantu.

"Oke, lanjutkan saja membuat bunga hiasan dan menjualnya ke pusat desa," ujar Adara pada dirinya sendiri.

Adara tersenyum membayangkan berapa lembar uang yang berhasil ia kumpulkan dari hasil menjual bunga-bunga di halaman rumahnya itu dan itu Adara lakukan tanpa sepengetahuan Ayah dan Ibunya.

Jika Ayah dan Ibunya tahu, maka sudah dapat dipastikan jika Adara tidak boleh melakukannya lagi. Oleh sebab itu, Adara menjual bunga itu tanpa sepengetahuan Ayah dan Ibunya.

Dengan senyuman secerah bunga matahari favoritnya, Adara menggendong keranjang kecil berisi bunga dan berjalan ke pusat desa untuk menjualnya.

"Bunga-bunga yang indah ini dijual dengan harga murah. Hanya dengan harga murah sudah bisa melihat bunga seindah ini! Jangan lewatkan kesempatan yang tidak datang dua kali ini, ayo beli!!!" seru Adara disepanjang pusat desa yang menjadi pusat belanja warga desa.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login